TERSESAT

 

Penulis : Fauziatun Awaliah, guru SMAN 4 Purwokerto

Editor:  Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.) 
(Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.) 

Pada tahun 2000, kami membentuk kelompok pendaki independen yang terdiri dari mahasiswa dua perguruan tinggi di Semarang dan Yogyakarta, yaitu Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan Institut Pertanian Yogyakarta (Intan). Kami menamakan kelompok ini "Bolo Sentet". Nama ini memiliki arti khusus, "sentet" yang dalam bahasa Jawa berarti "error", sehingga "Bolo Sentet" berarti "teman-teman yang error". Nama ini mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran diri kami. Sebagai orang-orang yang sudah dewasa, kami menyadari pentingnya menertawakan diri sendiri dan tidak terlalu serius menanggapi segala sesuatu. Dengan nama ini, kami ingin menunjukkan bahwa kami siap mengakui kesalahan dan kekurangan kami, serta tetap bersatu dalam kebersamaan.


Sebelum melakukan pendakian, kelompok kami, "Bolo Sentet," melakukan persiapan yang sangat matang. Kami menyadari betul bahwa mendaki Gunung Sumbing bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok diwajibkan untuk membawa perlengkapan yang memadai. Perlengkapan tersebut meliputi tenda, sleeping bag, matras, peralatan masak, makanan, dan minuman yang cukup untuk beberapa hari, serta pakaian hangat yang tahan air. Selain itu, setiap pendaki juga harus membawa senter, baterai cadangan, peta, dan kompas.


Kami juga memperhatikan detail-detail kecil yang sering kali diabaikan oleh pendaki pemula, seperti plester untuk mencegah lecet pada kaki, krim anti nyamuk, dan peralatan P3K. Semua persiapan ini dilakukan dengan sangat teliti untuk memastikan bahwa kami siap menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi selama pendakian. Selain itu, kami mengadakan briefing singkat sebelum berangkat, membahas rute yang akan ditempuh, kondisi medan yang mungkin dihadapi, serta strategi untuk menjaga keselamatan setiap anggota kelompok.


Pada hari pendakian, semangat kami sangat tinggi. Kami memulai perjalanan dari basecamp dengan langkah mantap. Gunung Sumbing dikenal memiliki medan yang terjal dengan hutan lebat yang menutupi sebagian besar jalurnya. Di awal pendakian, kami disambut oleh jalan setapak yang dipenuhi oleh akar-akar pohon yang mencuat dari tanah. Hutan yang lebat membuat sinar matahari sulit menembus, sehingga meski masih siang, suasana terasa agak gelap dan lembap.


Semakin tinggi kami mendaki, medan yang dihadapi semakin menantang. Kami harus melewati batu-batuan besar yang licin dan berlumut. Beberapa kali, kami harus berhenti sejenak untuk memastikan langkah kami tidak tergelincir. Di beberapa titik, kami juga menemukan tanah yang rapuh dan mudah longsor. Ini membuat kami harus ekstra hati-hati dan memastikan bahwa setiap langkah diambil dengan penuh pertimbangan. Setiap anggota kelompok saling memberi dukungan dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.


Ketika malam mulai menjelang, kami sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Gunung Sumbing menjadi semakin gelap, dan hutan lebat menambah kesan menakutkan. Kami mengandalkan senter untuk menerangi jalan, tetapi tetap saja, pandangan kami terbatas. Di tengah kegelapan malam, kami harus waspada terhadap berbagai bahaya yang mungkin mengintai. Ancaman tergelincir ke jurang atau jatuh dari tebing yang curam selalu ada di pikiran kami. Kami juga harus berhati-hati terhadap binatang buas yang mungkin merasa terancam dengan kehadiran kami.


Selain itu, gangguan dari serangga, seperti nyamuk dan binatang-binatang kecil yang memiliki sengat, menjadi tantangan tersendiri. Kami berusaha untuk tetap fokus dan tidak membiarkan rasa takut menguasai kami. Kami saling mengingatkan untuk tetap dalam kelompok dan tidak terpisah satu sama lain. Semak belukar dan onak duri juga menjadi rintangan yang harus kami hadapi. Beberapa kali, kami harus berhenti untuk membersihkan duri yang menancap di pakaian atau kulit kami.


Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, kekompakan dan kerjasama kelompok menjadi kunci keberhasilan kami. Setiap anggota memiliki peran penting dalam memastikan keselamatan dan kelancaran perjalanan. Kami saling mendukung, memberikan semangat, dan membantu satu sama lain melewati rintangan. Kami juga tetap mematuhi prosedur keselamatan yang telah kami sepakati sebelumnya.


Setelah melewati berbagai rintangan, kami akhirnya  berhasil mencapai pos pendakian sebelum puncak. Rasa lega dan puas menyelimuti kami semua. Meskipun perjalanan ini sangat melelahkan dan penuh tantangan, kami berhasil mengatasinya bersama-sama dan kami hampir mencapai puncak.  Kami singgah beberapa saat di pos perhentian sebelum puncak. Setelah beristirahat sebentar kami berniat melanjutkan lagi ke tahap akhir pendakian namun sayangnya, salah satu teman saya mengalami masalah dengan senternya, sehingga saya dan dia memutuskan untuk berhenti dan membantunya.


Sementara itu, tujuh teman kami melanjutkan perjalanan dan mengingatkan kami untuk belok kiri di sebuah titik tertentu. Dengan senter yang bermasalah, kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan membantunya. Ketika teman-teman kami telah melanjutkan perjalanan dan mulai menghilang dari pandangan, tiba-tiba sekelompok pendaki lain menyalip kami. Mereka mengaku berasal dari Purwokerto dan tampak sangat yakin dengan jalur yang mereka tempuh. Dalam suasana malam yang gelap, kami tidak merasa curiga atau berpikir bahwa mereka mungkin makhluk jadi-jadian atau kaum atas angin. Kami hanya fokus pada upaya untuk menyusul tujuh teman kami yang telah lebih dahulu berjalan.


Kami memutuskan untuk mengikuti kelompok pendaki tersebut dengan harapan dapat mempercepat perjalanan kami. Meskipun kondisi sekitar sangat gelap dan suasana di hutan terasa misterius, kami berusaha untuk tetap tenang dan mengikuti jalur yang mereka tunjukkan. Selama perjalanan, mata kami seolah hanya tertuju pada jalur yang dilalui oleh rombongan pendaki dari Purwokerto, tanpa menghiraukan keanehan atau bahaya di sekitar. Pikiran kami hanya terpusat pada keinginan untuk segera bergabung kembali dengan kelompok kami yang lain. Kami tidak pernah berpikir untuk mempertanyakan keberadaan tangga tinggi yang kami lewati di tengah hutan yang gelap.


Baru ketika kami tiba di puncak tangga yang sangat tinggi, kami terkejut melihat bahwa kami berada di tebing yang sangat curam. Kami tidak menyadari bahaya yang mengintai karena fokus kami hanya pada mengikuti rombongan di depan. Dan saat itu rombongan itu entah pergi ke mana seperti lenyap ditelan bumi. Mereka benar-benar tidak meninggalkan jejak sama sekali rumah yang tinggal hanyalah kami berdua di dalam kegelapan yang misterius dan membuat kami bertanya-tanya. Syukurlah, Tuhan membuka hati dan pikiran kami pada saat yang tepat, membuat kami menyadari betapa berbahayanya posisi kami di tepi tebing tersebut. Ketika menyadari situasi yang kami hadapi, kami merasa terjebak dan bingung, namun kami tahu kami harus segera mencari cara untuk menuruni tebing dengan hati-hati.


Malam itu sangat dingin di puncak Gunung Sumbing. Angin menderu dengan kekuatan yang menakutkan, seolah-olah membawa bisikan dari alam lain yang menggiring kami ke dalam kegelapan dan ketidakpastian. Suhu yang semakin menurun menambah rasa dingin yang menyusup ke tulang, sementara suasana malam yang pekat menciptakan latar yang sempurna untuk ketakutan yang merayap di pikiran kami. Setiap desiran angin seolah-olah menyuarakan suara-suara gaib yang tidak terlihat, membuat kami merasa seperti sedang diawasi oleh makhluk dari dunia lain. Rasa putus asa dan penyesalan mulai mencengkeram hati kami; mengapa kami bisa terjebak di sini, di puncak tebing yang begitu berbahaya?


Ketika kami mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan ketakutan, bayangan hitam dari kegelapan malam seolah membentuk wajah-wajah mengerikan yang terus mengganggu pikiran kami. Kami merasa seperti terseret ke dalam situasi yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Kegelapan yang memekat dan angin yang berteriak membuat setiap langkah terasa seperti perjalanan menuju kehampaan. Kami mencoba untuk tidak membiarkan rasa takut mengambil alih, tetapi pikiran-pikiran negatif dan bayangan-bayangan aneh semakin memperkuat rasa tertekan. Dalam ketidakberdayaan kami, satu-satunya harapan yang tersisa adalah pertolongan Tuhan untuk menjaga kami tetap aman.


Tidak ada jalan lain untuk turun selain kembali ke jalur semula yang kini tertutup oleh kegelapan. Setiap upaya untuk mencari jalan kembali terasa seperti usaha sia-sia dalam kegelapan yang menutupi segalanya. Kami berdoa dengan penuh keputusasaan, meminta petunjuk dan perlindungan dari Tuhan. Hanya dengan memegang teguh harapan tersebut, kami berusaha untuk fokus pada solusi. Kami harus terus berpikir jernih dan menjaga semangat agar tidak terjebak dalam rasa takut yang menghantui. Dengan tekad dan harapan bahwa Tuhan akan membimbing kami, kami memulai usaha untuk menemukan jalan keluar dari situasi malam yang sangat menegangkan itu.


Kami memutuskan untuk menghabiskan malam di tebing tersebut, dengan peralatan minim yang kami miliki sebagai pelindung. Kami berusaha membuat diri kami sehangat mungkin, tetapi suhu dingin dan angin kencang membuat usaha itu terasa sia-sia. Pikiran kami dipenuhi dengan pergolakan batin yang mencekam—kekhawatiran akan keselamatan diri sendiri dan penyesalan mendalam karena telah terjebak di tempat yang penuh bahaya ini. Kami berusaha untuk tetap tenang, tetapi ketidakpastian dan ketakutan yang menghantui pikiran semakin memperburuk keadaan. Setiap kali angin berdesir, kami merasa seperti ada makhluk gaib yang mengintai dari kegelapan, menunggu untuk menghantam kami dengan segala bentuk ancaman.


Malam itu terasa seperti malam yang tak berujung, seakan waktu melambat di tengah ketidaknyamanan dan ketegangan yang kami rasakan. Bayangan-bayangan gelap bergerak di sekitar kami, membuat kami merasa seolah-olah kami dikelilingi oleh sesuatu yang tidak tampak namun sangat berbahaya. Setiap suara kecil di malam gelap, dari gesekan dedaunan hingga desiran angin, membuat kami tersentak dan memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin menghampiri kami—binatang buas kelaparan atau makhluk halus yang berkeliaran dalam kegelapan. Kami terus-menerus mencari cara untuk keluar dari situasi ini, tetapi rasa takut yang menggelayuti membuat setiap keputusan terasa berat.


Akhirnya, kami sepakat bahwa satu-satunya keputusan rasional adalah menunggu hingga pagi. Dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memberi petunjuk dan perlindungan, kami memutuskan untuk bertahan di tempat ini dan mencari jalan keluar saat fajar menyingsing. Harapan kami tertuju pada kemungkinan menemukan kembali tujuh teman yang sudah mendahului kami dan berharap mereka juga berada dalam keadaan baik. Kami berdoa dengan penuh harapan dan berusaha untuk tetap waspada, berharap agar Tuhan memberkati usaha kami dan menjaga kami selama malam yang penuh kecemasan itu.


Di tengah malam, ketakutan kami semakin menjadi-jadi. Bayangan jurang yang menganga di bawah kami seolah siap menelan kapan saja. Saya mulai memikirkan kemungkinan terburuk, bahwa kami mungkin tidak akan selamat dari situasi ini. Pikiran tentang kematian dan betapa tipisnya harapan untuk bertahan hidup terus menghantui. Kami merasa terancam oleh bayangan yang berkelebat di kegelapan, dan ketakutan akan terjerumus ke dalam jurang semakin menguat.


Namun, di tengah keputusasaan itu, ingatan tentang kekuasaan Tuhan dan takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya memberikan sedikit kekuatan. Kami berdua merapal doa sebisanya, memohon perlindungan dan keselamatan. Keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan membantu kami bertahan dan melawan ketakutan yang menghantui.


Keesokan paginya, dengan sinar matahari yang mulai menerangi, kami dapat melihat kondisi sekitar dengan lebih jelas. Ternyata, tidak ada jalan yang jelas untuk turun. Tebing itu sangat curam dan berbahaya. Kami merasa sangat putus asa, tetapi kami tahu kami harus menemukan cara untuk turun. Ketegangan tidak berkurang sedikit pun, karena setiap langkah yang kami ambil bisa berarti akhir dari perjalanan ini.


Kami akhirnya menemukan sebatang pohon yang tumbuh di tepi tebing. Pohon itu memiliki banyak cabang yang merambat ke bawah. Kami berdua memutuskan untuk menggunakan cabang-cabang pohon tersebut sebagai pegangan untuk menuruni tebing. Ini adalah satu-satunya cara yang kami pikir aman.


Dengan hati-hati, kami mulai menuruni tebing menggunakan pohon tersebut. Proses ini sangat menegangkan dan membutuhkan konsentrasi penuh. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan baik agar tidak tergelincir. Hati kami terus berdebar-debar, dan setiap kali kami mendengar suara gemerisik, bayangan binatang buas atau makhluk halus kembali menghantui pikiran kami. Kami saling memberi semangat dan memastikan bahwa setiap langkah kami aman.


Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya kami berhasil turun dari tebing tersebut. Rasa lega yang luar biasa menyelimuti kami. Kami berdua merasa sangat bersyukur karena berhasil selamat dari situasi yang sangat berbahaya. Kami segera mencari jalan kembali ke jalur pendakian yang seharusnya.


Ketika kami bertemu kembali dengan teman-teman kami, mereka sangat khawatir dan lega melihat kami. Mereka telah mencemaskan keselamatan kami sepanjang malam. Ternyata mereka semalam berkemah di bawah tebing, menunggu kami dengan cemas. Kami menceritakan pengalaman kami yang tersesat di tebing dan bagaimana kami berhasil turun dengan menggunakan pohon.


Pengalaman tersesat di Gunung Sumbing menjadi pelajaran berharga bagi kami semua. Kami belajar pentingnya tetap bersama dalam kelompok dan selalu mengikuti rencana yang telah disepakati. Kami juga belajar pentingnya mempersiapkan peralatan dengan baik dan selalu waspada terhadap kondisi sekitar.


Setelah kejadian itu, kami semakin mempererat persahabatan kami dalam kelompok "Bolo Sentet". Nama yang dulu kami olok-olok dengan sinisme kini menjadi simbol dari kebersamaan dan keberanian kami. Kami sering mengenang pengalaman tersebut dengan tawa, meskipun pada saat itu sangat menegangkan. Kami juga berjanji untuk selalu lebih berhati-hati dalam pendakian berikutnya.


Pengalaman tersebut juga mengajarkan kami tentang pentingnya kerja sama dan saling mendukung dalam situasi sulit. Kami menyadari bahwa dengan kebersamaan, kami bisa mengatasi tantangan apa pun yang menghadang. "Bolo Sentet" menjadi simbol persahabatan yang kuat dan kebersamaan yang tak tergoyahkan.


Kami terus melakukan pendakian bersama, menjelajahi berbagai gunung di Indonesia. Setiap pendakian membawa cerita baru dan pengalaman yang berbeda. Namun, pengalaman tersesat di Gunung Sumbing selalu menjadi yang paling berkesan dan tak terlupakan.


Dalam setiap pendakian berikutnya, kami selalu mengingatkan diri untuk tidak membuat kesalahan yang sama. Kami lebih disiplin dalam menjaga keutuhan kelompok dan selalu memastikan bahwa setiap anggota berada dalam kondisi yang baik. Pengalaman itu juga membuat kami lebih menghargai alam dan memahami risiko yang ada dalam setiap pendakian.


Kami belajar untuk lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan teman-teman, serta selalu siap menghadapi situasi darurat. Kini, setiap kali kami mendaki, kami selalu membawa semangat "Bolo Sentet" dan kenangan tentang malam dingin di puncak Gunung Sumbing. Persahabatan kami semakin kuat, dan kami selalu siap menghadapi tantangan berikutnya bersama-sama.

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS