MELEK ATAU PUNAH


Oleh:
Alif khoirotun Ulfa, guru SD Negeri 2 Boja, Kendal
(Ditulis dengan strategi Tali Bambuapus Giri _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI) 

Dinginnya ruangan ber-AC di Hotel Sae in Kendal pagi itu tak mampu membekukan semangat yang menyala dari seorang sosok inspiratif: Dr. Mampuono M.Kom. Seperti secangkir kopi panas di tengah salju, kehadirannya menghangatkan atmosfer dan menggugah kesadaran para guru yang hadir. Ia tidak hanya membawa materi, tetapi juga bara api yang siap membakar kemalasan dan ketidaktahuan.

Materi bertajuk Gerakan Guru Melek AI untuk Kendal bukan sekadar judul. Ia adalah alarm kebangkitan. Sebuah sinyal bahwa dunia tak akan menunggu siapa pun yang masih nyaman dengan papan tulis dan kapur putih, sementara algoritma sudah menari-nari di atas layar sentuh. Di ruangan itu, guru-guru dipaksa untuk menatap masa depan, bukan dengan takut-takut, tapi dengan nyali dan rasa ingin tahu.

Dr. Mampuono membuka sesi dengan kisah masa kecilnya—tentang bagaimana tekanan, ejekan, dan pandangan sinis dari lingkungan justru menjadi bahan bakar bagi semangatnya. "Jangan takut diremehkan, karena terkadang, hinaan adalah pupuk terbaik bagi pohon keberhasilan," ucapnya dengan nada yang tenang, namun menggetarkan. Seperti hujan deras yang menyuburkan tanah gersang, kisah hidupnya menyentuh hati para pendengar.

Betapa seringnya kita meremehkan potensi, termasuk diri sendiri. Padahal, seperti yang dikatakan dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS Ar-Ra'd: 11). Ayat ini bukan dongeng pengantar tidur, tapi petir yang membangunkan jiwa-jiwa yang terlena.

Di tengah gempuran zaman digital, ketika TikTok bisa mengajar lebih cepat daripada pelajaran matematika, dan ChatGPT dianggap “lebih tahu segalanya” dibanding guru di kelas, muncul pertanyaan: akankah guru tetap menjadi sumber ilmu, atau sekadar jadi ornamen sejarah?

“Guru bukan lagi satu-satunya pelita di ruang gelap,” kata Prof. Rhenald Kasali dalam sebuah wawancara di Kompas, “tapi mereka bisa menjadi lentera yang memandu anak-anak menjelajahi belantara informasi yang menyesatkan.” Di situlah pentingnya melek AI—bukan agar guru bersaing dengan robot, tapi agar mereka bisa menjadi pemandu yang tidak buta arah.

Ironis, betapa masih banyak guru yang bangga dengan status quo. “Saya ngajar udah 30 tahun,” kata mereka, seakan waktu otomatis menyuntikkan kompetensi. Maaf, tapi jam terbang tanpa pembaruan hanyalah nostalgia yang basi. Seperti kaset pita yang diputar di zaman Spotify.

Kenyataannya, AI bukan mitos. Ia nyata, hadir di kelas-kelas, menggoda murid dengan kemudahan jawaban instan dan ringkasan pelajaran super cepat. Dalam laporan UNESCO 2024, disebutkan bahwa lebih dari 60% siswa usia 13-17 tahun di Asia sudah menggunakan teknologi AI untuk menunjang belajar. Maka, guru yang menutup mata akan ditinggalkan, dan perlahan… dilupakan.

Tak ada yang lebih tragis daripada guru yang dikasihani muridnya karena gagap teknologi. Bayangkan, guru yang dulu jadi pusat perhatian, kini cuma jadi ‘kamera rusak’ dalam dunia digital yang bergerak cepat. Sinis? Ya. Tapi kadang kebenaran memang pahit seperti kopi hitam tanpa gula.

Dr. Mampuono tahu betul bahwa melek AI bukan tentang menjadi programmer, tetapi menjadi pembelajar seumur hidup. “Teknologi itu alat, bukan tujuan. Tapi guru, guru itu jantung pendidikan. Kalau jantungnya berhenti, jangan heran kalau generasi masa depan kolaps,” tuturnya.

Pelatihan pagi itu seakan jadi pembaptisan ulang. Para guru, yang biasanya lebih antusias saat jam makan siang ketimbang diskusi, kini duduk tegak, mencatat, bertanya. Ada yang terlihat antusias, ada juga yang terlihat bingung—tapi semua setidaknya sedang bergerak. Dan itu lebih baik daripada diam.

Seorang peserta berbisik, “Ternyata belajar AI nggak seseram yang saya kira.” Senyum kecil merekah. Kadang, ketakutan hanya ilusi yang dibesarkan oleh kebiasaan untuk tidak mencoba.

Moral yang bisa ditarik bukan cuma soal teknologi, tapi tentang semangat. Bahwa guru sejati bukan mereka yang tahu segalanya, tapi mereka yang mau terus belajar walau rambut mulai memutih dan kacamata mulai menebal.

Di tengah derasnya informasi dan arus media sosial yang membanjiri generasi muda dengan konten-konten semu, guru adalah jangkar. Tapi jangkar pun perlu tahu arah angin. Jangan sampai malah tenggelam bersama kapal yang tak tahu tujuan.

Menjadi guru di era AI adalah seni berdansa dengan mesin—mengetahui kapan harus memimpin, kapan harus mengikuti, dan kapan harus memberi makna. Karena pendidikan bukan sekadar soal isi kepala, tapi juga isi hati.

Dr. Mampuono bukan hanya membagikan ilmu, tapi juga menyalakan obor. Ia mengingatkan bahwa yang membuat seseorang menjadi besar bukan pujian, tapi proses panjang yang kadang sunyi dan menyakitkan.

Untuk para guru di Kendal dan di manapun berada: jika dunia sudah berubah, kita tak bisa hanya menonton dari pinggir. Entah kita ikut melangkah, atau tergilas oleh zaman. Seperti kata Charles Darwin, “Bukan yang terkuat yang bertahan, tapi yang paling mampu beradaptasi.”

Akhir kata, mari kita sambut AI bukan dengan ketakutan, tapi keberanian. Karena perubahan adalah sahabat bagi mereka yang siap belajar, dan momok menakutkan bagi mereka yang memilih tinggal di gua nostalgia.

Pesan Moral:

Jangan pernah berhenti belajar, karena zaman tak pernah berhenti bergerak.

Jangan malu untuk berubah, karena stagnasi adalah kematian dalam dunia yang dinamis.

Menjadi guru adalah menjadi pembelajar sepanjang hayat, bukan hanya pengajar seumur jabatan.

AI bukan pengganti guru, tapi mitra yang harus dipahami dan dimanfaatkan dengan bijak.

Comments

Popular posts from this blog

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

NUSANTARA GROUP

RITUAL RAHASIA PEMBEBASAN DARI ENERGI NEGATIF UNTUK MERAIH KEBAHAGIAAN DAN KEBERLIMPAHAN