KOS
Aku dulu kos karena ingin mendapat sawab-nya orang pintar. Kebetulan, saat semester 4, IPK-ku hanya 1,55 dan itu adalah siklus paling rendah dalam fluktuasi kehidupan akademikku. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, kecuali aku telah kehilangan semangat belajarku sedemikian rupa. Yang jelas, aku harus bekerja keras menumbuhkan minat menjadi seorang mahasiswa IKIP yang sesungguhnya.
Aku memang pernah bercita-cita menjadi guru, tepatnya ketika masih berada di sekolah dasar. Guru-guruku waktu itu begitu menginspirasi, dan aku ingin menjadi seperti mereka. Ketika orang-orang di kampungku yang semuanya petani hidup sederhana dengan penampilan dan pakaian yang seadanya. Ketika mayoritas badan orang-orang dikampungku kotor dan bau karena selalu bergelut dengan tanah dan lumpur, para guruku itu terlihat rapi-rapi dan berbau wangi.
Ketika di kampungku belum ada orang naik sepeda, mereka sudah naik sepeda, bahkan ada yang mulai punya kendaraan bermotor dinamo bermerk DKW. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, pandanganku tentang cita-cita mulai berubah. Apalagi ketika aku diterima di sebuah sekolah favorit di tengah kota, pikiranku menjadi semakin terbuka dan ternyata banyak sekali profesi dan cita-cita yang bisa dipilih setelah lulus SMA.
Sayangnya, kondisi ekonomi keluarga yang belum terlalu menggembirakan membatasi pilihanku. Aku mau tidak mau harus mengikuti nasehat kakakku untuk masuk ke perguruan tinggi negeri dengan biaya murah, yaitu IKIP Semarang. Keputusan ini bukanlah tanpa tantangan. Cita-citaku untuk masuk ke jurusan arsitektur atau minimal teknik sipil di perguruan tinggi kenamaan harus aku urungkan. Tentu ini menimbulkan konflik batin tersendiri. Di satu sisi aku tidak boleh menentang keputusan kakakku yang merupakan perwakilan dari ibuku, namun di sisi lain aku ingin menjadi diriku sendiri.
Aku hanya bisa pasrah pada keadaan, menyadari bahwa ini masih lebih baik dibandingkan teman-teman sebaya di kampung yang harus puas hanya sampai lulus SMA. Bahkan banyak dari mereka yang setelah lulus SD atau SMP terpaksa putus sekolah dan bekerja membantu orang tua atau menjadi buruh pabrik di kota. Saat itu, situasi dan kondisi tidak memungkinkan bagiku untuk bersikap egois dan memaksakan kehendak sendiri.
Konflik lainnya yang muncul dan kemudian mendera cukup dalam batinku adalah justru dari sahabat-sahabatku. Suatu siang, kami sedang duduk di kantin sekolah. Aku memberanikan diri untuk berbicara tentang rencanaku.Para sahabatku, teman-teman SMP yang kebetulan diterima menjadi murid SMA favorit di mana aku belajar adalah orang-orang yang aku pikir bisa diajak untuk berbicara dan mengurangi bebanku.
“Aku berencana masuk IKIP Semarang, jurusan pendidikan kimia,” kataku dengan penuh keyakinan.
Mendengar itu, Bambang, Hakni, dan Watik langsung berhenti makan dan minum dengan wajah terbingung-bingung. Bambang, sahabat karibku sejak SD yang selalu menjadi rival dalam meraih peringkat pertama, menatapku dalam-dalam. Wajahnya membeku.
“Serius, Mam? Kamu mau jadi guru? Bukankah banyak profesi lain yang lebih menarik dan menjanjikan?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Hakni, yang duduk di sebelahnya, ikut menimpali, “Mam, kamu kan sudah jauh-jauh sekolah di kota, di SMA favorit lagi. Kenapa harus melepaskan cita-cita besar hanya untuk jadi guru?”
Kalimat-kalimat itu menghantam batinku dengan sangat telak. Mereka sebenarnya bermaksud baik karena mempunyai ekspektasi tertentu terhadap diriku sebagai sahabat mereka selama ini. Namun bagiku, keluhan mereka terdengar seperti cemooh, bukan dorongan semangat. Aku mencoba tersenyum, tetapi hatiku terasa perih.
“Tapi, menjadi guru juga pekerjaan mulia. Aku ingin berbagi ilmu dan menginspirasi banyak orang,” jawabku dengan suara bergetar, mencoba membela diri.
Watik menghela napas panjang, “Kami hanya tidak ingin melihatmu menyia-nyiakan potensimu, Mam. Kamu bisa menjadi apa saja yang kamu inginkan, kenapa harus jadi guru?”
Kata-kata mereka terus terngiang di pikiranku. Mereka mungkin bermaksud memotivasiku, tapi justru membuatku merasa rendah. Setiap malam, aku merenung di kamar , merasa terbebani oleh ekspektasi dan pandangan orang lain.
Jika kembali mengingat kata-kata mereka, semangatku seketika merosot. Walaupun aku akhirnya diterima sebagai mahasiswa jurusan pendidikan kimia di perguruan tinggi tersebut, aku selalu mengalami konflik batin. Aku sering membandingkan diriku dengan teman-teman yang kemampuannya tidak lebih tinggi dariku, tetapi mereka bisa masuk ke perguruan tinggi kenamaan di Indonesia. Hal ini membuat perjalanan kehidupan kampusku tidak terlalu memberikan semangat.
Di tahun pertama, aku berusaha keras menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Aku berpikir mungkin aku bisa menemukan kembali semangatku di tempat ini. Namun, setiap kali aku membuka buku atau duduk di ruang kuliah, pikiranku selalu melayang, membayangkan betapa berbedanya hidupku jika aku bisa kuliah di tempat yang lebih prestisius seperti teman-temanku.
Semester demi semester berlalu, dan nilai-nilaiku selalu di ambang batas minimal. Aku merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah aku inginkan. Ketidakfokusanku dalam belajar semakin parah di semester 4. Aku sering melewatkan kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak produktif. Aku bahkan jarang berinteraksi dengan dosen atau teman-teman di jurusan, merasa semakin terasing di lingkungan kampusku sendiri.
Suatu hari, aku duduk termenung di kamar berdinding papan di rumahku. Aku memandang tumpukan diktat dan buku kimia yang terasa asing dan tidak menarik. Aku merasa begitu jauh dari mimpi masa kecilku. Aku merasa kehilangan arah.
“Kenapa aku harus mengalami ini semua?” gumamku dengan frustrasi.
Malam itu, aku baru saja menonton siaran Dunia Dalam Berita di TVRI dan merasa lesu. Ibuku baru saja selesai melipat daun pisang untuk ditata dan dibawa ke pasar besok paginya. Dia terdengar lelah tetapi tetap berusaha menyemangati.
“Mpu, bagaimana kuliahmu? Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan nada cemas. Ibuku dan saudara-saudaraku serta orang kampung miasa memanggilku dengan panggilan Mpu.
Aku terdiam sejenak, merasa malu dengan kondisiku yang sebenarnya. “Iya, Bu. Aku baik-baik saja,” jawabku pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
Ibu tidak pernah tahu betapa beratnya beban yang aku rasakan. Dia selalu berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan kami, dan aku tidak ingin menambah bebannya dengan keluhanku. Namun, setiap kali aku mendengar suaranya, hatiku semakin tersayat.
Di kampus, aku berusaha menunjukkan wajah tegar. Namun, di balik senyum palsuku, aku merasa hancur. Nilai-nilaiku semakin memburuk, dan IPK-ku pada semester 4 hanya 1,55. Aku tahu aku telah mengecewakan banyak orang, terutama diriku sendiri.
Suatu hari, dosen Kimia Dasarku yang juga dosen waliku, Bu Murbangun, memanggilku ke ruangannya. “Mam, aku ingin bicara denganmu sebentar,” katanya dengan nada serius.
Aku masuk ke ruangannya dengan perasaan cemas. “Ada apa, Bu?” tanyaku pelan.
Bu Murbangun menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Saya melihat nilai-nilaimu menurun drastis, Mam. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku merasa malu dan tidak berdaya. Akhirnya, aku membuka diri dan menceritakan semua yang aku rasakan, tentang konflik batin dan tekanan yang selama itu aku rasakan.
Bu Murbangun mendengarkan dengan seksama. Setelah aku selesai, dia berkata, “Mam, hidup memang penuh dengan tantangan dan rintangan. Namun, kamu harus ingat bahwa setiap orang punya jalan dan perjuangannya sendiri. Jangan biarkan pendapat orang lain menghalangi langkahmu. Temukan kembali alasan mengapa kamu memilih jurusan ini, dan fokuslah pada tujuanmu.”
Kata-kata Bu Murbangun menyentuh hatiku. Aku merasa mendapat sedikit pencerahan. Malam itu, aku merenungkan kembali semua yang telah terjadi. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus-menerus menyalahkan keadaan atau orang lain. Aku harus mengambil tanggung jawab penuh atas hidupku.
Kebetulan saat semester 5 kampus kami boyongan dari jalan Kelud Raya di kota Semarang bawah menuju ke Sekaran, Gunung Pati, di daerah atas. Kampus dibangun bertahap dan mahasiswa juga diboyong bertahap ke kampus yang serba baru dengan suasana perkampungan di daerah pegunungan itu. Jarak kampus yang semakin jauh dari rumah dengan transportasi umum yang tidak setiap saat bisa didapatkan membuatku berpikir keras ketika memutuskan ingin memperbaiki diri.
Jika aku ingin fokus belajar, aku tidak bisa terus-menerus menghabiskan waktu di perjalanan dari kampus ke rumah yang hampir dua jam sekali jalan, dan jika pulang pergi, membutuhkan hampir empat jam. Itu adalah waktu berharga yang bisa aku gunakan untuk belajar. Maka, aku memutuskan untuk kos saja.
Gambar: Bus PS, satu-satunya alat transportasi kami dari kota bawah ke kampus
Aku sudah bertekad bulat meminta izin kepada Ibu untuk bisa kos bersama sahabat karibku, Udin, agar aku bisa tertular semangat belajarnya. Udin adalah mahasiswa dengan IPK tertinggi di kelas kami, dan aku berharap, jika mungkin, aku juga bisa tertular kepandaiannya.
Ketika Ibu mendengarkan permintaanku, aku melihat matanya berkaca-kaca. "Mpu, Ibu tahu kamu ingin yang terbaik untuk masa depanmu. Jika ini yang kamu butuhkan, Ibu akan berusaha membantu," katanya dengan suara lembut tapi tegas. Hatiku bergetar mendengar pengorbanannya.
Akhirnya, dengan restu Ibu, aku pindah ke kosan Udin. Hari-hariku mulai diisi dengan usaha keras untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan spiritual dan sosial dari sahabat kentalku itu. Semula terasa berat untuk berubah. Udin selalu rajin belajar dan tepat waktu dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, sementara aku lebih suka tidur atau berbaring sambil membaca majalah atau novel. Udin selalu bangun pagi untuk sholat Subuh dan melanjutkan dengan membaca buku-buku pelajaran, sementara aku, yang sebelumnya tidak pernah belajar dengan serius, harus berusaha keras mengikuti jejaknya.
Gambar: Ketika Udin belajar aku lebih suka tidur.
Rasanya berat dan butuh energi besar untuk mengubah kebiasaan dari tidak pernah belajar menjadi ingin jadi pembelajar. Setiap malam, ketika Udin masih terjaga mengulang materi kuliah, aku sering merasa lelah dan ingin menyerah. Namun, setiap kali aku melihat kesungguhan Udin, aku teringat kembali tekadku.
"Udin, bagaimana kamu bisa tetap semangat belajar seperti ini?" tanyaku suatu malam saat kami sedang belajar bersama.
Udin tersenyum dan menatapku dengan penuh kehangatan. "Mam, kita ini punya tanggung jawab besar. Kita belajar bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang menyayangi dan mendukung kita. Ingat, setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap jam yang kita habiskan untuk belajar, itu semua untuk masa depan yang lebih baik."
Kata-kata Udin membangkitkan semangatku. Aku jadi teringat, ketika kebetulan pulang bersama Aida, teman kuliahku yang rumahnya di Demak. Kami tak sengaja duduk bersisian di dalam bus PS, satu satunya transportasi umum yang membawa kami dari Sekaran ke terminal Terboyo di Kaligawe pulang pergi. "Mam, mbok kalau bisa kamu belajar lebih serius. Kasihan orang tuamu yang sudah membiayai kuliahmu," pesan Aida sebagai teman yang prihatin melihat kondisiku.
Aku tertunduk dalam dan menahan malu. Aku yang lebih tua dan seharusnya lebih dewasa dinasihati oleh gadis mungil yang lebih muda. Aku menghindari tatapannya dan hanya bisa mengangguk-angguk. Hatiku bimbang tapi tidak bisa menolak kebenaran yang disampaikan Aida melalui kata-katanya. Itu mungkin pesan Tuhan yang dibawa malaikat melalui Aida.
Aku tahu, meskipun jalan ini berat, aku tidak sendirian. Ada sahabat yang mendukung, ada Ibu yang selalu berdoa untuk kesuksesanku, dan yang terpenting, ada harapan di setiap usaha yang aku lakukan.
Suatu hari, aku sedang duduk di teras rumah kos, memandang langit yang cerah dengan harapan yang mulai memudar. Udin menghampiriku dengan senyum lebar di wajahnya.
"Bagaimana kuliahmu, Mam?" tanya Udin sambil menyeruput teh hangat.
"Entahlah, Din. Rasanya berat sekali. IPK-ku yang anjlok kemarin masih menghantui. Menjadi mahasiswi NASAKOM alias nasib IPK satu koma aku merasa tidak ada harapan," jawabku dengan nada putus asa.
Udin menepuk bahuku. "Jangan begitu, Mam. Semua butuh proses. Kamu hanya perlu fokus dan lebih banyak belajar. Ingat, kamu sudah membuat keputusan besar untuk kuliah di sini, jangan sia-siakan kesempatan ini."
Kata-kata Udin seolah memberi sedikit semangat, namun tetap saja aku merasa terbebani. Setiap dua minggu sekali aku pulang dan meminta uang bekal dua minggu berikutnya kepada Ibuku yang sedang kesulitan keuangan. Ibu yang tegar tetap berusaha menyanggupi permintaanku meskipun dengan berat hati. Biasanya di rumah, aku membantu menambah penghasilan dengan memanjat pohon kelapa dan siwalan untuk memanen buahnya, juga memotong daun pisang. Aktivitas itu praktis sudah hilang ketika aku kos. Ini sudah tidak produktif malah menambah biaya berlipat.
"Mpu, sebenarnya sayang kamu sekarang tidak pernah membantu memanen hasil bumi lagi. Bahkan setiap kali pulang kamu selalu minta uang, uang, dan uang. Kalau begini terus, Ibu khawatir dana yang mestinya untuk keperluan lain harus jadi korban," keluh Ibuku setiap kali aku meminta uang.
"Maaf, Bu. Aku hanya ingin menyelesaikan kuliah ini. Aku janji akan bekerja lebih keras," jawabku sambil menunduk.
Ibuku, seorang janda tua dan single fighter, harus banting tulang agar dapur masih mengebul. Aku merasa bersalah tetapi tidak punya pilihan lain. Setiap kali aku melihat wajahnya yang lelah, hatiku tersayat. Namun, di tengah kesulitan itu, Ibuku tetap berusaha mengusahakan biaya kuliahku.
"Mpu, kamu harus ingat bahwa perjuanganmu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk masa depan kita semua," kata Ibu suatu malam ketika aku sedang menyiapkan diri untuk kembali ke kos. Matanya penuh keletihan namun tetap menyimpan harapan.
Kata-kata itu terus terngiang di pikiranku. Perjuangan Ibu adalah kekuatan yang mendorongku untuk tetap bertahan meski rasanya berat. Aku tahu betapa sulitnya hidup bagi Ibu, dan aku merasa terpukul setiap kali memikirkan pengorbanannya. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menyelesaikan kuliah ini. Demi masa depan kami.
Setiap kali melihat Ibu bekerja keras, rasa bersalah itu semakin menyiksa. Di satu sisi, aku ingin segera membantu meringankan bebannya, tetapi di sisi lain, aku tahu bahwa menyelesaikan kuliah adalah jalan terbaik untuk masa depan kami. Tekadku semakin bulat untuk berjuang lebih keras, meski sering kali air mata menetes di tengah malam ketika memikirkan betapa beratnya perjuangan ini.
"Mpu, kamu harus kuat. Ibu percaya, suatu hari nanti semua ini akan terbayar," katanya sambil tersenyum, meski gurat lelah jelas terlihat di wajahnya.
Kata-kata itu bagaikan cambuk bagi semangatku. Aku tahu, di setiap langkah berat yang aku ambil, ada harapan Ibu yang menggantung. Aku harus berhasil, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Ibu yang selalu mendukung tanpa kenal lelah.
Kata-kata Ibu selalu menyentuh hatiku dan menjadi dorongan untuk terus berjuang. Aku mulai mencari cara agar bisa mengurangi beban Ibuku. Aku mencoba berjualan sepatu door to door. Pada saat libur semester aku juga mencoba bekerja di pabrik, dan di setiap kesempatan memungkinkan aku berusaha membantu memanen hasil bumi. Setiap malam, aku belajar hingga larut dengan harapan bisa mengejar ketertinggalanku.
Setiap kali aku merasa lelah, aku selalu mengingat wajah Ibu. "Aku tidak boleh menyerah," kataku dalam hati. "Aku harus membuat Ibu bangga."
Suatu hari, ketika sedang berjualan, aku bertemu dengan seorang pembeli yang kebetulan tetanggaku yang bekerja sebagai kepala SD. Dia menatapku dengan penuh tanya.
"Mpu, kamu kenapa berjualan sepatu? Bukankah kamu seharusnya fokus kuliah?" tanyanya.
"Saya butuh tambahan uang, Pak. Untuk biaya hidup dan kuliah," jawabku sambil tersenyum kecut.
Tetanggaku itu menatapku dengan rasa iba. "Kamu harus berjuang lebih keras, Mpu. Tapi jangan lupakan tujuan utamamu, yaitu belajar."
Pertemuan dengan tetanggaku itu membuatku merenung. Aku sadar bahwa aku harus bisa menyeimbangkan antara bekerja dan belajar. Malam itu, aku kembali ke kos dengan tekad baru. Aku menceritakan semuanya kepada Udin.
"Din, aku harus lebih fokus belajar. Aku tidak ingin mengecewakan Ibu dan diriku sendiri," kataku dengan mata berkaca-kaca.
Udin tersenyum dan mengangguk. "Aku akan selalu mendukungmu, Mam. Kita bisa belajar bersama setiap malam. Jangan khawatir, kamu tidak sendiri."
Dengan bantuan Udin, aku mulai mengikuti ritme kehidupan akademik yang lebih disiplin. Kami belajar bersama setiap malam, saling mengingatkan dan memberi semangat. Perlahan tapi pasti, nilai-nilaiku mulai membaik.
Namun, di balik keberhasilan itu, ada konflik batin yang terus menghantui. Setiap kali aku melihat teman-teman yang hidupnya lebih mudah, aku merasa iri. "Kenapa hidupku harus sesulit ini?" tanyaku dalam hati.
Suatu malam, ketika sedang belajar, Udin melihat kegelisahanku. "Apa yang kamu pikirkan, Mam?" tanyanya.
"Aku merasa iri pada teman-teman yang hidupnya lebih mudah, Aa. Kenapa aku harus mengalami semua ini?" jawabku dengan nada putus asa.
Udin menatapku dengan serius. "Setiap orang punya ujian hidup masing-masing, Mam. Mungkin ini adalah cara Allah menguji kesabaran dan keteguhanmu. Jangan pernah menyerah."
Kata-kata Udin menyentuh hatiku. Aku sadar bahwa setiap kesulitan yang aku hadapi adalah bagian dari rencana Allah untuk membuatku lebih kuat. Dengan tekad baru, aku terus berjuang. Setiap malam, aku belajar dengan semangat, mengingat kata-kata Ibu dan Aa Udin.
Di tengah perjuangan itu, ada saat-saat di mana aku merasa hampir menyerah. Suatu hari, ketika sedang bekerja di pabrik, aku merasa sangat lelah dan ingin berhenti.
"Tidak ada gunanya terus berjuang jika hasilnya tidak terlihat," gumamku.
Namun, ketika aku pulang ke kos dan melihat senyum Udin, aku merasa mendapatkan kekuatan baru. "Kamu harus kuat, Mam. Kita akan melewati semua ini bersama," katanya sambil menepuk bahuku.
Gambar: Aku mulai menyesuaikan diri untuk bisa belajar lebih serius bersama Udin.
Dengan dukungan Udin dan sahabat-sahabat satu angkatan seperti Noor, Hartoyo, Budi, Firdaus, Basuki, Hartoyo, Caryono, Muhlis, Zaenudin, Qodir dan lain-lain serta dorongan dari Ibu dan saudara saudariku, bahkan tetanggak, aku terus berjuang hingga akhirnya bisa menyelesaikan kuliah. Hari itu, ketika menerima ijazah, aku merasa semua usaha dan pengorbanan tidak sia-sia.
Setelah acara wisuda, aku pulang ke rumah dengan bangga membawa ijazah. Ibu menyambutku dengan mata berkaca-kaca. "Kamu telah membuktikan bahwa perjuangan kita tidak sia-sia, Mam," katanya sambil memelukku erat.
"Aku tidak bisa melakukan ini tanpa Ibu dan juga sahabatku Udin," jawabku sambil menahan air mata.
Hari itu adalah bukti bahwa dengan tekad, usaha, dan dukungan dari orang-orang tercinta, tidak ada yang tidak mungkin. Setiap malam yang aku habiskan untuk belajar, setiap pekerjaan yang aku lakukan, semuanya berbuah manis. Aku berhasil mencapai impian dan membuat Ibu bangga. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa hidup adalah tentang perjuangan dan tidak pernah menyerah, apapun rintangannya.
Beberapa bulan setelah wisuda, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah sekolah sebagai guru. Itupun setelah aku berusaha keras untuk memelihara kebun dan ladang peninggalan orang tua dengan menggarapnya terlebih dahulu sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Aku merasa hidupku mulai membaik. Setiap kali aku menerima gaji, aku selalu menyisihkan sebagian untuk Ibu. Melihat senyum di wajahnya adalah kebahagiaan terbesar bagiku.
Suatu sore, aku pulang ke rumah dan melihat Ibu duduk di beranda. Aku menghampirinya dan menyerahkan amplop berisi uang.
"Ibu, ini untuk tambahan kebutuhan kita bulan ini," kataku sambil tersenyum.
Ibu menerima amplop itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Mpu. Kamu benar-benar anak yang baik. Ibu bangga padamu."
Mendengar kata-kata Ibu, hatiku merasa hangat. Semua perjuangan dan pengorbanan terasa terbayar. Aku tidak lagi meragukan diriku sendiri. Aku tahu bahwa setiap langkah yang aku ambil adalah untuk masa depan yang lebih baik bagi kami berdua.
Udin sudah terlebih dahulu kembali ke kampung halamannya setelah wisuda namun juga tetap menjadi sahabat yang setia. Kami walaupun terpisah oleh jarak yang sangat jauh berusaha untuk meluangkan waktu agar bertemu untuk berbagi cerita dan saling mengingatkan betapa pentingnya terus berusaha. Dia selalu menjadi sumber inspirasi dan dukungan.
"Teruslah berjuang, Mam. Hidup ini memang penuh dengan tantangan, tapi kita harus tetap kuat," katanya suatu hari ketika kami sedang duduk di warung kopi.
Aku mengangguk setuju. "Benar, Aa. Aku berjanji tidak akan pernah menyerah. Aku akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik."
Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin menikmati pekerjaanku sebagai guru. Setiap kali aku melihat murid-muridku, aku merasa seperti melihat diriku sendiri yang dulu. Aku ingin mereka tahu bahwa dengan tekad dan kerja keras, mereka bisa meraih impian mereka.
Suatu hari, salah satu muridku mendekatiku dengan wajah serius. "Pak Mam, apakah Bapak pernah mengalami kesulitan saat kuliah?"
Aku tersenyum dan mengangguk. "Ya, banyak sekali. Tapi aku tidak pernah menyerah. Aku selalu ingat untuk terus berjuang demi masa depan yang lebih baik."
Muridku itu tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih keras."
Mendengar kata-katanya, hatiku merasa hangat. Aku tahu bahwa apa yang aku lalui bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan kami semakin stabil. Aku bisa menabung untuk masa depan, dan kesehatan Ibu yang beberapa kali jatuh sakit pun membaik karena tidak perlu lagi terlalu banyak bekerja keras. Kebetulan juga kegiatan di pasar bnyak dibantu kakak perempuanku. Aku mulai berpikir untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi agar bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi murid-muridku. Kebetulan beberapa hari sebelumnya salah satu kakakku memberikan informasi studi lanjut S2 beasiswa unggulan yang salah satu kampus sasarannya ada di kota Semarang.
Suatu malam, ketika sedang duduk di ruang tamu bersama Ibu, aku merenungkan masa depan.
"Bu, aku ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Aku ingin menjadi dosen atau menjadi gurunya guru, seperti guru agamaku di SMA, agar bisa menginspirasi lebih banyak orang," kataku dengan penuh semangat.
Ibu menatapku dengan bangga. "Itu adalah keinginan yang mulia, Mpu. Ibu selalu mendukung apa pun yang terbaik untukmu."
Dengan restu Ibu, aku mulai mencari informasi tentang beasiswa dan universitas yang menawarkan program yang sesuai. Perjuanganku belum berakhir, tapi dengan pengalaman dan dukungan yang aku miliki, aku merasa lebih siap menghadapi tantangan baru.
Di sela-sela persiapanku, aku sering bertemu dengan tetangga yang bekerja sebagai kepala SD. Beliau selalu memberi saran dan dukungan moral yang sangat berarti bagiku.
"Mpu, kamu punya potensi besar. Jangan pernah ragu untuk mengejar impianmu," katanya suatu hari ketika kami bertemu di jalan.
"Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawabku dengan penuh tekad.
Hari demi hari berlalu, aku semakin sibuk dengan pekerjaan dan persiapan untuk melanjutkan studi. Namun, aku tidak pernah melupakan tanggung jawabku sebagai anak. Setiap akhir pekan, aku selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama Ibu, membantu pekerjaan rumah, dan berbincang tentang banyak hal.
Suatu sore, ketika kami sedang menikmati teh di beranda, Ibu berkata, "Mpu, Ibu sangat bangga padamu. Kamu telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad, semua mimpi bisa diraih."
Aku tersenyum dan menggenggam tangan Ibu. "Terima kasih, Bu. Semua ini tidak akan mungkin tanpa dukungan Ibu."
Sayang setelah itu ibu menderita sakit kanker yang perlahan-lahan menggerotuti umurnya. Ibu keburu wafat sebelum menyaksikan putranya berhasil masuk ke perguruan tinggi lagi untuk studi lanjut.
Tidak lama kemudian, aku menerima kabar baik bahwa aku diterima di salah satu universitas ternama dengan beasiswa penuh. Kabar itu membawa kebahagiaan yang tak terhingga bagi kami. Aku hanya bisa membayangkan Ibu memelukku erat, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya, jika seandainya Ibu masih hidup.
"Kamu benar-benar luar biasa, Mpu. Teruslah berjuang, dan jangan lupa berdoa," kata Ibu dengan suara bergetar. Itulah kata-kata yang mestinya aku akan dengar. Hatiku tergugu mengingat semua itu.
Aku sudah menapaki hidup yang baru ketika semua itu terjadi dan sudah ada pendamping hidup yang menggantikan posisi ibu sebagai penyemangatku. Dengan semangat yang baru, aku memulai perjalanan akademik di jenjang yang lebih tinggi. Setiap hari adalah tantangan baru, namun aku tidak pernah merasa sendiri.
Saat berada di kampus baru, aku bertemu dengan banyak orang yang memiliki semangat dan visi yang sama. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman, memberi inspirasi satu sama lain. Pengalaman kuliah kali ini terasa lebih berarti karena aku memiliki tujuan yang lebih jelas dan motivasi yang kuat.
Beberapa tahun berlalu, aku akhirnya berhasil menyelesaikan studi dan meraih gelar yang diimpikan. Hari wisuda kali ini terasa lebih spesial karena aku tahu perjalanan panjang yang aku lalui untuk sampai ke titik ini. Ibu, dan Udin, memang tidak hadir di acara tersebut, namun aku bayangkan mereka memberi selamat dengan penuh kebanggaan karena motivasi yang sudah mereka berikan sudah membuatku hidup lebih baik dan berhasil mulai gelar pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Istri dan anak-anakku yang menghadiri wisuda suami dan bapaknya yang meraih penghargaan sebagai wisudawan terbaik dengan nilai IPK cumlaude membuat mereka lebih berbesar hati.
"Mpu, kamu benar-benar membuktikan bahwa mimpi bisa diraih dengan tekad dan kerja keras. Kami semua bangga padamu," kata tetanggaku yang kebetulan hadir mengantarkan wisuda S1 putranya sambil menjabat tanganku.
Dengan gelar baru dan semangat yang membara, aku memulai karir di salah satu perguruan tinggi sebagai dosen terbang, selain tetap mengajar sebagai guru PNS. Setelah itu aku berpindah profesi sebagai seorang pelatih guru atau Widyaiswara di sebuah lembaga penjaminan mutu pendidikan di tingkat provinsi. Setiap kali aku berdiri di depan kelas, aku selalu teringat perjalanan panjang yang membawaku ke titik ini. Aku ingin setiap pembelajar yang mendapatkan transfer pengetahuan dariku tahu bahwa dengan tekad, kerja keras, dan dukungan orang-orang tercinta, tidak ada yang tidak mungkin.
Di penghujung hari, aku sering merenung dan merasa bersyukur atas semua yang telah aku lalui. Hidup memang penuh dengan tantangan, tapi setiap langkah yang aku ambil telah membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih bijaksana. Aku tidak pernah melupakan pelajaran berharga dari Ibu, Udin, saudara saudariku, dan tetanggaku yang kepala SD, bahwa hidup adalah tentang perjuangan, dan tidak pernah menyerah adalah kunci untuk meraih impian.
Gambar: Aku dan Udin (paling kanan) di masa kiniKini, aku menjalani hari-hariku dengan penuh semangat dan rasa syukur. Aku selalu ingat untuk memberikan yang terbaik dalam setiap langkahku, untuk Ibu yang selalu mendukungku, untuk Udin yang selalu menjadi sahabat setia, dan untuk semua orang yang pernah berjuang bersamaku. Aku percaya, dengan hati yang kuat dan tekad yang bulat, aku bisa terus menginspirasi dan membawa perubahan positif bagi banyak orang.
==================================
Sampangan Semarang, 16 Juni 2024 14.00 WIB.
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._
Menginspirasi
ReplyDeleteAh, jadi malu...tapi keren Mam. Penting utk menyadari, bahwa kemalangan dibagi rata pada semua makhluk. Rasa bahwa kita adalah makhluk paling malang itulah sebenarnya, yg justru merusak ke dalam...qiqiqi
ReplyDeleteTerima kasih mba Tutut. Berkat AI Say bisa menuliskan sebagian kecil penggalan kisah hidup dalam bentuk cerpen.
ReplyDeleteMenulslah Din untuk memgikat apa yang selama ini sudah pernah kita pelajari. Sekarang teknologi memungkinkan kita menulis apapun dengan sangat cepat, mudah, sederhana, dan ajaib.
ReplyDeleteSetiap kata yang mengalir dari jari jemari untuk penuh warna dan makna dan setiap kali aku membacanya selalu ada kesan mendalam maka jika itu dipoles dengan AI akan menjadi tulisan yang luar biasa
ReplyDeleteluar biasa menulis dengan mulut.
ReplyDelete