SABDO DADI, BENARKAH ADANYA?
By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Pernah aku merasakan kemarahan membara saat anakku, Davin, melontarkan perkataan yang tidak pada tempatnya di tengah situasi yang mencekam. Kami sekeluarga sedang menembus jalanan curam menuju tempat Pak Mino. Tukang pijat bertangan dingin itu berdomisili di belakang LPMP, kantor di mana aku bekerja. Lokasi kampungnya berada di daerah Semarang atas, tepatnya di Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang. Dengan mobil tua yang usianya sudah lebih dari sekadar tua, aku menyetir dengan penuh kehati-hatian.
Pemandangan di kawasan itu sungguh indah karena kita bisa melihat view landscape kota Semarang bagian bawah hampir 360°. Namun, jalan yang kami lalui berkelok seperti ular besar, dengan tikungan tajam yang seolah-olah mengancam untuk menelan kami. Di sebelah kanan, jurang dalam menunggu seperti pelukan maut, sementara di kiri, tebing curam menantang kami dengan kedegilan yang sama.
Jalanan sempit yang hanya muat satu mobil ini sudah mulai kehilangan lapisan aspalnya, berganti dengan batu tajam yang siap menyambut setiap kelalaian. Mobil tua kami, seolah-olah adalah kapal tua yang berjuang melawan ombak ganas, menambah ketegangan di dalam kabin. Bayangan kemungkinan buruk tak henti-hentinya menghantui kami, dan doa menjadi pelindung di setiap detik perjalanan yang menegangkan.
Namun, di tengah ketegangan, Davin, dengan nada seolah ingin mengusik badai, berkata, “Kalau mobil ini jatuh ke jurang, pasti seru.” Ucapannya bak petir di langit cerah, menambah ketegangan yang sudah memuncak. Kalimatnya seolah menambah beban pikiran yang seharusnya sudah penuh. Aku menegurnya dengan nada yang mungkin bisa menghancurkan dinding, memintanya untuk diam. Namun, Davin, dengan tenang, membalas, “Lha kemungkinan kan bisa saja terjadi.”
Kata-katanya yang seolah tidak memperhitungkan bahaya sekitar membuat amarahku memuncak. Aku mengancamnya dengan keras, seolah kata-kata itu adalah belati yang tajam, “Vin, jaga mulutmu! Kalau tidak bisa, Bapak turunkan di tengah jalan.” Baru setelah itu, Davin diam, sementara aku berusaha menenangkan diri dan kembali fokus pada jalur yang semakin mengerikan.
Syukurlah, meskipun perjalanan menuju tempat pijat itu terasa seperti melintasi "Jalur Gaza", kami tiba dengan selamat. Namun, ketegangan belum berakhir. Perjalanan pulang menghadapi tanjakan curam, dan mobil tua kami bekerja keras seolah sedang merangkak menembus rintangan. Aku mematikan AC, berharap bisa mengurangi beban mesin. Dengan napas panjang, aku meminta keluarga untuk berdoa kembali, menghapus ingatan tentang perkataan Davin yang masih terngiang di kepala.
Meski kemarahan sempat menyelimuti hati, aku berusaha menahan diri dan tidak membiarkan pikiran negatif menguasai. Dengan doa dan keyakinan, aku memulai perjalanan kembali, mengendalikan mobil tua itu melewati tanjakan demi tanjakan.
Alhamdulillah, setelah melewati perjalanan yang menegangkan dan penuh kekhawatiran, kami tiba di rumah dengan selamat. Lega, kami bisa beristirahat setelah perjalanan yang melelahkan itu. Namun, ketenangan rumah sore itu terusik oleh tangisan Davin. Kami berlarian keluar kamar, penasaran akan penyebabnya.
Rupanya, ketika ibunya menyuruh membeli telur di toko Bu Lis, seekor tawon vespa yang sedang terbang tiba-tiba menyengat bibirnya. Rasa sakit yang luar biasa membuat Davin tak tertahan untuk menangis. Bibirnya membengkak besar, dan selama tiga hari, ia terpaksa istirahat di rumah, tidak masuk sekolah.
Perjalanan kami hari itu menjadi pelajaran berharga tentang kekuatan perkataan. Dalam budaya Jawa, ada konsep *sabdo dadi*, yang berarti “ucapan menjadi kenyataan.” Ini mengajarkan bahwa setiap ucapan, baik positif maupun negatif, mengandung energi yang bisa membentuk realitas. Sebuah ucapan, apalagi yang diucapkan dalam emosi kuat atau situasi tertentu, bisa menjadi doa yang diamini oleh semesta.
Ajaran spiritual Islam juga menegaskan hal ini. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Kata-kata bukan sekadar getaran suara, tetapi energi yang bisa membawa kebaikan atau keburukan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaf: 18). Setiap kata yang kita ucapkan dicatat dan bisa mempengaruhi hidup kita dan orang lain. Terutama jika ucapan itu keluar dari seseorang yang merasa terzalimi, bisa jadi doa yang langsung dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalam situasi marah atau frustrasi, seperti saat aku terhadap Davin, sangat mudah untuk kehilangan kendali dan melontarkan kata-kata yang tidak seharusnya. Aku hampir saja terperosok dalam amarah yang bisa memunculkan hal-hal buruk. Oleh karena itu, penting untuk menahan diri dan menjaga ucapan, bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun.
Pelajaran ini juga tercermin dalam kisah seorang ibu yang marah pada anaknya. Dalam kemarahannya, ia melontarkan kata “samber gelap”, yang dalam bahasa Jawa berarti disambar petir. Tak lama setelah itu, anaknya benar-benar disambar petir saat hujan badai. Ibu tersebut merasakan penyesalan mendalam, menyadari betapa kata-katanya yang dilontarkan dalam kemarahan dapat membawa bencana nyata.
Kisah ini mengingatkan kita akan kekuatan luar biasa dari kata-kata. Saat marah atau kecewa, kita sering meluapkan emosi tanpa memikirkan akibatnya. Namun, kata-kata bisa mempengaruhi orang lain dan bahkan membentuk takdir kita sendiri. Dalam keadaan apapun, kita harus menjaga hati dan ucapan agar tidak terjebak dalam amarah yang merugikan.
Pengalaman kami di perjalanan itu menjadi pengingat penting tentang dampak kata-kata. Meskipun Davin hanya bercanda, situasinya sudah cukup menambah ketegangan. Dengan doa dan keyakinan, aku berusaha mengatasi kekhawatiran dan memastikan keselamatan perjalanan kami. Alam semesta merespons energi yang kita pancarkan, termasuk dari kata-kata. Maka, menjaga lisan adalah kunci untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sabdo dadi bukan sekadar mitos, tetapi kenyataan bahwa energi dalam ucapan kita bisa menciptakan realitas di sekitar kita.
==================================
Srondol Kulon, Semarang, 19 September 2024 09.00 WIB.
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._
Comments
Post a Comment