CERPEN 28: KEMBALI
KUMPULAN CERPEN TALI BAMBUAPUS GIRI
CERPEN 28: KEMBALI
Oleh: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S.Pd., S.Pd., M.Kom.)
Embun pagi masih segar, menetes perlahan dari dedaunan jati yang menjulang tinggi di pinggiran desa. Matahari baru saja mengintip dari balik perbukitan Giri, mengirimkan sinar oranye keemasan yang seolah menyapa dengan lembut, seperti seorang ibu yang mengusap rambut anaknya. Di desa Giri ini, waktu seakan melambat. Setiap hembusan angin membawa ketenangan yang dalam, namun di balik kesederhanaan itu, ada kisah yang menggelegak di dalam hati seorang pemuda bernama Danar.
Danar, lelaki yang tak pernah lelah mencari makna hidup, hari itu duduk di tepi sungai kecil di belakang rumahnya. Airnya yang jernih mengalir begitu perlahan, seolah malas berlari menuju lautan. Ada kesedihan di mata Danar, meski mulutnya tersenyum tipis. Sejak kecil, ia diajarkan tentang filosofi hidup yang diturunkan oleh para leluhurnya: Sangkan Paraning Dumadi—ajaran tentang perjalanan manusia dari asalnya hingga kembali kepada Sang Pencipta. Namun, ajaran itu kini terasa seperti beban, berat dan mencekik.
"Hidup ini apa sebenarnya?" gumam Danar dalam hati. Seperti sungai yang terus mengalir tanpa tahu di mana akhirnya, Danar merasa terjebak dalam rutinitas tanpa tujuan. Semua yang dilakukannya selama ini terasa hampa. "Kita hidup hanya untuk kembali? Lalu untuk apa semua penderitaan ini?" Pikirannya melayang ke masa kecil, di mana ibunya seringkali mengajarkannya untuk tidak merisaukan dunia. "Hanya ladang akhirat, Danar. Dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya," begitu kata ibunya.
Danar mengingat dengan jelas wajah sang ibu, keriput namun penuh kebijaksanaan, seolah setiap garis di wajahnya menyimpan rahasia alam semesta. Namun kini, ibunya telah pergi. Menghadap Sang Khalik, meninggalkan Danar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Di desa itu, cerita Danar tak jauh berbeda dengan cerita orang-orang lainnya. Mereka semua tahu bahwa kehidupan hanyalah perjalanan sementara. Bahkan gunung-gunung yang tegak berdiri di desa Giri, dengan gagah dan kokoh, suatu hari nanti akan runtuh dan hilang, kembali ke asalnya. Alam berbicara dengan bahasa yang tidak selalu kita mengerti, namun pesannya jelas: segala sesuatu yang datang, akan pergi. Termasuk Danar.
---
"Danar, apa kau di sini?" suara lembut mengagetkan Danar dari lamunannya. Itu suara Ratih, sahabat kecilnya yang kini menjadi seorang perempuan dewasa dengan mata yang selalu tampak penuh harap.
Danar tersenyum kecil dan melirik ke arah Ratih, namun matanya tak benar-benar fokus. "Iya, aku di sini, Ratih," jawabnya pendek.
"Kau masih memikirkan ibumu?" Ratih mendekati Danar, duduk di sebelahnya di tepi sungai yang tenang. Danar mengangguk, namun tak langsung menjawab. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suara gemericik air yang seolah berbicara bahasa rahasia kepada mereka.
"Kau tahu, aku juga sering memikirkan ayahku," ucap Ratih kemudian, memecah keheningan. "Sejak dia meninggal, aku selalu bertanya-tanya, apakah kita benar-benar siap kembali kepada-Nya? Seperti apa rasanya?"
Danar memalingkan wajahnya ke langit yang cerah. "Kita hidup dengan janji, Ratih. Janji bahwa semua akan berakhir dan kita akan kembali. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kita harus melewati semua penderitaan ini, hanya untuk kembali."
Ratih menghela napas panjang. "Mungkin, penderitaan adalah bagian dari cara kita mempersiapkan diri. Seperti embun yang menguap di pagi hari, untuk kemudian kembali menjadi hujan. Kita datang, kita pergi, tapi perjalanan itu sendiri yang membentuk kita." Pikiran Ratih melayang jauh ke masa kanak-kanaknya, waktu dia masih kelas lima SD.
—
Ratih berjalan sendirian menyusuri jalan setapak di tepi Kali Widuri setelah pulang dari SD Giri I. Siang itu, matahari terasa sangat terik, dan suasana sekitar tampak lengang. Dengan tas sekolah yang menggantung di pundaknya, ia melangkah pelan-pelan sambil memikirkan PR yang harus dikerjakannya nanti di rumah. Namun, tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara derap kaki yang mendekat. Ratih menoleh, dan hatinya seketika ciut saat melihat gerombolan anak-anak yang terkenal nakal, dipimpin oleh Radit, anak kampung sebelah yang selalu mencari masalah.
"Hei, Ratih! Mau pulang ya? Tumben sendirian?" Radit menyeringai, diikuti tawa cemoohan dari teman-temannya. Ratih segera merasa jantungnya berdegup kencang. "Tinggalkan aku sendiri!" seru Ratih dengan suara gemetar, tapi tubuhnya terasa kaku. Radit dan teman-temannya semakin mendekat, mengepungnya. Salah satu dari mereka mulai menarik tas sekolahnya, sementara yang lain mendorong-dorong bahunya. Ratih mulai menangis, air mata turun deras di pipinya. Rasa takut yang membuncah membuatnya tak bisa berpikir jernih, hingga saat itulah ia merasa benar-benar tak berdaya.
Namun, dari kejauhan terdengar langkah kaki cepat dan suara teriakan, "Lepaskan dia!" Semua mata seketika menoleh ke arah suara itu, dan tampak seorang anak laki-laki, seumuran mereka, datang berlari menghampiri. Danar, yang kebetulan sedang melintas di sekitar situ, tak bisa tinggal diam saat melihat Ratih diganggu. Tanpa pikir panjang, Danar langsung berdiri di depan Ratih, menghalangi gerombolan Radit. "Jangan sentuh dia lagi, atau kalian berurusan denganku!" tegasnya, meski terlihat jelas bahwa ia sadar jumlah mereka lebih banyak.
Radit, yang merasa terganggu, langsung maju mendekati Danar. "Kamu mau jadi pahlawan, hah? Anak kecil seperti kamu pikir bisa melawan kami?" ucapnya sinis. Namun, Danar tetap tak mundur. Ia melayangkan tinjunya meski harus menghadapi pukulan dari salah satu anak buah Radit. Pertarungan kecil pun tak terhindarkan. Danar babak belur, jatuh dan bangun beberapa kali. Namun, keberaniannya yang luar biasa membuat gerombolan Radit perlahan gentar. Melihat Danar tak mundur sedikit pun meski terluka, mereka mulai ragu dan akhirnya, setelah beberapa saat, Radit memberi isyarat untuk mundur. "Ayo kita pergi! Nggak ada gunanya ngelawan orang nekat kayak dia."
Ratih yang masih terisak, memandang Danar dengan kagum sekaligus lega. Meski tubuhnya memar dan kotor, Danar tersenyum tipis. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut, sambil membantu Ratih berdiri. Dalam diam, hati Ratih berterima kasih. Bagi Ratih, momen itu menjadi awal dari rasa hormat dan kagum pada Danar, seorang anak yang rela terluka demi melindungi orang lain.
***
Ratih tak mampu melupakan pertemuan pertamanya dengan Danar di tepi Kali Widuri. Ingatannya berputar seperti pusaran air yang tak henti-hentinya menghantam hatinya. Danar, pemuda yang datang bak embun di tengah kemarau, menyelamatkannya dari teror gerombolan anak begal yang dipimpin Rondo. Ketika sosok Danar, yang meski terluka dan babak belur, tetap berdiri tegak membela yang lemah, hati Ratih mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bagai bunga yang mulai mekar, perasaan kagum di hatinya perlahan berubah menjadi cinta yang tak terucapkan. Namun, Ratih tahu, perasaan itu tak semudah itu untuk diwujudkan, terutama karena kehidupan mereka yang sangat berbeda.
"Kenapa kamu begitu berani, Danar?" tanya Ratih suatu ketika, ketika mereka bertemu kembali di sudut desa. Suaranya bergetar, antara kagum dan cemas, karena ia tahu, keberanian seperti itu bisa membahayakan diri Danar.
Danar tersenyum, senyum yang lembut namun penuh keyakinan, seperti matahari yang perlahan menembus kabut pagi. "Karena aku percaya, setiap orang berhak mendapatkan pertolongan. Hidup ini bukan soal siapa yang kuat atau lemah, tapi soal bagaimana kita saling menjaga."
Kata-kata Danar menggema dalam hati Ratih, seperti suara gamelan yang terus berdentang meski telah lama berlalu. Danar, seorang pemuda sederhana yang hidup di tengah berbagai kesulitan, tidak pernah menyerah pada nasib. Bagi Ratih, Danar adalah bukti hidup bahwa kehidupan tidak hanya tentang kekayaan materi, tetapi tentang keberanian dan keteguhan hati. Ratih, yang dibesarkan dalam kemewahan, mulai melihat dunia dari sudut pandang Danar—dunia yang penuh tantangan namun dihadapi dengan kepala tegak dan hati yang lapang.
Di tengah rasa kagumnya, Ratih semakin terpesona oleh ketertarikan Danar pada filsafat hidup, terutama konsep "Sangkan Paraning Dumadi", yang terus membayangi pikirannya. Setiap kali Danar berbicara tentang asal dan tujuan hidup, Ratih merasakan ada kedalaman yang jarang ia temui di orang lain. "Apa itu 'Sangkan Paraning Dumadi' bagi kamu, Danar?" tanya Ratih di suatu sore yang sunyi, saat mereka duduk di bawah pohon beringin di tepi desa.
Danar menatap langit sejenak, seolah mencari jawaban di antara awan yang bergerak lambat. "Sangkan Paraning Dumadi," ucapnya dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, "adalah perjalanan dari asal kita diciptakan menuju tujuan kita kembali. Tapi di antara keduanya, ada perjalanan yang harus kita lalui dengan makna. Hidup ini bukan sekadar kembali kepada-Nya, tapi tentang bagaimana kita mengisi perjalanan itu dengan nilai-nilai kebaikan."
Ratih mengangguk pelan, merasa bahwa di dalam kata-kata Danar terdapat kebijaksanaan yang lebih dalam daripada yang bisa dipahami sekilas. Semakin dalam Ratih mengenal Danar, semakin dalam pula perasaannya terhadap pemuda itu. Bagi Ratih, Danar bukan hanya pahlawan yang menyelamatkannya di tepi Kali Widuri, tetapi juga sosok yang memberikan arah baru dalam hidupnya—arah yang penuh dengan pemahaman dan nilai-nilai luhur.
Namun, kebahagiaan Ratih tidak datang tanpa hambatan. Di rumahnya, Ardan, kakak laki-lakinya, menjadi penghalang utama. Ardan, yang sejak kecil dimanjakan oleh orang tua mereka, tumbuh menjadi sosok yang keras kepala dan selalu ingin menang sendiri. Ketika ia mengetahui bahwa adiknya, Ratih, mulai dekat dengan Danar, pemuda yang dianggapnya tak sepadan, Ardan marah besar. "Apa yang kamu lihat dari Danar, Ratih? Dia hanya anak kampung yang tidak punya apa-apa!" hardiknya pada suatu malam.
Ratih, yang biasanya menuruti kata-kata kakaknya, kali ini tak bisa diam. "Danar lebih dari sekadar apa yang terlihat, Kak. Dia punya hati yang besar, lebih besar dari apa pun yang kamu pikirkan. Dan dia punya prinsip yang teguh. Itu jauh lebih berharga daripada harta benda."
Ardan mendengus sinis, seperti angin malam yang dingin dan menusuk. "Prinsip? Apa prinsip bisa mengisi perut? Apa bisa membangun masa depan yang layak?"
Kata-kata Ardan menusuk hati Ratih, namun ia tetap bertahan. "Kamu salah, Kak. Hidup ini lebih dari sekadar harta. Lihat desa kita, banyak perubahan terjadi karena Danar. Banyak orang yang menghormatinya, bukan karena uang, tapi karena kebijaksanaannya."
Meski Ratih berusaha menjelaskan, Ardan tetap keras kepala. Baginya, dunia hanya dipahami dalam hitungan kekayaan dan status. Dan dalam hal itu, Danar tidak memenuhi syarat apa pun. Namun, di balik kemarahan Ardan, terselip rasa cemburu. Ia tahu bahwa Danar, dengan segala kekurangannya, memiliki sesuatu yang tidak pernah ia miliki: hormat dan cinta tulus dari orang-orang di sekitarnya, termasuk dari adiknya sendiri.
Sementara itu, Danar tak pernah memaksakan apa pun. Meski ia tahu Ardan menentangnya, Danar tetap menjalani hidupnya dengan ketenangan. Setiap hari, ia bekerja keras untuk desanya, belajar lebih dalam tentang kehidupan, dan terus mencari jawaban atas pertanyaannya tentang "Sangkan Paraning Dumadi." Setiap langkah yang ia ambil adalah cerminan dari filosofi hidup yang ia yakini. Hidup bukan tentang tujuan akhir, tapi tentang perjalanan yang penuh makna di sepanjang jalan.
Di tengah pergulatan batin antara Ratih dan kakaknya, Danar semakin mendalami pemahamannya tentang kehidupan. Ia sering bertemu dengan para gurungaji dan sesepuh di desa, bertukar pikiran tentang filosofi Jawa dan hubungannya dengan ajaran Islam, lalu mencari makna yang lebih dalam dari kehidupan sehari-hari. Ratih, yang diam-diam mengamati perjalanan Danar, semakin terpesona. Baginya, Danar adalah pahlawan sejati, bukan hanya karena ia pernah menyelamatkannya, tetapi karena nilai-nilai luhur yang selalu ia pegang teguh.
Namun, takdir selalu punya cara untuk memutar balik keadaan. Suatu hari, Ardan mengalami kecelakaan saat berkendara di desa. Karena Ardan dianggap pemuda bengal dan suka kebut-kebutan, kecelakaan itu justru menjadi tontonan warga. Tidak ada yang menolongnya, kecuali Danar. Tanpa ragu, Danar mengulurkan tangan, meski ia tahu bahwa Ardan membencinya. Ardan, dengan tubuh yang masih terasa nyeri setelah kecelakaan kecil yang ia alami, tak bisa menghilangkan rasa curiga yang tumbuh di hatinya. Ketika Danar mengulurkan tangan untuk menolong, sebuah kecurigaan mendalam merayap di benaknya, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata di balik senyum Danar yang selalu tampak tulus itu. “Apakah dia hanya ingin terlihat baik di depan Ratih?” batinnya berteriak penuh amarah.
Meskipun tubuhnya lemah, api kebencian di dalam dirinya membakar semakin besar. Ardan menepis pertolongan Danar dengan kasar, seolah membuang segenap kemanusiaan yang ditawarkan kepadanya. "Jangan sentuh aku!" suaranya meninggi, penuh kemarahan dan sinisme. "Kamu pikir dengan menolongku, kamu bisa mendapatkan Ratih? Kamu pikir dengan bersikap seperti pahlawan, semua orang akan jatuh hati padamu?"
Danar yang semula tenang, sedikit terkejut dengan reaksi itu, tetapi tetap bertahan. Senyum lembut di wajahnya perlahan menghilang, namun pandangan matanya masih sama: penuh kesabaran. "Ardan, aku hanya ingin membantu. Tak ada niat lain."
Namun kata-kata Danar tak mampu menembus dinding kebencian yang mengelilingi hati Ardan. “Jangan pura-pura suci, Danar! Aku tahu apa yang kamu inginkan. Kamu mau Ratih, dan kamu pikir aku akan diam saja melihatmu mengelilinginya dengan topeng kebaikan itu?” Ardan melontarkan tuduhan-tuduhan dengan sengit, seolah-olah kebaikan Danar adalah ancaman bagi keberadaan dirinya.
Di tengah kekacauan itu, langkah kaki terdengar mendekat. Pak Lurah, yang baru saja pulang dari rapat bersama Ratih, tiba tepat saat Ardan tengah meluapkan emosinya. "Ada apa ini?" tanya Pak Lurah, suaranya tegas namun bijak. Wajah tuanya tampak lelah, namun matanya tetap tajam meneliti keadaan. Ratih, yang berdiri di sampingnya, menatap kedua lelaki yang tengah berseteru itu dengan perasaan campur aduk—cemas, marah, dan tak habis pikir.
Pak Lurah melangkah lebih dekat, dengan angin sore yang perlahan mereda di balik pepohonan desa. "Ardan, kamu tidak tahu siapa Danar sesungguhnya," ucap Pak Lurah sambil menepuk bahu Ardan. “Dia sudah berjuang untuk desa ini sejak lama. Jika ada yang tahu kepribadiannya, itu adalah kami semua, termasuk aku. Dia tidak pernah meminta imbalan, apalagi mencari-cari perhatian Ratih seperti yang kamu pikirkan.”
Ardan terdiam, namun masih tampak resah. Matanya beralih ke arah Ratih, mencari dukungan dalam kebencian yang ia rasa, namun Ratih tak memberikan apa yang ia inginkan. Sebaliknya, Ratih berdiri tegak, menatap kakaknya dengan tatapan yang penuh kekecewaan. “Kakak,” suara Ratih pelan namun tegas, seperti angin yang tak terasa namun menusuk hingga ke tulang. “Sudah saatnya kamu berhenti berpikir buruk tentang Danar. Kamu bahkan belum benar-benar mengenalnya, tapi sudah membencinya hanya karena dia tidak seperti yang kamu harapkan.”
Ardan semakin gelisah. Setiap kata dari Ratih dan Pak Lurah terasa seperti pukulan yang menghantam ego dan harga dirinya. Ia tidak ingin mengakui bahwa mungkin, hanya mungkin, selama ini ia salah menilai Danar. "Tapi dia selalu berada di dekatmu, Ratih. Aku tidak bisa berpikir lain..." ucapnya, suaranya mulai melemah, seolah dinding kebencian di dalam hatinya mulai runtuh.
Pak Lurah menambahkan, “Kamu harus mengerti, Ardan. Danar bukan orang yang mengejar keuntungan dari orang lain. Dia tulus ingin membangun desa ini. Semua kemajuan yang kita rasakan sekarang tidak lepas dari jasanya, bukan karena dia ingin mendapatkan sesuatu dari kita, tapi karena dia percaya pada kebaikan yang harus disebar tanpa pamrih.”
Kata-kata Pak Lurah menggema di benak Ardan, perlahan-lahan menyadarkan hatinya yang selama ini penuh prasangka. Ia terdiam lama, tak tahu harus berkata apa. Ratih, yang melihat kegelisahan di wajah kakaknya, mendekat dan menggenggam tangannya. “Kak, Danar bukan musuhmu. Dia bukan penghalang, dan dia tidak ingin mengambil apapun darimu. Dia hanya ingin desa ini maju, dan aku yakin... di hatinya tidak ada niat buruk sama sekali.”
Momen itu, di bawah langit sore yang mulai berwarna jingga, menjadi titik balik bagi Ardan. Perlahan tapi pasti, kesadaran merayap masuk ke dalam pikirannya. Semua kebenciannya selama ini hanya hasil dari prasangka yang tak beralasan, sebuah ilusi yang ia ciptakan karena ketidakmampuannya menerima kenyataan bahwa Danar adalah seseorang yang berbeda dari dirinya. Ardan menarik napas panjang, menatap Ratih dan kemudian Danar dengan mata yang mulai basah.
“Maafkan aku, Danar,” kata Ardan akhirnya, suaranya penuh penyesalan. “Aku terlalu terjebak dalam pikiranku sendiri. Aku salah menilaimu. Aku tidak pernah benar-benar mencoba mengenalmu.”
Danar, yang sejak tadi tetap tenang, tersenyum kembali. "Tak perlu meminta maaf, Ardan. Kita semua pernah salah paham. Yang penting, kita bisa memperbaiki keadaan dan bersama-sama membangun yang lebih baik."
Kata-kata itu seolah menjadi penutup dari semua kekacauan yang selama ini mengisi hubungan mereka. Ardan merasa seperti baru saja terbebas dari beban berat yang menghantui pikirannya selama ini. “Aku janji, mulai sekarang aku akan belajar menjadi lebih baik. Aku ingin ikut serta membangun desa ini bersama-sama dengan kalian.”
Ratih tersenyum haru, menyaksikan bagaimana kakaknya akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa Danar adalah orang yang tepat—bukan hanya untuk desa mereka, tetapi mungkin juga untuk hatinya. Pak Lurah, yang selama ini menjadi saksi dari perjuangan Danar dan konflik Ardan, mengangguk puas.
Dengan persetujuan yang tak terucapkan, Danar, Ardan, dan Ratih tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Namun, mereka kini berjalan di jalur yang sama, bersama-sama membangun desa Giri menjadi lebih maju. Sementara di benak Danar, perjalanan hidup yang ia pelajari dari Sangkan Paraning Dumadi semakin jelas: hidup ini adalah perjalanan dari asal menuju tujuan, dan di antara keduanya, ada makna yang harus mereka ciptakan bersama.
Malam itu, di dalam kamar kecilnya, Danar merenung lebih dalam dari biasanya. Lampu minyak yang berkelap-kelip di atas meja kayu tua seolah menari-nari bersama pikirannya yang tak menentu. "Sangkan Paraning Dumadi..." ucap Danar lirih, berusaha menemukan makna di balik kata-kata itu. Perjalanan dari asal menuju tujuan. Tetapi apakah tujuan itu sekadar kembali? Apakah hidup hanya tentang kembali kepada Sang Pencipta tanpa ada makna di antaranya?
Pikirannya kemudian beralih ke satu sosok yang selalu mengajarinya tentang ajaran ini dengan begitu tulus—ayahnya. Danar ingat bagaimana ayahnya pernah berkata, "Nak, kita ini seperti perahu kecil di tengah samudera. Tidak tahu kapan angin akan membawa kita pulang, tapi kita harus terus berlayar. Jangan takut. Samudera itu besar, tapi pelabuhan kita sudah menunggu."
Danar tertawa kecil, sinis. "Perahu kecil? Samudera? Apa semua ini cuma permainan kata-kata untuk membuat hidup yang sulit ini terasa masuk akal?" pikirnya. Namun, di balik sinismenya, ada sedikit perasaan lega yang muncul. Kata-kata ayahnya, meski terdengar klise, tetap memberinya sedikit kekuatan.
Di tengah pergulatan batinnya, Danar akhirnya menyadari bahwa hidup tak melulu soal jawaban yang pasti. Sama seperti konsep Sangkan Paraning Dumadi—perjalanan dari asal menuju tujuan—hidup itu sendiri adalah pencarian tanpa akhir, sebuah perjalanan menuju makna yang terus berubah. Kecemasan yang dulu mencengkeram hatinya perlahan luruh, saat ia memahami bahwa yang terpenting bukanlah mencapai garis akhir, melainkan menghargai setiap langkah yang dilalui. Dalam Islam, ada ajaran tawakal, menyerahkan hasil kepada Sang Pencipta setelah berusaha, yang kini menggema kuat dalam hatinya.
***
Dengan hati yang lebih ringan, Danar berjalan menuju bukit Giri, tempat di mana ia selalu menemukan ketenangan. Saat itu, ia kembali bertemu dengan Ratih dan Ardan. Ardan, yang sebelumnya dipenuhi kecurigaan dan kebencian, mulai memandang Danar dari perspektif yang berbeda, setelah percakapan dengan Pak Lurah membuka hatinya. Pak Lurah, dengan kebijaksanaannya yang seperti mata air tak pernah kering, menjelaskan bahwa Danar bukanlah musuh, melainkan cahaya bagi desa mereka, seorang pemuda yang menanamkan harapan dan ketulusan demi kemajuan bersama.
"Mungkin hidup memang tentang menerima," gumam Danar, mengingat ajaran ayahnya serta makna Sangkan Paraning Dumadi yang terus ia renungkan. Hidup adalah aliran, mengalir dengan waktu, seperti sungai yang terus mencari lautan. Ardan, yang dulu diliputi rasa iri dan benci, kini tersadar bahwa Danar bukanlah ancaman, melainkan seseorang yang membawa kebaikan dengan prinsip yang kuat. Seperti karang yang menahan badai, Danar tetap kokoh dalam pendiriannya, meskipun dihantam berbagai prasangka dan fitnah.
Ratih tiba-tiba muncul di samping Danar, dengan senyum lembut yang seolah memantulkan sinar matahari pagi. "Kau tahu, Danar? Mungkin kita tak perlu mengerti segalanya. Mungkin cukup dengan menerima bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar." ucapnya. Di bawah langit luas yang seolah memeluk mereka dengan hangat, Danar merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menatap Ratih dengan perasaan yang dalam—sebuah perasaan yang tidak hanya tentang cinta, tapi juga tentang kepercayaan pada perjalanan hidup yang mereka lalui bersama.
Pada saat itu, Danar menyadari bahwa jawaban atas semua pertanyaannya bukanlah sesuatu yang harus dipahami dengan akal, melainkan sesuatu yang harus dirasakan dalam hati. Dengan Ratih di sisinya, dan Ardan yang kini berdamai dengan dirinya sendiri, Danar merasa telah menemukan rumah, bukan di ujung perjalanan, tetapi di setiap langkah yang mereka lalui bersama. Seperti cahaya fajar yang tak pernah gagal membelah malam, mereka akan terus bergerak maju, membangun desa Giri, memaknai hidup, dan menemukan tujuan yang tak terhingga, dalam setiap tarikan napas mereka.
Akhirnya, desa Giri bukan lagi sekadar kampung kecil di kaki bukit. Ia menjadi simbol perjuangan bersama, sebuah bukti nyata bahwa perjalanan hidup, dengan segala lika-likunya, adalah tentang bagaimana kita menerima, memperjuangkan, dan menghidupi nilai-nilai yang kita percayai. Dan di tengah perjalanan itu, Danar, Ratih, dan Ardan—bersama seluruh warga desa—berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang datang, dengan keyakinan bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju makna, sebuah pencarian abadi dalam samudera tak terbatas.
==================================
Semarang, 30 September 2024, 12.00 WIB.
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ yang merupakan strategi pengembangan dari metode Menemu Baling (menulis dengan Mulut dan Membaca dengan Telinga) sambil menghabiskan waktu istirahat siang.
Dari kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri.
Comments
Post a Comment