MENJADI CERMIN KEHIDUPAN



Penulis : Afifah, tutor SKB kota Tegal

Editor:  Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.) 

(Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.) 


Budi pekerti, meski terdengar sederhana, adalah kunci yang menghidupkan jiwa. Tanpa budi pekerti, manusia hanya sekedar kumpulan daging dan tulang, bergerak tanpa arah seperti daun jatuh yang diterbangkan angin. Namun, bagaimana kita bisa menanamkan budi pekerti pada generasi muda yang dibombardir dengan teknologi tanpa batas dan informasi yang sering kali tanpa filter?


Langkah pertama adalah menjadi contoh teladan. Guru adalah cerminan, dan siswa adalah air di danau yang menampilkan refleksi dari apa yang dilihatnya. Jika gurunya berwibawa, jujur, dan tanggung jawab, siswa akan dengan mudah mencontoh. Rasulullah SAW mengingatkan dalam haditsnya, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain". Namun sayangnya, di era modern ini, tidak sedikit yang memilih untuk menjadi contoh buruk, lebih suka memerintah tanpa menjadi pelaku utama dari apa yang mereka perintahkan.


Integrasi nilai budi pekerti ke dalam mata pelajaran adalah kunci kedua. Bahasa Indonesia, misalnya, bukan hanya tentang tata bahasa dan sastra, melainkan juga media untuk menyampaikan nilai-nilai luhur. Dalam setiap cerita rakyat atau teks fiksi, terdapat pesan moral tersembunyi. Namun ironisnya, sistem pendidikan kita lebih sering terjebak dalam angka-angka daripada membangun karakter. Seperti kata Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia," namun apakah senjata itu digunakan dengan bijak?


Pembiasaan harian mungkin tampak seperti langkah kecil, tetapi dampaknya bisa sedahsyat tsunami. Membiasakan anak-anak untuk mengucapkan salam, meminta maaf, dan berterima kasih bukan sekadar formalitas, melainkan upaya membangun kebiasaan emas. Allah SWT berfirman dalam Alquran, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra’d: 11). Perubahan dimulai dari hal-hal kecil, tetapi sayangnya banyak dari kita yang mengabaikannya.


Penghargaan dan sanksi adalah dua sisi koin yang harus dijalankan dengan adil. Menghargai siswa yang berperilaku baik adalah cara paling sederhana untuk mendorong mereka terus melangkah di jalan yang benar. Namun, bagaimana dengan sanksi? Jangan biarkan sanksi menjadi alat untuk menghukum, melainkan sebagai pembelajaran moral. Siswa yang melanggar perlu dipahami, bukan hanya diadili. Namun kenyataannya, banyak sanksi di sekolah yang hanya sebatas formalitas tanpa substansi mendidik.


Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, bakti sosial, atau kegiatan lainnya dapat menjadi medan nyata untuk mempraktikkan budi pekerti. Saat siswa diajak terjun langsung ke masyarakat, mereka belajar tentang kehidupan sesungguhnya—bahwa nilai-nilai moral bukan hanya teori, tetapi perlu dipraktikkan. Tetapi, sayangnya, berapa banyak sekolah yang masih menganggap ekstrakurikuler sekadar pelengkap, bukan bagian integral dari pendidikan karakter?


Diskusi dan refleksi adalah cara cerdas untuk membuka mata hati siswa. Dengan menghadirkan dilema moral melalui skenario nyata, siswa diajak untuk berpikir dan merasakan. Namun, dalam kenyataannya, banyak guru lebih suka memberikan ceramah panjang daripada mendengar pendapat siswa. Albert Einstein pernah berkata, "Saya tidak mengajar murid-murid saya; saya hanya mencoba memberikan kondisi di mana mereka bisa belajar." Ironisnya, kita sering kali lebih suka memaksakan jawaban daripada membiarkan siswa menemukan kebenarannya sendiri.


Lingkungan sekolah juga memainkan peran krusial. Sekolah yang bersih, teratur, dan penuh penghormatan adalah cerminan dari budaya yang mendukung pembentukan karakter. Namun, lihatlah beberapa sekolah di sekitar kita—sampah berserakan, hiruk-pikuk, dan relasi antara warga sekolah yang kaku. Bagaimana mungkin budi pekerti bisa tumbuh subur di lingkungan yang tidak mendukung?


Pesan moral yang bisa kita ambil adalah bahwa budi pekerti bukan sekadar materi pelajaran, tetapi fondasi kehidupan. Kita tidak hanya mendidik siswa untuk mendapatkan nilai tinggi, tetapi juga membangun manusia seutuhnya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pendidikan tanpa budi pekerti adalah seperti pohon tanpa akar—cepat layu dan mati.


Dalam era modern ini, di mana teknologi berkembang pesat dan informasi mudah diakses, tantangan dalam menanamkan budi pekerti semakin besar. Tapi, dengan sinergi antara guru, sekolah, dan orang tua, budi pekerti bisa ditanamkan, dan kita akan melihat generasi yang tumbuh dengan jiwa yang kuat, moral yang kokoh, dan semangat untuk membawa perubahan positif di dunia ini.



Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS