DIAM MELAWAN DIRI

By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.) 

Terinspirasi oleh cerita Pak Ujang guru SMPN 26 Purworejo

Menghadapi diri sendiri sering kali terasa seperti medan pertempuran yang tak pernah usai. Ada dorongan untuk menjadi lebih baik, namun sering kali godaan untuk bertindak buruk membayangi langkah kita. Ini adalah perang batin yang tampaknya sepele, tetapi dalam kenyataannya sangatlah sulit. Mengontrol emosi bagaikan menjinakkan badai di dalam diri—tanpa alat, tanpa panduan, hanya bertumpu pada kehendak yang rapuh. Sebagai seorang hamba yang beriman, kita tahu bahwa sabar dan mengendalikan diri merupakan anugerah dari Allah SWT. Dalam Al-Qur'an disebutkan, "Dan sabar itu indah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar" (QS. Al-Baqarah: 153). Terkadang kita ingin menjadi lembut, tetapi justru berakhir dengan kekasaran yang tak disengaja, terutama saat lelah setelah seharian bekerja. Ini bukan sekadar soal bertahan, melainkan soal memenangkan pertempuran yang tidak terlihat: melawan diri sendiri.


Menghadapi anak didik yang tumbuh tanpa kasih sayang ibarat merawat tanaman yang layu di tengah gurun. Energi dan perhatian yang harus dicurahkan begitu besar, hingga tak jarang menguras habis cadangan kesabaran. Dalam Islam, kasih sayang kepada sesama, terutama anak-anak, adalah salah satu ajaran yang mulia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi." Kasih sayang dan sabar menjadi pondasi dalam menghadapi mereka yang keras kepala, seperti pepatah Tiongkok mengatakan, "Jika ingin menaklukkan dunia, taklukkan dirimu sendiri dulu." Tanpa kontrol diri, kita akan mudah terseret ke dalam badai emosi yang bisa merusak hubungan kita dengan anak didik. Lantas, bagaimana cara menghadapinya? Diam adalah emas, kata bijak yang tak lekang waktu, seolah mengingatkan kita bahwa sering kali, dalam keheninganlah kita menemukan kekuatan untuk melawan diri sendiri.


Namun, apakah diam selalu menjadi solusi? Tidak juga. Diam tanpa kesadaran hanya akan menjadi pelarian, bukan pengendalian. Islam mengajarkan kita untuk bertafakur, merenungkan segala tindakan sebelum berbicara atau bertindak, agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Di sinilah pentingnya menanamkan kontrol diri sebagai kebiasaan yang tumbuh dari dalam. Mengasah kelembutan hati adalah seperti menghaluskan batu karang yang terkikis ombak; memerlukan waktu dan kesabaran yang panjang. Profesor psikologi Angela Duckworth dalam bukunya Grit menyebutkan bahwa ketekunan dan keberanian untuk bertahan adalah kunci keberhasilan dalam mengatasi tantangan diri. Tidak ada trik instan, melainkan usaha yang berkelanjutan, sebagaimana dalam ajaran Islam, "Barangsiapa yang bersungguh-sungguh di jalan-Ku, maka akan Aku tunjukkan jalan-Ku." (QS. Al-Ankabut: 69).


Setiap kali berhadapan dengan anak didik yang keras kepala, kita diingatkan bahwa mereka juga adalah cerminan dari lingkungan mereka. Tumbuh dalam kekurangan kasih sayang membuat mereka rentan. Ini bukan alasan untuk membiarkan emosi meledak, melainkan panggilan untuk lebih sabar dan bijaksana, karena kesabaran adalah bentuk ketakwaan. Seperti seorang pematung yang sabar memahat batu menjadi karya seni, kita pun harus sabar dalam membentuk karakter anak didik, satu langkah demi satu langkah.


Di tempat kerja, sering kali kita dihadapkan pada rekan yang rasanya datang dari planet lain—tidak sejalan, sulit bekerja sama, dan bahkan menambah beban pekerjaan. Keinginan untuk melampiaskan emosi begitu besar, bagaikan gunung berapi yang siap meletus. Namun, kembali ke prinsip "diam adalah emas", kita belajar bahwa tidak semua masalah harus ditanggapi dengan amarah. Justru dengan menahan diri, kita mampu menjaga profesionalisme dan fokus pada solusi. Dalam Islam, menahan diri dari kemarahan adalah bentuk kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Orang yang kuat bukanlah yang pandai berkelahi, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." Psikolog Daniel Goleman, dalam konsepnya tentang kecerdasan emosional, menekankan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah salah satu keterampilan terpenting dalam meraih kesuksesan baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi.


Menahan diri adalah seni yang sering kali terabaikan. Dalam dunia yang penuh dengan gangguan dan drama, kebanyakan dari kita cenderung terbawa arus alih-alih menahan diri. Namun, seperti sungai yang membentuk lembah, kontrol diri dapat membawa kita melewati rintangan dengan mulus. Nabi Muhammad SAW telah memberi contoh melalui kesabarannya dalam menghadapi berbagai ujian, bahwa menahan diri merupakan bagian dari iman.


Mengendalikan diri bukan berarti membiarkan dunia mempermainkan kita. Sebaliknya, ini adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Kita bebas dari reaksi spontan yang bisa merusak segalanya. Ini adalah perjuangan yang terus-menerus, seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, "Dia yang berjuang dengan monster harus berhati-hati agar dia tidak menjadi monster itu sendiri." Dalam setiap interaksi, kita harus waspada agar tidak jatuh ke dalam perangkap emosi yang destruktif. Agama mengajarkan pentingnya pengendalian diri sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.


Ada saat-saat ketika tubuh lelah, kepala penuh dengan beban, dan hati dipenuhi dengan kekesalan. Di saat inilah kontrol diri diuji hingga batasnya. Menjadi seorang lelaki sejati bukan berarti harus selalu kuat secara fisik, tetapi lebih kepada kekuatan untuk tetap tenang di tengah badai emosi. "Sabar itu separuh dari iman," kata pepatah. Sabar bukan hanya tentang menunggu, tetapi tentang bagaimana kita bertindak selama menunggu. Di sinilah letak kedewasaan sejati, dan sabar juga merupakan bentuk keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.


Ketika kita pulang dari pekerjaan, tubuh yang lelah, pikiran yang kusut, dan gangguan kecil bisa memicu amarah. Namun, sebagai manusia dewasa yang beriman, kita belajar bahwa tak semua reaksi harus ditunjukkan. Seperti kata bijak Dalai Lama, "Jika Anda ingin menaklukkan orang lain, kuasailah diri Anda terlebih dahulu." Dalam keheningan, kita menemukan ketenangan yang jauh lebih dalam dari kemarahan sesaat. Selain itu, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa diam dalam situasi tertentu adalah tanda kebijaksanaan dan kedewasaan iman.


Sarkasme sering kali datang sebagai pelarian ketika kita frustrasi dengan rekan kerja atau situasi yang tidak kondusif. Namun, seperti racun, sarkasme hanya akan merusak diri sendiri jika terus dipupuk. Mengendalikan diri dalam situasi sulit adalah bentuk lain dari kedewasaan. Bukan berarti kita menyerah pada keadaan, melainkan memilih untuk tidak terjebak dalam drama yang tidak perlu.


Pada akhirnya, melawan diri sendiri adalah tugas paling berat yang bisa dihadapi oleh manusia. Ini adalah pertempuran yang sunyi, tak terlihat oleh orang lain, tetapi dampaknya bisa sangat nyata. Ketika kita berhasil mengatasi diri sendiri, kita tidak hanya menjadi individu yang lebih baik, tetapi juga memberikan dampak positif bagi orang-orang di sekitar kita. Seperti api unggun yang terkontrol, kita bisa memberikan kehangatan tanpa membakar.


Pesan moral dari ini semua adalah: dalam menghadapi kehidupan yang penuh tantangan, kontrol diri adalah senjata utama. Dengan kontrol diri, kita mampu menghadapi segala situasi dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Seperti kata Mahatma Gandhi, "Penguasaan diri adalah kemenangan terbesar." Dan dalam Islam, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2). Dalam diam yang penuh kesadaran, kita menemukan kekuatan yang lebih besar dari sekadar amarah atau frustrasi.


==================================

Sampangan, Semarang, 7 September 2024, 21.00 WIB. 

Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ 

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS