SIWALAN
Oleh: Dr. Mampuono (Tali Bambuapus Giri)
#orang_literat_menemubaling
#kisah masa kecil
“Dugdug… dugdug… dugdug…” bunyi itu seperti suara bedug besar yang ditabuh bertalu-talu. “Dugdug… dugdug… dugdug…” iramanya terdengar bergemuruh semakin menderu. Menggema di keheningan suasana. Seperti genderang perang yang dibunyikan para prajurit berbadan kekar dalam perang kolosal kekaisaran China. Atau suara jidur yang dipukul para remaja tanggung dengan penuh semangat di hari raya. Menggetarkan hati dan jiwa semua yang mendengarnya, membahana, mendaulat angkasa seluruh sudut desa.
Tapi tidak! Itu bukanlah suara bedug di hari raya. Itu adalah degup jantungku yang memburu. Semakin keras. Semakin menderu. Jika suara bedug ketika malam takbiran tiba seluruh desa merayakannya dengan penuh sukacita, ini berbeda. Suara ini tak mampu membangkitkan perasaan serupa di hatiku. Hanya rasa takut yang melanda diriku, seiring dengan bertambahnya kecepatan detak jantungku. Bagaimana jika detak jantung yang semakin kencang ini tak mampu mereda? Atau, yang lebih mengerikan lagi, apabila ia berhenti secara tiba-tiba? Ah, bayangan terburuk itu menghantui pikiranku, dan aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada tubuhku.
Suara itu terus menggema, “dugdug… dugdug… dugdug…”, menghantui pikiranku dan merayap masuk ke dalam hatiku yang semakin cemas dan gelisah. Jantungku berdetak dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Darahku mengalir bergemuruh bagai air bah di hulu yang meluncur deras, meluber ke segala arah, melanda pintu bendungan raksasa yang terbuka. Menerjang dengan kekuatan dahsyat.
Irama debar jantungku semakin menggeletar. Gendang telingaku bisa mendengar dengan jelas setiap irama yang mengandung energi besar dan menyebabkan kerasnya debar yang terdengar. Bahkan anggota tubuhku yang lain juga mulai gemetar, merasakan gemuruh yang menggetarkan setiap sel di dalam tubuhku.
Peluh membanjiri tubuhku, seperti air terjun yang deras, tak henti-hentinya mengalir dari setiap pori-pori kulitku. Aromanya menyebar, menyengat indera penciumanku. Berbaur antara wangi deodoran dan masamnya cuka yang tertumpah tak sengaja dari botolnya di meja kayu berlapis taplak plastik milik Pak Yo, penjual mie ayam dan bakso yang terkenal di tempatku.
Tubuhku terasa sembab dan basah oleh derasnya keringat yang terus mengucur. Punggung dan dadaku basah kuyup, seperti baru saja terkena siraman air yang tumpah dari langit, hujan pertama menjelang musim tanam padi. Rambutku yang sebelumnya rapi kini basah dan kusut masai. Alisku yang berkerut akibat kegelisahan, kini semakin menempel lengket di dahi.
Perih! Kuusap mataku karena keringat membanjir melewati alisku dan memasukinya tanpa terkendali. Asin! Cairan tubuh itu juga mengalir ke dalam mulut dan menyentuh ujung lidahku. Semakin lama, aku semakin merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhku. Rasa gelisah semakin menggelayuti pikiranku. Aku terjebak dalam situasi yang tak menentu. Setiap detik terasa begitu lambat dan berat. Seakan waktu berhenti dan hanya peluh yang terus mengalir mengisi ruang hampa di sekitarku.
Aku tidak sedang bermimpi. Tubuh makhluk raksasa yang kupeluk ini sungguh-sungguh nyata. Makhluk ini adalah yang terbesar dan terpanjang dari jenisnya. Ukurannya melampaui besarnya tubuh naga dalam cerita-cerita silat Asmaraman Kho Ping Hoo. Kulitnya yang hitam pekat, dihiasi sisik-sisik tajam dan mengkilap, seakan-akan siap melukai siapa saja yang berani menyentuhnya. Dalam pelukanku, kurasakan detak jantungku memburu. Aku terpana oleh keperkasaan yang melekat pada diri makhluk raksasa ini.
Kupererat pelukanku pada tubuh raksasa yang hitam panjang dan meliuk-liuk ini sekuat tenaga. Dalam desau angin pagi kemarau bulan pertama penanggalan Jawa, makhluk besar ini meronta. Tubuhku terombang-ambing di udara. Berayun ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Dengan segenap jiwa raga dan kekuatan aku tetap bertahan memeluknya.
Sekujur tubuhku bergetar. Kurasakan pedih, perih, dan kucuran deras keringat yang basah bercampur percikan darah menyelimuti telapak tanganku, kakiku dan sekujur tubuhku. Namun, tak sedikitpun ku ingin melepaskan pelukanku. Meski terombang-ambing, aku terus memeluk erat dengan segenap kekuatanku. Merasakan kebesaran dan kekuatan sang raksasa yang memukau ini, kutetapkan tekadku untuk membuatnya tunduk kepadaku.
Namun, sekian lama waktu telah berlalu. Segenap rencana strategis penundukan sudah aku susun dan jalankan. Tali paling kuat, parang paling tajam, pengait khusus, slampar istimewa sebagai alat bantu agar aku bisa melekat pada tubuh raksasa ini aku sudah gunakan. Namun, usahaku tidak serta merta berhasil cemerlang.
Bilur-bilur merah memenuhi telapak kaki, betis, paha, dada, dan sekujur lenganku. Perih sekali. Darah yang mulai merembes dari luka-luka itu terasa seperti api yang membakar. Setiap gerakan yang kulakukan semakin berat dan lambat, seolah ada beban yang tak terlihat bergelayut di tubuhku. Tangan dan kakiku yang kaku terasa membeku.
Otakku mulai penuh dengan rasa takut dan ketidakpastian. Aku merasa seperti sedang berada di ujung jurang, siap untuk terjatuh kapan saja tanpa ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikannya. Aku merasakan kecemasan luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya jika sampai terlempar dari ketinggian. Di sisi lain, bertahan terus di tempat seperti ini juga sama mengerikannya. Setiap detik terasa semakin menyakitkan. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan.
Aku terhempas dalam kehampaan. Kebimbangan menyelimutiku. Lelah dan letih mendera dan menyergap diriku. Rasa bosan dan putus asa mulai menggerogoti semangat dan jiwa yang semula menggebu. “Akankah penundukan raksasa ini berhasil? Ah, rasanya aku benar-benar tak mampu. Setiap tulang-belulangku terasa berat dan ngilu. Sepertinya aku tak akan sanggup bertahan lagi,” keluhku dalam hati.
“Mampuono. Apakah kamu rela menyerah terlalu cepat? Ingat, kamu sudah melakukan yang terbaik sejauh ini. Biarkan rasa lelahmu ini menjadi tanda bahwa kamu telah bekerja keras. Beristirahat sejenak, tapi jangan sampai kehilangan orientasi dan semangatmu,” bisik hatiku menyemangatiku.
“Namun, luka-luka iritasi pada kulitku semakin perih dan ngilu. Sakitnya sungguh menyiksa. Rembesan darah yang keluar dari setiap lukaku juga semakin mendera. Bagaimana aku bisa bertahan dalam kondisi seperti ini?” keluhku lagi.
“Tenanglah Mampuono. Sakitmu pasti mereda. Setiap perjuangan butuh pengorbanan. Dan kamu akan mendapat balasan yang setimpal bila kamu berhasil dalam misi penundukan ini,” kata hatiku untuk membuatku merasa tenang dan bersabar.
“Sayangnya aku merasa tubuhku tiba-tiba menjadi rapuh, rentan terluka dan tanpa memiliki perlindungan. Aku seperti terlempar ke medan perang tanpa baju zirah dan senjata di tangan. Aku ini lelaki patah arang!” keluhku nyaris menyerah.
“Mampuono. Ingatlah pada tujuanmu, dan percayalah bahwa kamu bisa mencapainya. Man jada wa jadda. Tuhan selalu bersama orang-orang yang bersungguh-sungguh! Mungkin butuh waktu sedikit lebih lama atau lebih banyak usaha, tapi jangan pernah menyerah. Tetaplah berjuang dan yakinlah bahwa segalanya akan indah pada waktunya,” hatiku terus memberiku motivasi dan harapan.
Mulutku mulai kering dan berbusa, tenggorokanku kerontang dan tercekat. Serasa ada duri di dalamnya dan membuat nafasku sesak. “Uhuk! Uhuk!” aku terbatuk kering dan berat. Mataku mulai berkunang-kunang, semakin perih oleh keringat yang menetes. Semua semakin menambah ketakutan dan kepanikan di dalam diriku. Namun, aku harus bertahan, harus mencoba menundukkan raksasa ini demi keberhasilan misiku.
“Mampuono. Kamu itu mampu! Jangan cengeng. Lihat, semua kakak laki-lakimu bisa menundukkan makhluk ini. Ayo, teruslah berusaha. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini!” Teriakan hatiku bergema dalam keheningan hutan bambu yang sunyi. Aku mencoba menguatkan diri sendiri, menekan rasa lemah dan jirih dalam hati.
“Aku tahu aku mampu, aku tahu aku bisa!” Semangatku tiba-tiba kembali membara. “Aku harus bergerak maju dengan tekad yang semakin kuat dalam hatiku,” tekadku tumbuh lagi.
Aku berusaha menggerakkan tubuhku lebih tinggi lagi, tapi usahaku sia-sia. Aku merasakan stagnasi fisik yang memasung diriku. Aku terkungkung, tidak bisa bergerak. Otakku berpikir ke mana-mana, mencari solusi, tapi tubuhku tetap diam terkunci. Aku frustasi. Seperti terjebak dalam sebuah pasir hisap dalam mimpi burukku, semakin aku mencoba bergerak, semakin hilang tenaga dan semangatku. Aku ingin ada cara untuk keluar dari situasi ini, tapi sepertinya aku tidak memiliki tenaga lagi. Aku hanya bisa berharap pada keajaiban yang turun dari langit.
Angin utara bertiup kencang. Raksasa ini bergerak terusik. Posisiku bergoyang, hatiku terguncang. Pandanganku nanar mengarah bawah. Kurasakan adrenalin mengalir deras di dalam tubuhku. Aku terjebak di ketinggian sekitar 18 meter dari atas tanah, memeluk erat tubuh makhluk raksasa yang terus bergerak di angkasa. Aku ingin menggerakkan tangan dan kakiku, tapi tubuhku tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya diam dan menunggu. Semua yang bisa aku lakukan adalah terus memikirkan bagaimana caranya untuk segera menyelesaikan misi penundukanku.
“Aku tahu ini berat. Tapi aku harus terus bergerak, meskipun itu berarti melawan diriku sendiri. Dan aku akan terus berjuang sampai aku mencapai tujuanku,” kataku lagi.
“Badanku lemas. Tangan dan kakiku menggigil. Kulitku yang bersentuhan dengan kulit makhluk raksasa ini terkelupas dan semakin berdarah. Tapi aku tidak bisa menyerah sekarang. Aku harus terus berjuang!” tekadku semakin membara.
Rasa sakit yang menusuk-nusuk itu semakin menguat, seakan-akan aku dipaksa untuk merasakan derita yang begitu menyiksa. Tubuhku yang tak berdaya seperti dihantam ombak ganas yang terus menerus datang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merasakan sakit yang semakin tak tertahankan.
Pengerahan sisa-sisa tenagaku berujung sia-sia. Tungkai kaki dan jari jemari yang mulai lunglai sudah tidak bisa diharapkan lagi. Aku yakin jika memaksa diri, ini akan membuatku gagal bertahan untuk sekedar menempel saja pada makhluk raksasa ini. Dan akibatnya bisa luar biasa fatalnya .
Tapi aku tahu satu hal, aku tidak boleh menyerah. Aku harus mencoba untuk keluar dari situasi ini, meski rasanya mustahil. Aku harus menemukan kekuatan dalam diriku sendiri untuk melawan ketakutan dan rasa putus asa yang menyelimuti pikiranku. Aku perlu mengambil satu langkah ke depan setiap saat, meski itu terasa begitu sulit.
Matahari mulai terik. Awan putih di angkasa berarak ke tenggara. Terdengar bunyi burung kapasan menciap keras di angkasa. Burung kecil pemberani itu mengejar alap-alap yang lebih besar sehingga terbang ketakutan. Kedua burung itu terbang ke barat ke arah hutan bambu milik Lik Rokani, tetanggaku. Tubuhku masih terus melekat erat di bagian atas tubuh makhluk raksasa ini pada ketinggian 18 meter di atas tanah. Aku berharap ada hal kecil di dalam diriku yang dapat mengusir kecemasanku sebagaimana kapasan mengusir alap-alap itu.
Angin utara kembali menerpa, rambutku yang sebahu berkibar-kibar karenanya. Tubuhku terasa dingin. Aku merasakan detak jantungku berdegup semakin cepat, seakan-akan ingin melompat keluar dari dalam dada. Nafasku juga mulai pendek-pendek dan berbunyi keras. Ada kunang-kunang sesekali menari di mataku. Tubuhku gemetar. Aku mendapat sinyal tanda bahaya.
Dalam kondisi seperti ini aku harus berhadapan dengan dua pilihan yang sama-sama sulit. Pilihan pertama adalah keberhasilan menyelesaikan misi, menundukkan sang majhuk raksasa, tetapi resikonya nyawa. Pilihan kedua, nyawa masih bisa terselamatkan, tetapi misi gagal total, dan itu memalukan! Aku merasa berada di persimpangan jalan dan dipaksa makan buah simalakama. JIka dimakan bapak mati, jika tidak dimakan ibu yang mati. Pilihan-pilihan itu terus berputar-putar di kepalaku, menimbulkan rasa pening yang membuat telinga berdenging.
“Ayo Mampuono, kamu itu mampu!” ucapku lagi, berusaha menguatkan hatiku yang sedang terpuruk. Namun, rasanya semakin berat untuk memilih di antara dua pilihan yang buruk. Seperti sebuah kutukan, keputusan apapun yang aku ambil sepertinya akan membawa akibat yang tak terduga-duga.
Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Tangan dan kakiku gemetar tak terkendali, seolah akan segera melemah kapan saja. Pilihan-pilihan itu bergulir terus di kepalaku, menyerbu otakku seperti pasukan penjajah yang mengepung benteng terakhir. Aku tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus memilih apa.
“Kamu harus memilih, Mampu,” bisik hatiku pada diriku. “Kamu harus memutuskan, atau semuanya akan sia-sia.”
“Aku harus memilih, meski pilihanku tidak sempurna. Aku harus bertindak,” ucapku lagi, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Aku kembali berusaha fokus pada pilihan pertama, target utamaku menundukkan makhluk raksasa ini. Aku ingin sekali segera sampai di atas kepalanya dan mengikatnya. Namun, aku merasa terperangkap dalam situasi yang sangat sulit. Untuk naik ke atas masih diperlukan tenaga yang besar, sedangkan tenagaku sudah habis sama sekali, bahkan termasuk tenaga cadangan yang seharusnya aku simpan. Jika aku memaksa diri naik, aku khawatir aku justru akan hilang kesadaran. Dan ini fatal akibatnya.
Bimbang, aku melihat ke bawah. Pandangan mataku melayang ke arah tanah yang terlihat begitu jauh di bawah sana. Aku teringat betapa berbahayanya situasi ini. Jika aku nekat bergerak ke atas, lalu aku kehilangan tenaga dan jatuh, aku pasti akan menderita luka serius atau bahkan meninggal. Namun jika aku tidak naik, aku akan kehilangan kesempatan emas untuk menyelesaikan tugas penundukan yang luar biasa ini.
“Mampuono. Jangan terlalu berspekulasi. Apa kamu yakin tenaga yang kamu miliki akan cukup untuk menopang berat tubuhmu? Atau kamu mampu melawan gaya gravitasi?” tanya otak rasionalku. “Belum lagi bagian puncak pohon siwalan itu membesar sedemikian rupa. Cukupkah kedua lenganmu untuk memeluknya dan bertahan di sana?” sambungnya.
Besarnya ukuran bagian ujung batang pohon Siwalan Blogor Gede yang aku sebut sebagai makhluk raksasa ini semakin membuatku gelisah. Pikiranku berkecamuk. Aku semakin bimbang harus memilih yang mana.
Aku mencoba mengalihkan fokus pada pilihan kedua. Sebaliknya, jika aku memilih turun, sia-sialah usaha yang aku lakukan selama ini. Persiapan yang sudah kulakukan selama beberapa minggu, bahkan bulan, hasilnya hanyalah nol besar. Misi penundukanku gagal. Ini akan menjadi preseden buruk dalam karirku sebagai pemanjat pohon siwalan. Aku akan menjadi satu-satunya putera Bung Tomo, sang pemilik kebon siwalan terbesar di kampung Widuri, yang gagal dalam misi. Aku akan menjadi pecundang yang penuh kegagalan. Jika tidak malu, rasanya aku ingin menangis saja menghadapi dilema ini.
Aku mendongak ke atas. Pada jarak kurang dari dua meter kulihat buah siwalan yang sangat lebat di atasku itu seperti melambai lambaikan tangan. Buah-buah ranum itu mengundangku untuk segera memetiknya. Namun, persendianku serasa lumpuh. Tulang-belulangku seolah hilang satu persatu.
“Tinggal kurang dari dua meter lagi, Mampu! Ayo kamu bisa. Tinggal menjulurkan tubuh dan tanganmu, buah itu segera teraih.” Suara hati itu kembali memunculkan semangat baru. Aku mulai memikirkan siasat. Tetapi apalah daya, tidak ada bahan baku baru yang bisa dibakar untuk sekedar bertahan.
Tubuhku semakin menggigil. Keringat yang mengalir semakin menurun temperaturnya. Tubuhku menjadi dingin. Aku sudah berjuang sekuat tenaga. Kekuatan manusia melawan kekuatan alam memang ada batasnya. Pikiranku melayang kemana-mana.
Aku ingat saat awal-awal ingin melakukan penundukan terhadap pohon siwalan raksasa ini. Pohon yang tingginya 20 meter lebih ini letaknya agak terpisah dari yang lain. Ketinggian itu termasuk agak langka di tempat itu. Tinggi dan meraksasanya pohon siwalan itu membuat kami sekeluarga menamainya Siwalan Blogor Gede. Artinya, pohon lontar berbatang besar.
“Mpu. Lihat itu ada kapal-kapal besar yang menuju Tanjung Mas!’ Kata Kang So suatu hari.
Kang So adalah kakak laki-laki tertua keduaku. Nama panjangnya Santoso. Berkali-kali dia memanjat pohon Siwalan Blogor Gede itu. Tubuhnya memang paling besar dan kekar sekeluarga. Tampaknya tidak banyak kesulitan baginya untuk menundukkan pohon siwalan raksasa itu. Aku sering diajaknya untuk membantu melepaskan buah siwalan dari tali kerekan yang mengikatnya.
“Halah ngapusi!! (Ah bohong)” Kataku menyanggah.
“Dibilangin kok tidak percaya. Ayo kamu naik ke sini. Saya kerek naik mau?” Kata Kang So sambil bergurau. Tentu saja tidak mungkin dia kuat mengangkatku ke atas pohon siwalan itu dengan kerekan walau sekekar apapun tubuhnya.
Dulu aku sering tidak percaya ketika kakak-kakakku naik pohon yang tinggi dan bercerita melihat kapal. Aku sendiri sampai kelas 1 SMP baru melihat kapal dari gambarnya saja. Namun, ketika aku sudah bisa naik ke puncak puncak pohon kelapa tertinggi, aku baru percaya. Aku dengan mata kepala ku sendiri bisa melihat kapal yang bertebaran di laut Jawa.
Di tempatku hanya ada dua pohon siwalan yang memiliki ketinggian luar biasa. SI Blogor Gede yang dihadapanku itu dan yang satunya lagi Siwalan Duwur namanya. Letaknya kira-kira 30 meter dari tempat itu. Jika ditarik garis lurus, puncak-puncak pohon itu hanya berjarak 3 sampai 4 km dari pesisir laut Jawa yang berada di utara Semarang. Jadi wajar siapapun yang naik ke puncaknya akan bisa melihat laut dengan leluasa.
Saat ini, ketika misi penundukan aku lakukan, aku masih duduk di kelas IIA.1-4 di SMA 3 Semarang. Di SMA ku mungkin hanya aku satu-satunya siswa yang berasal dari desa yang terbiasa melakukan kegiatan panjat memanjat pohon yang tinggi menjulang seperti pohon kelapa dan siwalan.
Sudah sejak duduk di bangku SD kami terbiasa bekerja keras. Sebagai anak petani wajib hukumnya membantu orang tua. Makanya pada saat aku menginjak remaja, tanpa disuruh aku menetapkan diri untuk memasuki masa-masa berkewajiban untuk membantu orang tua. Aku berusaha melakukan apa saja yang bisa membuat Mak’e bahagia. Wajar saja, Mak’e adalah orang tuaku yang tinggal satu-satunya.
Tapi ini bukan hanya tentang kewajiban. Melihat senyum Mak’e ketika aku melakukan sesuatu untuknya, itu yang benar-benar membuatku bahagia. Dia adalah satu-satunya orang tua yang aku miliki, dan aku ingin melakukan segala yang aku bisa untuk membuatnya bahagia.
Bagi orang desa kebahagiaan adalah sebuah kesenangan sederhana. Orang tua bisa memberi makan anak-anaknya agar tidak kelaparan, membelikan pakaian baru ketika lebaran, dan jika masih bisa membiayai sekolah sampai sekuatnya. Itulah kebahagiaan yang mereka idamkan. Dan bagiku, membuat Mak’e bahagia adalah kebahagiaan terbesarku. Termasuk mengunduh buah siwalan yang banyak dari Siwalan Blogor Gede agar bisa beliau jual untuk membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
“Inilah waktu yang aku tunggu tunggu. Aku sudah siap lahir dan batin menundukkan Siwalan Blogor Gede,” kataku di dalam hati.
Pagi ini aku sudah menetapkan hati bahwa aku harus bisa melakukan penundukan yang sudah lama kurencanakan. Segera aku persiapkan tali yang panjangnya kurang lebih 35 meter, slampar, pengait, dan parang. Keempat senjata itu aku bawa dengan gagahnya menuju ke lokasi di mana aku akan melakukan penundukan.
Setelah melangkah kurang lebih 15 menit dengan melewati jalan setapak di antara semak belukar di bawah pohon-pohon bambu dan munggur, sampailah aku di lokasi penundukan. Dari riwayat keluarga, mulai dari Pak’e hingga ketiga kakak lelakiku, semuanya bisa menundukkan pohon raksasa ini. Hari ini adalah hari penentuanku. Sudah lama aku menanti nanti hari ini dimana aku pun harus turut serta menundukkannya.
Dengan dada berdebar-debar kudekati si tinggi besar ini. “Wow, batang pohonnya besar sekali. Buahnya banyak dan nampak begitu ranum. Aku yakin Mak’e pasti senang jika bisa menjualnya di Pasar Waru. Tapi untuk mengambil buahnya, aku harus naik ke atas dengan sukses,” kataku dalam hati..
Kulihat bagian pangkalnya yang mencembung memiliki lingkar batang yang lebih dari 2,5 meter. Jika kedua tangan aku rentangkan kedua ujung jemariku masih membutuhkan tambahan 50 centi lebih untuk bisa saling bertemu. Aku tidak menjadi khawatir karena sudah terbiasa berhadapan dengan model yang beginian. Pandanganku segera tertuju pada ujung yang paling atas. Di antara ujung batang yang besarnya sebanding dengan pangkal batang raksasa itu tampak buah siwalan siap petik bergelantungan. Aku hitung jika buah itu sudah sampai di tanah dan dikupas tampaknya lebih dari 200 buah yang bisa di panen.
Segera aku longgarkan simpul tali di ujung kerekan dan kumasukkan tubuhku ke dalamnya melalui bagian kepala. Setelah sampai di pinggang simpul itu aku eratkan. Pada jarak satu meter dari tubuhku aku ikat parang yang sudah aku bawa tadi. Kedua pengait aku jadikan satu di salah satu Ujung tali kerekan. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim aku memasang slampar pada kedua kakiku dan mulai meloncat ke atas pohon.
Dengan sekali loncatan tubuhku langsung nangkring di bagian bawah pohon yang memiliki tekstur kulit yang sangat kasar itu. Telapak kakiku terasa agak sakit ketika harus bertumpu pada bagian tersebut. Namun selampar yang aku gunakan manfaatnya sangat besar. Gedebog pisang yang merupakan bahan yang liat dan lunak akan dengan mudah melekat pada bagian-bagian yang kasar dari kulit pohon tersebut. Lekatan selampar tersebut memudahkan aku untuk membuat tumpuan kedua kakiku pada pohon itu lalu naik ke tempat yang lebih atas lagi.
Tanganku yang memeluk erat erat tubuh bongsor pohon siwalan itu terasa pegal dan sakit. Ukuran yang terlalu besar memang membuat aku selalu khawatir. Biasanya di pohon-pohon yang lain aku bisa agak bersantai karena bisa menggandengkan kedua jemari tanganku untuk saling bertaut, tetapi untuk bersantai di pohon ini sepertinya Itu impian di siang bolong.
“Walaupun rasa pegal dan sakit mendera telapak tangan, lengan, dada, dan telapak kakiku, aku harus tetap bersemangat untuk terus bergerak. Ini adalah penundukanku yang luar biasa. Pencapaian besar menantiku di puncak Siwalan Blogor Gede ini,” kataku dalam hati masih bersemangat. Senyum lebar penuh percaya diri masih bertenger di wajahku.
Sejengkal dua jengkal kedua kakiku bergerak ke atas untuk mendorong tubuhku bagian atas. Keringatku bercucuran dengan deras dan dadaku berdebar-debar karena harus mengeluarkan tenaga yang besar. Aku harus membagi tenagaku untuk bertahan memeluk batang pohon dengan kedua tangan dan mempertahankan kedua kaki yang mulai mengenai tempat yang licin untuk tetap melekat pada batang pohon.
Pada saat-saat awal memanjat, aku bisa terus bergerak naik dan naik lagi dengan lincah. Tetapi ketika sampai di tempat yang sangat licin hal itu tidak bisa lagi kulakukan dengan mudah. Seluruh bagian tubuh yang menempel pada pohon terasa sakit karena menjadi tumpuan agar tubuhku tidak melorot ke bawah. Nafasku memburu dan debaran jantungku bergemuruh.
Dengan napas tersengal-sengal dan keringat mengucur deras, aku terus berusaha naik lebih ke atas. Namun, jarak panjatan yang semula cukup besar, kini semakin mengecil dan bahkan terasa seperti berhenti sama sekali. Setiap kali aku sudah menggerakkan kedua kakiku untuk naik, tubuh bagian atasku belum sempat terdorong untuk berpegangan pada bagian yang lebih atas, dan akhirnya kakiku melorot kembali ke bawah.
Situasi ini membuatku merasa seperti terperangkap dalam kegelapan yang tidak ada jalan keluarnya. Aku merasa frustrasi dan marah pada diriku sendiri karena tidak bisa mencapai tujuan yang sudah jelas di depan mataku. Namun, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Target yang aku pasang untuk menunjukkan Siwalan Blogor Gede yang kami miliki turun-temurun dari Mbah Buyut kami itu harus tercapai.
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku dan memfokuskan pikiranku pada gerakan yang harus aku lakukan. Namun, semakin aku mencoba, semakin sering pula aku gagal. Aku merasakan keputusasaan yang tak terkira saat melihat orang lain dengan mudahnya menaklukkan tantangan yang begitu sulit bagiku.
Sambil terus berusaha bertahan menempel di batang pohon dan mengerahkan tenaga agar bisa beranjak ke sebelah atas. Aku terus menerus berpikir, berusaha mencari siasat yang paling jitu untuk mencapai targetku. Sudah seperempat jam lebih aku menempel di pohon itu dan posisiku baru mencapai setengahnya. Aku belum juga mendapatkan cara terbaik untuk bisa segera sampai puncak pohon. Tampaknya akan butuh waktu lebih lama lagi untuk melakukannya.
Gerakanku semakin lamban. Ada sebersit kegembiraan yang muncul jauh di lubuk hati ketika aku mendongak ke atas. Ternyata jarak tubuhku dari pangkal dahan terbawah tinggal sekitar dua meter lagi. Berarti sebentar lagi tanganku akan bisa meraih celah di antara pangkal dahan yang penuh buah itu untuk bergelantungan sesaat lalu menyelusup ke atas. Setelah beristirahat sebentar aku akan mencari tempat aman untuk memulai memanen buah Siwalan.
Dengan hati-hati aku akan memeriksa janjangan demi janjangan siwalan itu dengan cermat. Jangan sampai aku memanen buah siwalan yang belum siap petik. Tidak ada daging buahnya nanti. Jika dijual orang hanya bisa meminum airnya. “Air siwalan itu bisa menyembuhkan sakit panas. Tapi kalau buahnya tidak ada ya pasti ada yang kurang. Bisa saja mereka protes karena hanya akan memakan daging buah siwalan yang sangat bening dan tipis. Yang ada justru kulit arinya yang tebal dan berasa pahit,” kata Mak’e suatu ketika.
Untuk memudahkan pemeriksaan aku akan berdiri dan berpindah-pindah posisi. Sebagian tangkai daun siwalan itu biasanya penuh duri tajam, jadi supaya aman semua duri harus dibersihkan. Caranya cukup dengan mengiris setiap sisi dari batang daun yang dipenuhi duri berbentuk seperti gergaji yang berderet memanjang itu satu persatu. Pembersihan duri biasanya sudah dilakukan pada saat memanen sebelumnya.
Setelah duduk dan mendapatkan posisi stabil aku akan segera meraih parang yang terikat di tali kerekan. Benda tajam itu akan segera kumanfaatkan sesuai fungsinya. Aku akan segera melukai salah satu dahan atau gagang daun lontar yang berbentuk kipas itu. Luka itu dibuat untuk tempat tali kerekan sehingga ketika digunakan untuk menurunkan tangkai-tangkai yang penuh berisi buah siwalan posisinya tidak bergeser.
Ujung tali kerekan segera aku longgarkan seperti tali laso. Dengan sedikit ancang-ancang tali itu akan aku lemparkan ke ujung tangkai buah siwalan. Dengan sekali tarik tali itu akan mengencang dan membelit celah-celah buah yang menggelantung ke bawah itu. Tidak lupa kaitan dari bambu yang sudah aku siapkan juga aku pasang. Setelah jeratan benar-benar mantap, dengan sekali ayun gagang tangkai siwalan itu akan segera putus oleh tebasan parang yang tajam.
“Siwalan yang ranum itu itu harus kamu turunkan dengan pelan-pelan, Mpu. Jangan sampai jatuh. Soalnya buah itu mudah rusak oleh benturan. Makanya harganya mahal. Jadi kamu harus hati-hati benar ketika memasang tali kerekan untuk mengunduhnya.” pesan Mak’e terngiang di telingaku. Lelehan peluh yang mengalir di dahi dan seluruh tubuhku, dengusan nafas yang memburu karena terperas tenagaku, luka oleh duri siwalan yang perih di kaki dan tanganku setiap kali memanjat siwalan, atau rasa jerih akibat tiupan angin yang membuat puncak pohon siwalan itu meliuk ke kiri dan ke kanan, semuanya seakan terlupakan. Yang ada adalah rasa senang bisa menurunkan bertangkai-tangkai buah siwalan. Buah berwarna hitam yang nantinya akan dikupas dan dibentuk khusus lalu dijual Mak’e ke pasar. Untuk menambah penghasilan manfaatnya sangat besar.
“Ah, aku tidak kuat lagi…” aku mengeluh tersadar. Ternyata aku terbuai dalam lamunan karena terlalu lama berdiam diri dalam kelelahan. Di ujung kesadaranku aku sekali lagi dipaksa kembali kepada dua pilihan. Naik dengan resiko celaka atau turun yang berarti gagal menjalankan misi.
Aku sudah lelah dan terlalu lama dalam pergulatan batin. Lelah fisikku, lebih lelah lagi batinku. Lalu, dengan mata yang berkaca-kaca, aku memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk itu. Rupanya penundukan yang membutuhkan usaha yang luar biasa itu bukan perkara mudah. Aku masih sayang nyawa. Walaupun penuh sesal penundukan itu harus ditunda. Aku harus turun dengan suka hati maupun terpaksa.
Kukumpulkan tenagaku yang tersisa. Dengan ratapan sedih dan air mata yang tak bisa lagi kubendung aku putuskan turun dari angkasa. Kuatur nafas dan gerakanku agar bisa bergerak pelan, meniti tubuh pohon raksasa yang kulitnya tajam ini. Aku babak belur. Seluruh tubuhku terasa perih, ngilu, dan hancur. Yang lebih perih, ngilu, dan hancur lagi adalah batinku. Ada rasa kecewa berat dan marah yang menyesaki dada. Seumur-umur baru kali inilah aku mengalami kegagalan yang sedemikian rupa luar biasa. Namun aku harus terima, saat ini baru sampai situlah pencapaianku. Masih beruntung aku bisa turun dengan selamat. Allah SWT masih melindungiku.
“Mpu. hidup itu jangan grusa-grusu. Masih ada banyak waktu di belakang hari. Yang jelas ketika targetmu tidak tercapai, padahal segala strategi sudah dicoba namun belum membuahkan hasil juga, cara terbaik adalah mundur selangkah. Suatu ketika jika semuanya sudah siap, kamu bisa maju lagi. Bahkan melompat lebih tinggi. Tentu dengan persiapan yang lebih baik. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda,” pesan Mak’e menyadarkanku..
“Manusia boleh memasang targetnya tinggi-tinggi, membuat strategi, mencari cara terbaik dan waktu yang paling tepat untuk bisa mencapai apa yang menjadi targetnya. Tetapi apapun yang berlaku di dunia ini tidak lepas dari kekuasaan Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika kita bekerja dengan niat untuk beribadah, meskipun target belum tercapai dan kita tidak memperoleh hasil apapun, namun usaha kita tetap berharga dan bernilai ibadah. Maka mundur satu langkah untuk maju berpuluh langkah lain kali merupakan cara terjitu menyikapi usaha penundukan yang luar biasa itu,” kata Mak’e menghiburku.
Entahlah, rasa kecewaku tiba tiba lenyap karena kata-kata Mak’e itu.
***
_____________________________
Ditulis dengan metode Menemu Baling , menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga dalam program Tali Bambuapus Giri dengan kecepatan 40 KM per jam dalam perjalanan dari Banyumanik menuju Sampangan. Diedit dan direvisi sambil menikmati bakmi jowo Awet Muda di pojok jalan Kaligarang. Disempurnakan di Sampangan.
Daftar Istilah
blogor = batang pohon
grusa-grusu = tergesa-gesa
jidur = bedug
janjangan = tangkai
ngapusi = bohong
siwalan = lontar
slampar = alat bantu panjat pohon lontar terbuat dari gedebog pisang yang digunakan di kaki
Sukses selalu pak
ReplyDelete