HUJAN KOCOLAN DAN KUTUK TUNGGON


 Oleh: Mampuono

#menemubaling_batuasimtut

#kisah_masa_kecil

Langit siang itu sangat cerah. Warnanya  biru megah.  Hamparan mega tipis  di bawahnya  membuat perpaduan  warna alam yang fantastis. Semua  membuat hidup semakin bergerak dinamis . 

Angin tengah hari yang bertiup di antara daun-daun kelapa dan siwalan juga tidak enggan  turun ke bawah. Semilirnya membelai anak-anak rambut kami yang hitam kecoklatan bersemu merah. Di bawah dapuran pohon pisang klutuk yang tumbuh meraksasa di pinggir sumur itu geng kami, anak kampung Widuri,  berkumpul.

Daun-daun lerut di seberang sumur itu tiba-tiba bergoyang cepat. Goyangan itu diikuti dengan suara bergedebug  yang  membuat kami terkesiap. Sebuah kepala tiba-tiba muncul dari rerimbun daun tanaman yang berumbi putih memanjang itu.

"Hei! Nurkadi, bikin kaget orang saja!" teriak kami berempat hampir   serempak.

Yang ditegur nyengir kuda. Ia melompati blumbang kecil  memanjang di seberang sumur, lalu bergabung dengan kami. Tubuhnya yang bongsor enteng saja melewati rintangan sejauh dua meter lebih itu. Rupanya dia lebih memilih menerobos kebon daripada lewat jalan biasanya.

"Gimana nih  Hari ini jadi  adain aksi Rahasia?" kata Nurkadi ngos-ngosan. Ia baru saja  berlari sejauh 600 meter dari rumahnya ke rumahku.  

"Kenapa lari-lari Nur?" tanyaku sambil  menatap wajahnya yang penuh peluh. 

"Aku  khawatir aja... Rasanya gak asyik kalau ditinggal sendirian nih hehehe..." katanya sambil nyengir kuda. Ia mengusap keringat di mukanya dengan ujung kaus oblong lusuhnya  dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Hari itu kami berlima memang sepakat  akan membuat kegiatan khusus.  Kegiatan masih rahasia, kataku. Dan yang tidak datang tepat waktu akan kami tinggal. Kawan-kawan satu geng memang suka hal-hal yang berbau rahasia. Jadi mereka akan merasa rugi besar kalau sampai ketinggalan.

Akhir bulan Maret sampai awal April  memang masih termasuk musim hujan, tetapi turunnya sudah jarang-jarang.   Banyak blumbang dan parit di kebon-kebon warga Widuri yang masih  berisi air. Dan yang terpenting,  hampir semua blumbang dan  parit, baik yang kecil, besar,  pendek maupun  panjang biasanya ada ikan di dalamnya. Ini adalah waktu waktu yang paling tepat untuk memancing bagi anak-anak kampung seperti kami. Ikan bethik, kocolan, lundhu, lele, sepat,belut, lele dingklik (ketam), wader dan lain-lain penghuni air itu tentu sudah menunggu-nunggu kami.

Maka siang itu aku memutuskan bahwa kegiatan rahasia yang dimaksud adalah memancing di blumbang. Sayangnya tidak satupun dari kami yang memiliki alat pancing. Ide untuk memancing baru juga  muncul ketika kami berkumpul. Padahal seandainya ide itu  datang ketika kami pulang sekolah bisa saja kami mampir di Gebang Anom untuk mencari alat-alat pancing, minimal mata  kailnya. 

Namun kami tak kurang akal. Kami memutuskan untuk membuat alat pancing sendiri.  Bukan geng kami kalau masalah kecil seperti itu tidak segera terselesaikan.

"Kawat kembang api!" kataku berbinar-binar. Yang lain setuju. Kawat  kembang api yang sudah dipotong dan dibuat  melengkung lalu ditajamkan bagian ujungnya akan bisa difungsikan sebagai mata kail. Hanya  saja memang tidak ada gretel atau pengait yang bisa mengunci mulut ikan agar tidak bisa lepas dari mata kail.

Kami segera sibuk menyiapkan peralatan.  Aku dibantu Kasmuni dan Nurkadi menyiapkan batu ungkal, air satu gayung dan tang pemotong. Ganjar dibantu Sutikno  mencari-cari kawat kembang api yang terselip di pagar sisa lebaran kemarin. Kami harus memotong bagian yang tidak terbakar dan membengkokkannya agar menyerupai mata kail.  Masing-masing kami membuat mata kail  sendiri. Ukurannya  bermacam-macam tergantung selera. 

"Hei coba lihat ini. Kailku ini cocok untuk memancing lele kan?" Nur Kadi menunjukkan kail buatannya.

"Wah besar sekali.  Besar mana coba dengan punyaku?" aku menunjukkan kail buatanku.

"Ah itu cocoknya untuk mancing ikan kutuk," kata Sutikno. Mata kailnya belum jadi. Sejak awal ia gagal terus membuatnya. Itu karena apa-apa ia biasa dibuatkan Bapaknya. 

"Tenang saja Tik. Nanti aku buatkan yang lebih besar lagi,"  kataku bergurau.

"Bener loh Lik mampu. Aku dibuatkan," katanya  memelas. 

Aku tidak tega dengan pandangan matanya  yang penuh pengharapan itu. Akhirnya aku terpaksa mengangguk. ku potong kawat satu lagi dan kubuatkan mata kail untuknya.

"Aku buat ini saja lah,"  kata Kasmuni percaya diri. Diangkatnya tinggi tinggi hasil karyanya itu. Kami semua memperhatikan. Mata kail yang dipegangnya amat kecil. Kami semua mengerenyitkan dahi keheranan.

"Bagiku, ikan bethik yang banyak sudah cukup.Yang penting bukan besarnya, tetapi dapat ikannya. Percuma pancingnya besar tapi nggak dapat ikan," katanya berkotbah. Kami mengangguk-angguk setelah tahu apa yang ia maksud kan. Asmuni memang pandai berkotbah. Ini karena rumahnya paling dekat dengan mushala. Dia sering mendengar Wak Musa berkotbah memberikan kultum pada saat puasa dan kuliah Ahad pagi.

"Ini dia pancing buatanku," kata Ganjar sambil mengangkat mata kail yang sudah ia buat.

"Lho pancingnya kok lurus?' protes kami.

"Itu karena aku tidak mau menipu ikan. Bukankah kita harus jujur?" katanya membela diri sambil berfilosofi.

"Hahaha..."

Kami semua tertawa mendengar jawaban Ganjar.

Setelah beres dengan mata kail kami segera mencari tambang plastik yang sudah tidak terpakai. Tali pancing kami peroleh dengan cara mengurai tambang plastik menjadi senar-senar kecil. Kami mengambil senar-senar itu dan mengikat mata kail dengan salah satu ujungnya.  Panjang tali pancing itu bisa berbeda-beda tergantung selera kami.

Perlengkapan berikutnya yang dibutuhkan adalah joran pancing. Aku segera mengambil parang untuk menuju hutan bambu. Ganjar, adikku, dan tiga teman  lainnya bergerak  mengikutiku dari belakang.

Di dekat kuburan ada dapuran bambu tulup. Bambu-bambu itu batangnya kecil-kecil dan tumbuh memanjang. Cabang-cabangnya hanya sedikit dan berada dibagian ujungnya saja panjang. Batangnya liat dan ringan.  Jika sudah tua sangat kuat. Kami menebangnya untuk dijadikan sebagai  joran pancing kami. 

Kami berlomba untuk sampai ke tempat itu duluan. Siapa yang paling cepat sampai dia  berhak menentukan joran pancing yang paling bagus yang dia inginkan. Aku bukan pelari paling bagus sehingga aku datang belakangan. Namun semua harus tahu, tidak peduli siapapun yang sampai di tempat itu duluan,  akulah yang mendapatkan joran pancing duluan. Apa pasal? Itu karena aku satu-satunya yang memegang parang.

Sementara aku menebang bambu pilihanku, yang lain harus bersabar menunggu. Lalu satu persatu aku datangi pilihan mereka dan aku tebangkan. Setelah itu kembali aku meraut bambu bagianku sehingga menjadi joran pancing paling hebat yang siap untuk mengangkat ikan kocolan.

Pasukan kecil itu segera bergerak menuju ke blumbang Mbah Qosim. Jauh di belakang rumah kakek tua bekas mandor zaman Belanda itu terdapat blumbang yang cukup luas dan dalam. Blumbang itu muncul karena tanahnya digunakan untuk membuat batu bata.

Kami bergerak gesit menuju sasaran  dengan menerobos hutan-hutan bambu. Masing-masing joran pancing kami pegang pangkalnya. Bagian tengahnya  bersandar di pundak-pundak kecil kami. Bagian ujungnya yang diikat dengan tali pancing mengacung ke udara. Dari arah kuburan pasukan menyelinap menuju ke timur. Semak belukar, onak, dan duri bukan halangan berarti bagi kami. Kaki-kaki kami seperti sudah kebal. Nyamuk yang mengerubuti  kami sejak berada di pekuburan sampai ke tempat itu juga tidak kami hiraukan lagi.  Ikan-ikan besar sudah menunggu kami.

"Awas ada orang lewat. Semua bersembunyi," instruksiku setengah berbisik. Posisi pasukan kebetulan berada di dekat jalan umum di yang berjarak kurang lebih 10 meter dari blumbang. Semua anggota pasukan segera menyelinap dibalik grumbul pohon tembelekan. Tampak Lik Mardi, tetangga kami itu berjalan ke utara sambil menuntun sepeda ontelnya. Sebuah kantung  berwarna putih  tampak berada di boncengannya. Dari tonjolan-tonjolan barang yang ada di dalamnya, bisa dipastikan bahwa kantung itu berisi ketela pohon.

Misi kami adalah misi rahasia. Jadi, kedatangan kami ke blumbang itu harus tersembunyi dari pengelihatan warga. Tempat yang kami tuju itu bukan tempat yang boleh dikunjungi sembarang orang. Blumbang itu bukan barang berharga bagi pemiliknya. Namun, pemilik blumbang terkenal sebagai kakek nenek yang ditakuti oleh anak-anak. Mereka paling marah jika teritorialnya sampai terganggu.

Begitu suasana aman kami  berlima segera mengambil tempat paling strategis untuk mulai memancing. Umpan segera kami pasang. Masing-masing kami memiliki umpan yang bisa jadi berbeda. Umpan kami adalah  sembarang binatang kecil  yang kami  jumpai di sepanjang perjalanan. Dari mulai cacing, jangkrik, precil, belalang, sampai kecoa kami tangkap untuk dijadikan umpan.

 Blumbang yang terlindung di balik rerimbun perdu dan pohon pohon petai cina itu airnya  tampak tenang. Hanya sesekali terbentuk riak kecil karena penghuninya sedang bergerak mencari udara bebas di atas air. Kami duduk mengelilingi blumbang yang panjang kali lebarnya sekitar 5x10 meter itu. Joran pancing kami terjulur ke tengah. Senar dengan ujung berupa kail dan umpan itu kami lempar ke bagian-bagian yang paling banyak ikannya. 

"Bukk!" sebuah suara tiba-tiba muncul di sebelah kananku.  "Kocolan!" seru kami tertahan. "Itu ikanku lho!" Nurkadi mendesis pelan. Ikan sepanjang 20 cm dengan punggung berwarna coklat kehitaman dan perut berwarna putih itu tampak menggelepar-gelepar di atas rumput. Saking kuatnya tarikan strike Nurkadi, ikan itu sampai terlempar jauh ke arahku. Nurkadi segera mengamankan tangkapan pertamanya. 

Belum sempat memperhatikan hasil pancingan Nurkadi  lebih jauh, umpanku mengena. Tarikan diagonal terasa kuat menarik tali pancingku. Strike! Reflek aku sentakan joranku ke atas. Seekor kocolan tampak melayang di udara. Ukurannya mungkin sepanjang 25 centimeter. "Byur!" sedetik kemudian permukaan blumbang tampak berkecipak. Mata kailku yang tanpa gretel rupanya  melepaskan ikan besar itu kembali ke blumbang. 

"Ah!" aku hanya bisa berseru di dalam hati sambil menelan ludah. Yang lain ikut melongo menyaksikan kegagalan ku.Cacing umpan segera aku pasang lagi. "Selanjutnya aku tidak boleh gagal," tekadku di dalam hati.

"Buk!"

"Buk!"

"Buk! Buk!"

Suara-suara ikan tangkapan yang terlempar ke daratan semakin sering terjadi. Anehnya, hampir semuanya adalah ikan kocolan. Siang itu benar-benar terjadi hujan kocolan. Saking banyaknya ikan tangkapan kami, kami jadi merinding. 

"Lik Mampu. Kocolannya kok seperti hujan.  Jangan-jangan ikan-ikan ini adalah ikan tunggon," kata Suntiko beringsut ke arahku.  Semua mata memperhatikan kami berdua. Ada tatapan ngeri yang terpancar dari sorot mata para anggota geng begitu mendengar kata ikan tunggon. Walaupun kami terbiasa bertualang seperti menangkap ular, menjebak musang, menembak burung bubut ataupun burung hantu dengan ketapel, dan lain-lain, tetapi untuk yang satu itu kami belum pernah menghadapi.


Gambar : Ikan Tunggon yang mengerikan dalam bayangan kami. 

Kami memang  paling takut jika suatu ketika  bertemu dengan ikan jadi-jadian itu. Konon jika sampai memakannya kami bisa kena kutuk. Bisa sakit, bahkan meninggal. Banyak cerita-cerita mengerikan yang  bersimpang siur tentang ikan tunggon  itu. Makanya banyak orang tua di Widuri yang berpesan kepada anak-anaknya supaya jangan memancing ke tempat yang wingit atau angker. 

"Coba pegang kepalanya dan tiup matanya," kataku pada Suntiko. Ia  sebelumnya  berhasil memancing kocolan yang sangat  besar. Selain itu  ia adalah anggota geng yang paling percaya tahyul dan mudah takut. Makanya ia sangat percaya rumor adanya ikan tunggon walaupun kurang paham ikan tunggon itu apa dan seperti apa ciri-cirinya.

"Buat apa tiup-tiup mata kocolan?" Kasmuni  yang anti takhayul membantah. "Jelas ini ikan beneran. Kalau bukan ikan beneran, gak bakalan mau dipancing," sambungnya. Ia berusaha  tegar namun  wajahnya yang agak pias tidak bisa menyembunyikan kengerian.

"Sudahlah. Lakukan saja," kataku pada Suntiko. "Jangan hiraukan kata Kasmuni." Aku berusaha meyakinkan Suntiko. Suntiko segera meniup kedua mata kocolan tangkapannya.

"Bagaimana, berkedip tidak?" tanyaku deg-degan. 

"Ah, ternyata berkedip!" jawabnya tersenyum lebar. 

"Hah!? Serius" serentak kami berseru. 

Semua yang sedang asyik memancing dan melakukan aktivitas lain berhenti seketika. Kami berlarian mendekat ke arah Suntiko. Nurkadi membawa serta kaleng tempat ikannya. Ada sejumlah kocolan dan beberapa ikan bethik di dalamnya.

Gambar: Suntiko bersiap meniup mata ikan gabus yang sangat besar itu.

Kasmuni yang  tidak mengenal takut kulihat wajahnya semakin pucat pasi. Nurkadi tampak tangannya agak gemetar memegang kaleng bekas tempat ikan tangkapannya. Ia  bersiap membuang ikan-ikan kocolan itu ke blumbang. Sementara Ganjar yang tidak mendapatkan ikan satupun hanya tenang-tenang saja. Hanya pandangannya sedikit khawatir.

Aku sendiri mulai panik. Daerah kebon Mbah Qosim memang terkenal angker. Banyak cerita orang-orang yang lewat di jalan ke arah kampung Jempono itu bertemu hal yang aneh-aneh. Ada pengendara sepeda yang tiba-tiba dihalangi pohon bambu yang rebah di jalan. Ada pencari kayu yang melihat seseorang yang sudah meninggal menebang bambu dan menyeretnya ke hutan. Ada  buah kelapa yang menggelinding lalu berubah menjadi kepala manusia. Ada burung perkutut berubah menjadi ular. Ada buruh  ladang yang dilempari tanah oleh sesuatu yang tak nampak dari atas pohon, dan lain-lain. Aku khawatir jika benar ada ikan tunggon yang kami tangkap.

"Tik. Yang bener..." aku bertanya kepada Suntiko tidak yakin.

"Ya bener lah.." katanya bangga. Ia masih memegang dan menimang-nimang ikan kocolan hampir sebesar lengan orang dewasa itu. Kalau sudah sebesar itu kami menyebutnya  ikan kutuk. Punggung ikan itu hitam mengkilat dengan sisi tubuh doreng antara putih dan hitam. Sementara perutnya berwarna putih bersih. Tampilannya sungguh berbeda  dengan ikan-ikan kocolan yang lain yang kami tangkap. 

Kepala ikan kutuk itu besar. Terlihat sangat besar malah.  Matanya bundar berwarna merah pada bagian tepi  dengan bola mata hitam berkilat. Mulutnya besar dan terbuka lebar seperti mulut ular. Gigi-giginya kecil merata tersebar di seluruh mulutnya. Ikan kutuk itu terlihat seram. 

Senyum Suntiko masih tetap  terkembang. Ia sangat bangga dengan hasil tangkapannya yang merupakan ikan terbesar itu.  Kasmuni yang tidak sabar segera merebut ikan  itu dengan geram.  Tidak menduga ikannya direbut, Suntiko reflek menghindar, namun ikan sempat  terbetot tangantangan mereka dan meronta. Ikanpun jatuh di tepi blumbang. Untung aku bergerak cepat. Kocolan besar itu masih  bisa ditangkap lagi. 


Gambar: Perebutan ikan gabus besar antara Kasmuni dan Suntiko.

Kasmuni hendak bergerak merebut ikan itu lagi, tetapi Suntiko sigap menghalanginya. Suntiko marah karena mengira ikannya mau direbut dan dimiliki Kasmuni. Nurkadi dan Ganjar membiarkan saja dua anak itu regejegan. Mereka lebih tertarik dengan apa yang akan aku lakukan.

"Berhenti semuanya," perintahku. Aku memberi isyarat supaya  Ganjar dan Nurkadi segera membantuku mengurusi kedua temannya yang lain. Mereka kemudian memegangi, lalu memisahkan  Suntiko dan Kasmuni supaya tidak ribut lagi. 

Ikan kutuk itu meronta-ronta  di tanganku. Aku agak dedgdegan karena baru kali itu aku memegang ikan yang begitu besar. Segera kupererat pegangan kedua tanganku pada bagian lehernya. Secepat kilat   kutiup keras-keras kedua mata ikan kutuk yang berwarna merah besar itu. Aku agak ngeri dan ragu juga semula, namun akhirnya aku bisa mengatasi kengerian dan keraguanku. Karena kerasnya tiupan aku terpaksa berkedip. Ada sisa air yang mengenai mataku.

"Alhamdulillah," kataku pelan.   Ketegangan yang ada di wajahku seketika sirna.  Ganjar dan Nurkadi segera melepaskan pegangannya kepada Suntiko dan Kasmuni. Mereka semua lega, kecuali Suntiko.  Ia masih tidak terima karena ikan besarnya direbut.

"Gimana Lik? Berkedip kan?" tanya Suntiko ingin tahu. Ia mengira yang berkedip adalah peniupnya. Kebanggaannya karena memperoleh ikan kocolan paling besar membuatnya tidak sadar bahwa jawabannya tentang berkedip dan tidak berkedip adalah teror mental bagi kami.  Ia juga salah paham bahwa hak miliknya hendak direbut. 

Belum sempat aku menanggapi pertanyaannya ia sudah menyimpulkan, "Tadi sewaktu Lik Mampu meniup ikan kutukku, mata Lik Mampu berkedip-kedip kan? Aku liat sendiri lho"

"Hahahaha..."

Gambar: Ikan gabus tangkapan kami benar benar besar.

Begitu mendengar perkataan Suntiko meledaklah  tawa anak-anak yang lain. Suntiko bingung dan mau marah lagi karena diketawai. Ia hendak menyerbu Kasmuni yang tertawa paling keras.

"Tenang Tik. Rupanya kamu  salah paham," Nurkadi  berusaha menegahi.  "Yang dimaksud berkedip itu bukan orang yang meniup. Tetapi ikan kutukmu. Karena ikanmu tidak berkedip, itu artinya ikan itu  bukan ikan kutuk tunggon atau  kocolan jadi-jadian." 

"Hahahaha..." Tawa kami berderai-derai mengingat kejadian sebelumnya. Suntiko kali itu juga ikut tertawa.

"Siapa itu yang ada di blumbang?!" Terdengar suara keras disertai batuk-batuk dari arah rumah mbah Kasim. Rupanya keributan kami telah membangun dan penghuninya.

"LARIII....." Aku segera memberi aba-aba. Semua anggota geng langsung mengambil langkah seribu. Kami lari tunggang langgang menuju ke arah kuburan. Sebagian ikan tangkapan kami mungkin ada yang tercecer tetapi biarlah. Yang penting aksi kami tidak ketahuan oleh Mbah Qosim yang terkenal galak itu.


__________________________________

On the sky, 29 November 2018 05.09 Ditulis dengan metode menemu baling, menulis dengan  mulut dan membaca dengan telinga dalam perjalanan dari   Jakarta menuju Manado. Disempurnakan di Semarang.



Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS