DIBURU RAKSASA TERBANG

 


Oleh: Dr. Mampuono, S.Pd., M,Kom.

#menemubaling #TaliBambuapusGiri #seri_kisah_masa_kecil

Hujan gerimis mengguyur bumi tanpa henti sepanjang hari ini. Rintiknya membawa perasaan berbeda bagi setiap hati. Ada yang senang karena bisa beraktivitas di tempat nyaman, dilingkupi udara lebih sejuk dan segar alami. Berbahagia dalam iringan musik orkestra alam pada rinai dan nyanyian kecil jangkrik lupa atau belalang ecek-ecek yang membahana di setiap sudut bumi Widuri. Ada juga yang sedih karena kegiatan di luar rumah yang biasanya rutin dijalankan terpaksa harus dihindari.

Di bulan Januari, gerimis seperti ini memang biasa terjadi. Langit yang selalu tertutup gelayut mendung menjadi persediaan curahan air yang tak kunjung rampung. Cericis hujan ini terasa begitu berterusan seperti tak pernah usai. Apalagi jika mendungnya putih, ini pertanda hujan akan berlangsung lama. Bahkan bisa berhari-hari. Di satu sisi, ini membuat sebagian orang merasa tenang dan damai. Namun di sisi lain, hujan yang tak kunjung selesai seperti ini membawa keresahan dan kegundahan tersendiri, seperti yang aku alami.

“Mbeek….! mbeek…!” suara ribut kambing-kambing kelaparan bersahut-sahutan dari arah kandang. Plandangan tempat rumput di tengah kandang sudah kosong. Isinya tinggal dahan dan ranting mlandingan yang berwarna putih. Aslinya warna potongan ujung mlandingan adalah hijau berlapis kulit muda. Menjadi putih karena keterampilan kambing-kambing itu menjadikan kulitnya sebagai menu tambahan. Dengan gigi gigi depannya mereka terampil sekali mengulitinya dan menjadikannya sampai putih bersih. Kambing-kambing itu membantu Mak’e mendapatkan kayu bakar untuk cucuk geni di pawon karena dahan dan ranting itu lekas kering oleh sinar matahari.

“Mbek…! Mbeek…!” Tuan dan nyonya kambing kembali memanggil memecah suara gerimis yang mendaulat sore ini. Aku paling sedih jika sudah begini. Kambing-kambing itu lapar, tapi kalau diberi rumput basah mereka tidak mau makan. Mau dicarikan rumput yang kering, mana ada. Hujan saja sudah dua hari ini tidak pernah berhenti.

Memelihara kambing bagiku adalah semacam kewajiban turun temurun. Sejak aku belum lahir, di rumahku sudah ada kambing. Pak’e yang petani tulen selain mengandalkan nafkah keluarga dari mengolah ladang dan sawah juga dari peternakan. Biasanya setahun sekali menjelang lebaran akan datang pedagang-pedagang kambing untuk membeli kambing kambing kami. Dari uang hasil penjualan kambing itu kami bisa memperoleh pakaian-pakaian baru untuk berlebaran.

Memelihara kambing harus akrab dengan bau bauan yang dihasilkan oleh ternak manusia sejak jaman para nabi dulu itu. Cemendil-nya memang tidak terlalu bau. Bahkan banyak orang yang mengambilnya untuk pupuk tanaman mereka. Tetapi tidak dengan air kencingnya. Bau pesingnya minta ampiun! Aroma khas kambing itu bahkan akan menguap dan terbang kemana-mana lalu melekat pada tempat yang dihinggapinya. Sebuah kandang kambing bisa dideteksi keberadaannya dengan hidung normal pada jarak lebih dari 40 meter. Karena aroma inilah kemudian tidak banyak anak sekolah yang sudah mulai menginjak remaja yang mau akrab dengan kambing di kampungku. Mereka sudah mulai gengsi dengan bau pesing dari kencing kambing.

Aku tentu saja harus menerima nasibku sebagaimana nasib kakak-kakakku. Tidak ada kata gengsi untuk berhubungan dengan kegiatan memelihara kambing setiap hari. Jika kakak-kakakku lebih suka menyabit rumput setiap hari dan membawanya ke kandang. Kadang-kadang aku lebih suka memberikan selingan untuk ternak peliharaan kami itu dengan mengajak kambing-kambing itu merumput di kebun.

Jujur, aku tidak keberatan meluangkan waktu setiap hari untuk merawat kambing-kambing kami. Bahkan, aku merasa senang bisa memberikan variasi pada kegiatan memelihara kambing, seperti mengajak mereka merumput di kebun. Sambil mengulang pelajaran sulit yang sebelumnya diajarkan guru, mengerjakan PR, atau belajar hal-hal lain lewat buku bacaan pinjaman, tak terasa kambing juga bisa makan sampai kenyang.

Memelihara kambing cukup banyak manfaatnya, selain sebagai hiburan dan pelepas penat di kala senggang, kambing-kambing itu juga bisa jadi penghasil uang. Namun, setiap tahun menjelang lebaran, ketika pedagang-pedagang kambing datang, aku merasa sedikit sedih karena harus melepas kambing-kambing kesayangan. Bagaimanapun aku harus rela berpisah dengan teman yang sudah bersama dalam jangka waktu cukup lama itu. Jika tidak, kami tidak akan memperoleh uang dari penjualan kambing yang akan digunakan untuk membeli pakaian baru untuk berlebaran. Dan tragisnya lagi, jika yang membeli tetangga secara patungan, bisa jadi kami akan bertemu dengan kambing-kambing itu di meja makan. Bukan untuk makan bersama dengan pemiliknya, namun sahabatku itu justeru menjadi hidangan. Tragis kan?

Konon hampir semua nabi adalah para pemelihara kambing atau domba. Menggembala domba bagi nabi adalah pelatihan untuk mengembala umatnya nanti. Pengembala yang baik akan berusaha agar binatang gembalaannya selalu mendapatkan pakan yang cukup. Maka menjadi memelihara atau penggembala kambing yang baik merupakan salah satu amal perbuatan mulia.

Jika nabi yang manusia pilihan saja memelihara kambing, aku yang manusia biasa memelihara kambing tentu bukanlah hal yang gengsi.

“Kambingnya kelaparan itu Mpu. Sana dicarikan rambanan,” kata kakak laki-lakiku yang paling rajin memperhatikan kesejahteraan kambing mengingatkan kewajibanku.

Kambing kambingku memang tidak doyan rumput basah. Tetapi mereka masih mau makan rambanan basah. Sayangnya untuk mendapatkan rambanan orang harus memanjat pohon dan mengambil daun daunnya. Orang dikampungku biasa memilih daun mlandingan dan munggur untuk dijadikan rambanan pakan kambing. Sayangnya, hujan terus menerus yang berlangsung membuat semua pohon licin. aku masih menimbang nimbang apa yang harus aku lakukan untuk membuat kambing kambing itu diam.

“Mbeek….! Mbeek…!” suara kambing kelaparan yang bersahut-sahutan itu terdengar semakin keras. Bahkan salah seekor kambing yang terkenal pendiam pun ikut berteriak protes karena kelaparan.

“Itu lho Mpu, kasihan kambing-kambingnya. Cari cara gimana kek, supaya kambing-kambing itu diem.” Kakakku mengingatkan sekali lagi.

Aku tidak membalas ucapannya melainkan segera beranjak ke rumahku satunya lagi yang berfungsi sebagai dapur besar dan sebagian untuk rumah bagi kambing jika malam tiba. Kuambil boding yang terselip di pagar rumah sebelah dalam. Hujan masih belum juga reda. Sambil menunggu waktu aku ambil batu ungkal. Sedikit air di ember dan gesekan maju mundur di atas batu sedimen khusus itu telah berhasil semakin mempertajam boding itu. Tandanya warnanya menjadi putih mengkilat dan jika bagian mata boding itu diraba dengan permukaan ibu jari akan terasa sekali ketajamannya.

Aku menyukai boding itu karena jika digunakan untuk bekerja sangat efektif. Boding itu terbuat dari bahan baja pilihan garapan pande besi terkenal di daerah Sayung, Demak. Bagi pencari rambanan, boding ibarat senjata pusaka. Semakin ahli empu yang membuatnya, semakin ringan pekerjaan pemiliknya. Pak’e selalu memilih empu terbaik untuk menghasilkan pusakanya sebagai petani, dari mulai sabit, bendo, cangkul, boding, perkul, dandhang, sampai pisau sembelihan ayam.

Sambil meninggalkan suara kambing yang tetap bersahutan di belakang, aku segera masuk ke hutan bambu di belakang rumah. Di sana ada beberapa pohon mlandingan yang masih memiliki daun yang rimbun. Aku terakhir memotongnya sekitar dua minggu sebelumnya. Waktu dua minggu berikutnya sudah cukup untuk menumbuhkan kembali cabang-cabang baru yang ditumbuhi banyak daun.

Baru beberapa puluh meter memasuki hutan bambu, langkahku tiba-tiba terhenti. Aku tertegun. Aku melihat seekor ular hitam sedang melilit carang yang melengkung ke arah jalan setapak yang akan kulalui. Ular berbisa jenis cobra itu seolah olah sedang menghalangi jalanku. Hatiku berdebar debar.

“Duh, ulo dumung lagi!” gumamku dalam hati. Aku memandang ular itu dengan agak ngeri, tetapi sekaligus juga merasa kasihan karena aku harus mengusirnya agar bisa melanjutkan perjalanan.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil batang kayu yang ada di dekatku dan mengusir ular itu dengan keras. Ular itu pergi dengan cepat dan aku melanjutkan langkahku. Namun, hatiku gundah dan teringat akan percakapan orang tua yang mengatakan bahwa melintas di hadapan ular hitam berarti disuruh pulang.

“Apakah aku seharusnya pulang?” tanyaku pada diri sendiri. “Ataukah aku sebenanrnya hanya berpikir terlalu banyak? Ah, aku seharsnya tidak percaya tahyul!” kataku mencoba meyakinkan diri.

Aku merasakan konflik batin yang sangat besar di sini. Di satu sisi aku ingin melanjutkan perjalanan mencari pakan kambingku, tetapi juga khawatir akan ada apa apa karena mengabaikan pertanda ular hitam.

Namun, setelah beberapa saat berpikir, aku memutuskan untuk tidak percaya tahyul. Aku merasa bahwa hal-hal seperti itu hanya mitos belaka dan tidak perlu dipercayai begitu saja.

“Demi kambingku, aku harus tetap melanjutkan perjalanan ini,” gumamku dalam hati sambil mempercepat langkahku.

Dengan tekad yang bulat, aku melanjutkan perjalanan menuju tengah hutan untuk mencari pakan kambingku. Meskipun hatiku masih gundah, aku berusaha untuk mengatasi rasa takut dan berpikir positif bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Tanah yang becek mengotori kakiku yang telanjang. Tumbuh-tumbuhan perdu yang penuh air membasahi pakaianku. Seekor burung bubut terbang menjauh ketika aku melewati kebun nanas di dekat hutan bambu itu. Burung besar dengan warna bulu merah kecoklatan itu sering menjadi sasaran empuk pemburu yang biasanya datang dari kota dan tak terasa melenyapkan margasatwa satu persatu. Rambutku basah kuyup karena tidak tertutup caping. Caping yang biasa aku pakai kudapati digunakan untuk mengerami telur oleh si blorok ayam kami.

Pohon mlandingan itu berwarna kehitaman. Jamur dan lumut kerak tumbuh subur di permukaannya. Diameternya sekitar 20 cm dan tingginya hanya sekitar 10 meter. Beberapa sulur pohon gembili dengan daun lebat tampak rapat melilit pohon itu. Duri durinya yang lumayan tajam seperti melindungi pohon dari gangguan. Kupegang bagian yang tidak terlilit sulur gembili lalu aku goyang-goyang sebentar pohon yang basah kuyup itu.

Terdengar suara tetes air berjatuhan mengenai daun-daun perdu di bawah pohon seperti suara hujan deras. Boding yang aku pegang segera aku selipkan di ikat pinggangku yang terbuat dari gedebog pisang. Sambil berpegangan erat erat pada batang pohon mlandingan itu aku mulai melompat.

Licin! Itu yang ku rasakan ketika kedua telapak kakiku menempel pada batang mlandingan. Begitu seluruh tubuhku menempel pada batang pohon, gaya gravitasi bumi langsung menarikku ke bawah. Dengan segala daya upaya aku kerahkan tenaga untuk bertahan supaya tidak terlalu jauh melorot ke bawah.

Aku terus berusaha bergerak dengan mengandalkan seluruh keahlianku sebagai pemanjat sejati. Setengah meter aku bergerak ke atas, 30 cm aku melorot lagi. Demikian seterusnya. Aku terus bergerak tanpa putus asa. Aku berusaha segera mencapai cabang terdekat. Kulit lenganku terasa perih karena harus bergesekan dengan kulit pohon dan sebagian terkena duri pohon gembili untuk mempertahankan tubuh agar tidak melorot ke bawah. Agar tidak terlalu banyak luka aku harus menghindari duri pohon gembili yang melilit pohon mlandingan itu. Usahaku terasa lebih berat. Dalam basahnya kucuran air dari langit yang sesekali masih saja turun, tubuhku juga basah oleh keringat.

Sebuah cabang yang terpotong sempat aku jadikan pegangan. “Brull…!!” Cabang itu tiba-tiba runtuh. Serpihannya jatuh berguguran ke bumi.

“Astagfirullah!” Aku berteriak tertahan sambil menjaga keseimbangan. “Hampir saja!” seruku di dalam hati. Sambil mengucap syukur aku kembali mendekap batang pohon mlandingan itu dengan erat. Andai aku jatuh, habislah semuanya. Tepat di bawah pohon mlandingan itu banyak cabang bambu dan kayu yang runcing bertebaran. Selain itu duri kemarung pohon gembili juga banyak mencuat di sana.

Aku menghela nafas berat sambil bertahan supaya tidak melorot. Dengan susah payah akhirnya aku bisa mencapai cabang itu. Dengan sekuat tenaga aku naikkan kaki kananku dan mengaitkannya pada cabang, lalu perlahan aku angkat seluruh tubuhku. Aku segera duduk di celah berbentuk percabangan gagang ketapel itu sambil menjaga keseimbangan. Kuatur nafas yang sejak tadi memburu karena harus mengerahkan tenaga yang tidak kecil untuk sampai di tempat itu.

Aku bersyukur karena daun-daun mlandingan muda itu sangat lebat. Suburnya daun gembili yang melilit dahan-dahannya semakin menambah lebatnya dedaunan ujung-ujung mlandingan itu. Boding segera aku lolos dari tempatnya. Tangan kiriku berpegangan erat pada salah satu cabang yang licin, tangan kananku mulai mengayunkan boding.

“Crash!” Ranting pertama penuh daun segera jatuh ke bawah.

“PLETAK!! PLETAK..!!” tiba-tiba kepalaku bagian belakang seperti dilempari dua batu sekepalan tangan. “Aduh!” pekikku kesakitan. Dua hantaman keras terasa menghantam tanpa ampun bagian terpenting tubuhku. Kepalaku pening, sakit sekali. Mataku berkunang-kunang menahan sakit.

“Ngngngngngng….ngngngngngng…” Terdengar suara berdengung ribut di atas kepalaku. Refleks aku menoleh ke arah suara itu. Hatiku ciut seketika.

Pada saat aku mendongak ke atas mataku terbelalak lebar. Ternyata di dahan sebelah atas terdapat rumah tawon ndas yang sangat besar. Posisinya tersamarkan oleh daun daun gembili yang rimbun. Bagian bawah sarang itu runtuh dengan lobang menganga. Mungkin akibat tebasan boding yang aku lakukan. Jatuhnya dahan mlandingan yang membawa lilitan sulur gembili dari dahan sebelah atas menyebabkan rusaknya sarang tersebut. Sarang itu berlobang dan memperlihatkan isinya berupa larva yang berjajar rapi di dalam tempat tempat khusus. Penghuninya marah besar karena istananya rusak. Tawon tawon raksasa itu dengan beringas terbang berputar putar menimbulkan suara berdengung.

“TAWON NDASSSS….!” Teriakku dengan keras. Boding segera aku lemparkan jauh-jauh. Badan aku putar. Kaki aku lepas dari cabang pohon. Aku meluncur ke bawah secepat-cepatnya. Begitu sampai di tanah aku segera bergulung dan tiarap dibalik rerimbunan pohon lerut dan temu giring. Aku tidak peduli lagi dengan kepala yang berdenyut-denyut nyeri, badan dan rambut yang penuh lumpur, dan kulit yang babak belur berdarah darah karena harus memberosot ke bawah.

Yang terpenting, aku harus selamat dari serbuan makhluk-makhluk terbang berukuran raksasa itu. Sengatannya bisa membuat seseorang celaka. “Ya Allah. Selamatkan aku. Aku berlindung kepadaMu dari serangan binatang berbisa!” doaku dalam hati sambil menyembunyikan diri.

Lebah-lebah ndas yang marah itu memiliki naluri alamiah untuk menyerang kepala manusia. Ciri khas kepala yang dikenali oleh lebah itu adalah bentuk bulat berwarna hitam, tingginya lebih dari setengah meter, dan biasanya bisa bergerak. Dalam kondisi marah jika lebah lebah itu melihat benda dengan ciri-ciri semacam itu mereka akan segera menyerbunya.

Dengan tubuh hitam kemerahan dan bentuk seperti sabuk berwarna kuning di perut lebah-lebah itu terlihat mengerikan. Ukurannya adalah raksasa yang jauh lebih besar daripada lebah madu. Ujung sengat di belakang tubuhnya yang begitu menghantam tubuh langsung menimbulkan luka berdarah memberi sinyal tersendiri betapa ganasnya lebah-lebah itu. Jika dibandingkan dengan lebah madu yang sengatannya juga menyakitkan, lebah itu sengatannya 10 kali lebih menyakitkan. Jika menyerang tubuh berkali-kali dan korban tidak segera diselamatkan, akibatnya bisa sangat mengerikan. Salah salah jika tidak cepat mendapat pertolongan korbannya bisa meregang nyawa.

Seorang tetangga dari kampung sebelah pernah diserang lebah jenis itu ketika sedang menyabit rumput. Karena kondisi tubuhnya tidak sedang fit dan terlambat ditangani akhirnya ia tidak tertolong. Tentu aku tidak mau mengalami peristiwa yang seperti itu.

Lebah-lebah itu terus berputar-putar di atas tempatku berbaring. Kepalaku semakin pusing dan tubuhku panas dingin. Racun lebah itu tampaknya sudah menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berusaha bertahan. Jika aku sampai pingsan kondisi ku bisa lebih berbahaya lagi. Di hutan bambu itu masih banyak binatang-binatang buas dan ular ular berbisa.

Aku hanya bisa berdoa dan memohon pengaturan dari Allah SWT agar lebah lebah yang marah itu segera pergi. Rasa sakit yang mendera kepalaku masih berdenyut-denyut. Kuraba dua bagian yang terasa sakit di dekat ubun-ubun dan telinga. Tanganku menyentuh sesuatu yang terasa basah dan hangat. Ketika aku periksa, di ujung jariku ternyata terdapat noda darah. Tidak seperti lebah madu yang sangat nya hanya menusuk. Sengat lebah ini membuat kulit sobek dan mengeluarkan darah.

Gerombolan tawon ndas itu sepertinya belum juga reda amarahnya. Mereka terbang menyebar untuk mencari oknum yang merusak istana mereka, Sesekali satu dua di antara mereka ada yang terbang mendekat di atas daun lerut dan temu giring di mana aku bersembunyi. Aku semakin tidak berkutik. JIka aku diam saja mungkin akhirnya mereka akan menemukanku. Namun, jika aku bergerak sedikit saja serbuan mereka tidak terhindarkan.

Mataku yang nanar tiba tiba melihat ada sebuah klowongan kering di sebelah kananku.Perlahan kuraih benda berwarna hitam kecoklatan yang ukurannya sebesar kepala manusia itu. Jari tengah dan telunjukku segera masuk ke dalam lobang buatan tupai itu. Dengan sekali gerakan kulemparkan klowongan itu ke tempat yang lebih terbuka.

Benda itu menggelinding dan tepat berhenti setelah menabrak pohon belimbing. “Ngngngngngng….ngngngngngng…” Terdengar suara berdengung ribut dari atas pohon mlandingan. Puluhan tawon raksasa itu segera menyerbu klowongan itu. Bergantian mereka mendaratkan sengatnya kepada benda yang tidak bersalah itu.

Segera aku melakukan upaya penyelamatan diri. Dengan merayap aku menjauhi tempat persembunyian itu. Untuk menyamarkan diri seluruh tubuhku aku lumuri lumpur. Sesampainya di sebuah sungai kecil di dekat hutan aku segera menyelam dan menyeberang. Setelah dirasa aman aku segera bangkit dan berusaha berlari secepat cepatnya. Aku tidak peduli lagi dengan boding yang terlempar, daun rimbun yang sempat aku potong, apalagi pada tuan dan nyonya kambing yang pasti kecewa karena ransum mereka gagal aku bawa.

***

(Penulis, Dr. Mampuono, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC, Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas, dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambupus Giri atau implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital mandiri berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ).

DAFTAR ISTILAH:

Bendo = parang

Boding = sejenis golok

Carang = ranting bambu

Cucuk geni = membuat api

Dandhang = alat penggali tanah dan pemecah batu

Jangkrik lupa = jangkrik rumah berukuran kecil dengan suara nyaring

Klowongan =buah kelapa dilobangi tupai

Lerut = sejenis umbi umbian

Mak’e = panggilan untuk ibu

Mlandingan = petai cina

Pak’e = panggilan untuk bapak

Perkul = kampak

Plandangan = tempat pakan kambing

Rambanan = dedaunan pohon berkayu untuk pakan ternak

Ri Kemarung = duri pohon gembili yang tumbuh di sekitar umbi

Tawon Ndas = tawon vespa

Temu giring = sejenis empon empon

Ungkal = batu pengasah

Ulo dumung = sejenis kobra

Walang ecek ecek = belalang dengan suara keras dan berisik



Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS