NDUDUK MBILI
Seri Autobiography:
NDUDUK MBILI
By
Dr. Mampuono (Tali Bambuapus Giri)
Nduduk mbili. Ada yang pernah mendengar istilah ini? Kedengarannya seperti bahasa di Afrika sana ya. Sungguh, adakah yang pernah merasakan getaran kehidupan dalam frase ini? Seakan menghadirkan aroma kisah dari jauh, mungkin dari jalanan berdebu Nairobi di Afrika atau pun suara riuh rendah alam raya di pedalaman rimba Amazon. Sebuah istilah yang mencuri perhatian, membawa kita terlempar ke belantara pikiran yang tak terduga. Ah, ingatanku membawaku pada masa-masa di bangku sekolah dasar sampai SMA, di mana setiap hari diisi dengan teka-teki hidup yang menunggu semesta menjawabnya.
Dari rahim tanah subur, aku muncul sebagai anak takdir dari keluarga petani yang hidup bergantung pada belaian bumi. Setiap pagi, kami menyongsong matahari dengan tekad kuat, menatap luasnya sawah, ladang, dan kebun yang menjadi jantung kehidupan kami. Tanah yang kami pijak bukan hanya sekadar tanah, melainkan sumber segala harapan dan kehidupan. Orang tua, pahlawan tanpa tanda jasa kami, mengatur kehidupan di atas sebidang tanah yang begitu kaya rupa. Ada tegalan yang menjadi taman hijau nan menawan, kebun pisang yang melambai penuh kegembiraan, dan hutan bambu yang menari-nari bersama angin. Pepohonan tua menjulang gagah, menciptakan pemandangan yang memukau dari kejauhan. Dalam setiap helai daun, dalam setiap hembusan angin, tersemat kisah kehidupan yang tak ternilai harganya.
Di kebunku, pohon-pohon berdiri megah dengan keberagaman yang menakjubkan. Ada yang gemuk dengan buah-buahan ranum menggiurkan seperti mangga, jeruk, mulwo, kuwanjing, gayam, aren, gebang, kelapa, dan siwalan. Sementara itu, ada yang berwujud angker, seperti randu dan randu alas, dipercaya menjadi tempat bersemayam makhluk halus yang menyelimuti keberadaannya dengan misteri.
Tak hanya itu, kekayaan alamku juga meliputi pohon-pohon yang bertekstur keras, seperti jati, johar, putat, trenggulun, dan munggur, yang menjulang tinggi dan megah di area kebun. Bagian hutan bambu yang berdekatan juga menyuguhkan pohon-pohon yang telah berusia tua, dengan batang jati yang membesar hingga melebihi setengah meter diameternya, mengungkapkan jejak-jejak waktu dalam lingkaran tahun yang terukir pada batangnya. Beberapa bahkan telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun, menyimpan segudang kisah menjadi saksi zaman yang terus berubah.
Namun, di antara semua keberagaman itu, pohon randu alas dan munggurlah yang paling menonjol dengan ukuran yang luar biasa. Di kuburan Sayang, tempat di mana mbah Widuri disemayamkan, pohon randu alas menjulang paling tinggi dan besar di kampungku. Akarnya membentuk tonjolan pipih yang menyerupai dinding, membentuk kamar-kamar terpisah, tempat para jin konon berdiam diri di antara sekat-sekat akarnya. Legenda menyebutkan bahwa anak-anak dilarang keras bermain di dekatnya, bahkan melirik atau berbicara tentangnya dianggap sebagai pelanggaran serius. Konsekuensinya, ujung jari telunjuk harus diulum sebagai tanda kesepakatan untuk tidak mengulangi kesalahan, dengan ancaman bahwa jari itu akan putus jika bertindak sembrono. Begitu kuatnya kepercayaan pada cerita itu di antara kami anak-anak kampung Widuri, sehingga menjadi sebuah kebenaran tak tergoyahkan di antara kami, menjadi sebuah legenda yang hidup di dalam benak dan hati kami.
Di tengah hamparan alam yang tenang, rimbunnya dedaunan, dan di antara suara cengkerik kaji dan derik walang ecek-ecek di hutan bambu, berdiri megah dua jenis pohon yang menonjol dan menarik perhatian kami, randu alas dan munggur. Keduanya berdiri seperti dua tokoh dalam sebuah dongeng yang berbeda. Randu alas, dengan kesan seram yang menguar dari batangnya yang tinggi dan kelabu, menyampaikan aura misteri yang memikat. Sebaliknya, pohon munggur memancarkan kehangatan dan kedamaian. Dedalu kecilnya yang subur menjadi saksi bisu akan kesuburan tanah tempatnya berdiri.
Kisah tentang pohon munggur melegenda di kalangan kami. Konon, pohon itu telah menjaga tanah di dadah kidul selama hampir satu abad. Bayangkan, hampir seratus tahun usia pohon itu bertahan, seolah-olah menjadi penjaga alam yang setia. Bentuknya yang megah seperti pohon avatar, dahan dahannya yang besar melintang begitu luas dan batangnya yang tinggi besar menjulang sehingga membutuhkan tiga orang dewasa untuk bisa memeluknya.
Dan di bawah rindangnya, kami - aku, adikku Ganjar, kakak-kakak perempuanku, Yu Mikuwati dan Yu Nyukupi, serta para bocah perempuan sekampung kami - menemukan kegembiraan dalam permainan yang mengesankan. Dengan blarak sebagai bahan baku dan bambu, kami membangun rumah-rumahan, sementara para anak laki-laki bertani mencari kayu bakar dan umbiu-mbian, para anak perempuan masak-masakan dari hasil bumi yang terkumpul di bawah naungan pohon yang megah itu. Sesekali, angin pun membisikkan cerita tentang kehidupan yang mengalir di sekitar dua jenis pohon yang begitu berbeda namun begitu mempesona itu.
Di tengah kehijauan tegalan yang mempesona, di antara rerimbunan tanaman palawija dan sayuran yang menggoda, gemerlap pohon mlandingan dan petai cina menyambut mata kami dengan anggunnya. Mlandingan, begitu kami menyebutnya, menjadi penjaga keasrian dan penyubur bagi tanaman-tanaman yang tumbuh subur di sekitarnya. Tidak mengherankan jika Pak'e, ayah kami yang penuh perhatian terhadap pertanian, lebih memilih menanam mlandingan di tepi-tepi tegalan.
Aku sendiri, dengan keberanian dan keterampilan kecilku, seringkali memanjat pohon petai cina demi mendapatkan daun-daunnya yang lebat. Rambanan, begitu kami menyebutnya, merupakan hasil tangkapan kami dari pohon yang menjulang tinggi itu. Daun-daun itu bukan hanya sekadar tumbuhan, melainkan sumber nutrisi berharga bagi kambing-kambing yang kami pelihara dengan penuh kasih di kandang kami. Dengan setiap perjalanan naik ke pohon, kami tidak hanya mengumpulkan rambanan, tetapi juga mengumpulkan kisah-kisah kehidupan di antara daun-daun yang berayun di atas kepala kami.
Dalam kebun yang subur, di antara cahaya pagi yang membelai daun-daun hijau, takdir memutuskan untuk menyapa. Aku menemukan rambanan yang menggiurkan, merayu dengan kelembutan rasanya yang manis bagi kambing-kambingku. Namun, di antara dedaunan yang rimbun, buah petai Cina pun menjuntai bergelayutan dan bergoyang-goyang dalam buai angin, seakan pasrah, menunggu belaian tangan kami untuk memetiknya.
Tetapi, petualangan tidak selalu berjalan mulus. Aku masih ingat saat pernah merasakan nasib nahas, ketika hujan deras mengguyur langit dan aku terpaksa mencari rambanan. Tanpa kusadari, pucuk yang kuinginkan dihuni oleh tawon vespa. Ketika aku memotong dahan di bawahnya, tawon-tawon itu marah besar. Mereka menyerangku tanpa ampun, dan aku terpaksa melarikan diri dengan luka- luka sengatan di kepala yang membuatku hampir celaka.
Dengan hati yang berdebar, aku memastikan tidak ada bahaya di sekelilingku, hati-hati aku meraih buah petai Cina itu, merasakan getaran energi tak terduga yang mengalir di dalamnya. Seperti sebuah panggilan dari alam yang meminta untuk diungkap. Segera dahan-dahan gemuk yang menawarkan banyak sekali dompolan mlandingan itu aku potong. Lalu aku pisahkan buah petai cina itu dari ranting dan daun hijau subur itu. Daun dan ranting adalah hak ternak sementara buahnya milik yang empunya ternak. Adil bukan?
Kubawa pulang. Kulitnya kubuka perlahan menjadi dua bagian, memperlihatkan biji-biji kecil yang hijau ranum berlompatan. Kami biasa membuka kulit petai berbiji kecil kecil itu di atas tampah atau nyiru yang lebar sehingga lebih mudah mengumpulkannya. Setiap kulit yang dibuka menimbulkan kemistri tersendiri. Seolah menawarkan sebuah portal menuju sebuah rahasia alam yang tersembunyi, menjanjikan petualangan baru yang menantang.
Di antara kisah-kisah tentang alam liar dan petualangan di balik setiap buah yang kami temukan di kebun dan ladang, terdapat kekuatan enigmatik yang menggoda kami untuk terus menjelajah. Siapa tahu, di balik setiap buah yang kami temukan, tersimpan cerita-cerita yang lebih mendalam dan misterius. Dan itulah daya tarik sejati dari petualangan kami di kebun kami yang subur.
Jika panen petai cina kami berlimpah kami biasa menjualnya bersama hasil bumi lainnya. Mak’e dengan bijak mengarahkannya ke pasar, mengubahnya menjadi sedikit uang belanja atau mungkin jajan untuk kami. Kami juga menggunakan bijinya untuk memasak, meracik hidangan-hidangan khas yang menggugah selera. Mak’e biasa memasak oblokoblok dan botok dengan tambahan udang kecil yang menggugah selera. Setiap suapan oblok-oblok atau botok yang kami nikmati terasa seperti petualangan baru yang kami jalani bersama alam.
Di bawah rindangnya dedaunan petai Cina, aku seringkali menemukan kedamaian di antara hamparan hijau yang menyejukkan. Di situlah, di tempat di mana angin berbisik lembut dan dedaunan berdansa dengan irama alam, aku biasa duduk santai, merenungi kehidupan. Sore-sore, setelah kembali dari belajar, aku meluangkan waktu di sana untuk membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup.
Membantu mereka mencari nafkah bukanlah tugas yang ringan, tapi aku melakukannya dengan penuh keihklasan. Dengan peralatan sederhana seperti linggis atau dandang, sabit atau ndorit, serta dunak, aku merasa memiliki kekuatan untuk menghadapi tantangan. Ndorit, dengan rancangan uniknya yang menggabungkan kegunaan sabit dan parang, menjadi senjata utamaku dalam menjelajahi hutan dan ladang.
Alat-alat tersebut memiliki fungsi masing-masing yang saling mendukung. Linggis fungsinya adalah untuk menggali tanah di mana mbili terpendam puluhan sentimeter di dalamnya. Sabit atau ndorit digunakan untuk memotong duri kemarung yang biasanya menjadi tempat mbili berlindung, sedangkan dunak adalah tempat untuk menampung mbili yang sudah dipanen. Dunak terbuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti keranjang tetapi anyamannya lebih rapat dan susunannya lebih kuat.
Setiap kali aku memegang alat-alat itu, aku merasa seperti seorang pahlawan dari cerita rakyat, siap menaklukkan segala rintangan yang menghadang. Di bawah sinar mentari yang melintasi daun-daun hijau, aku belajar menghargai kehidupan sederhana ini, di mana keberanian dan ketekunan adalah kuncinya.
Di hamparan kebun yang subur, terdapat keindahan tersendiri dalam kemegahan tanaman menjalar yang disebut mbili, atau sering disebut juga gembili. Merambat dengan anggun, tanaman ini tak hanya memikat mata dengan dedaunan hijaunya yang lebat, tetapi juga menyimpan kekayaan dalam umbinya. Dikenal dengan nama latinnya, Dioscorea esculenta L., mbili merupakan sumber karbohidrat yang melimpah. Ketika aku memilih untuk duduk di antara tanaman mbili, itu artinya aku tengah mencari dioscorea esculenta L. dengan cara yang paling khas, yaitu nduduk atau menggali dengan hati-hati, seolah merangkai keharmonisan alam dengan setiap sentuhan tangan.
Setiap kali aku berjongkok di antara rumpun-rumpun mbili, itu bukan sekadar mencari umbinya yang gurih, tapi lebih seperti menggali rahasia dari tanah itu sendiri. Aku merasa seperti seorang arkeolog yang menemukan harta karun terpendam. Berjongkok di bawah sinar mentari, aku tak hanya mencari umbi, tapi juga memeluk kekuatan dan keajaiban alam yang terpancar dari tanaman ini.
Pak'e dengan sengaja menanam mbili di dekat pohon petai Cina, merencanakan alaminya pohon tersebut menjadi tempat merambat bagi Mbili. Dalam diamnya, umbi Mbili terpendam di tanah, menanti waktu untuk berkecambah di dekat akarnya yang kuat. Setelah tunas pertama muncul, sulur-sulur mbili dengan penuh semangat berkelok-kelok, menggenggam batang petai Cina dengan gigih. Mereka saling memeluk, membentuk tarian alami yang memukau, menjadikan pohon itu sebagai panggung bagi pertunjukan mbili yang menakjubkan.
Ukuran mbili yang ditanam oleh Pak'e tidak main-main. Sebuah umbi bisa tumbuh hingga mencapai panjang 30 cm dengan diameter yang mengesankan. Dan ketika Mbili besar itu berkecambah, hasilnya juga luar biasa. Meski satu umbi hanya menghasilkan satu tunas, namun tunas itu telah ditakdirkan untuk besar dan kuat. Mbili yang telah tumbuh akan mengumpulkan nutrisi untuk menguatkan pertumbuhan dan berkembang menjadi pohon yang kokoh dan pada akhirnya menghasilkan banyak umbi.
Tidak seperti kentang yang bisa memiliki banyak tunas, mbili memiliki keistimewaan dengan satu tunas saja. Namun, tunas itu merupakan perwakilan dari kekuatan dan keindahan alam yang luar biasa. Dan ketika mbili telah bertunas, umbinya menjadi sumber makanan bagi pertumbuhan tunasnya yang muda dan masih lemah. Bentuknya yang keriput, yang kami juluki sebagai "glembos", menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang telah dilalui oleh Mbili itu sendiri, sebelum akhirnya berkembang menjadi pohon dewasa yang mempesona.
Setelah usianya kira-kira setengah tahun mbili sudah bisa di-duduk atau digali untuk dipanen. Biasanya daunnya yang berbentuk hati sudah banyak yang kering. Batangnya yang semula hijau juga menjadi coklat kuning. Pengetahuan tentang saat yang tepat untuk memanen mbili dengan cara nduduk mbili sangat sangat penting. Jika tidak paham bisa bisa mbili masih kecil sudah dipanen atau sebaliknya, mbili sudah terlanjur ngglembos baru dipanen .
Untuk mencapai keberhasilan dalam proses nduduk mbili, aku harus melalui serangkaian langkah hati-hati dan terampil. Pertama-tama, setiap langkahku harus dipenuhi dengan kehati-hatian yang ekstra. Mengapa? Karena tanah yang menjadi tempat tinggal bagi mbili, seringkali dijaga ketat oleh duri kemarung, duri-duri panjang dan tajam yang menjaga keamanan tumbuhan itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh teori evolusi dari Charles Darwin. Setiap kali tanganku meraih untuk merengkuh mbili, sering kali jari-jemariku berdarah akibat sergapan tajam dari duri kemarung. Namun, dalam setiap petualangan, risiko dan tantangan adalah sahabat sehari-hari yang harus dihadapi dengan tekad yang teguh. Karena yang terpenting adalah memastikan ndorit, alat tradisional yang menjadi senjata utama dalam menyingkirkan rintangan, tetap tajam dan siap digunakan.
Langkah kedua mengharuskan ku untuk mengerti betul akan kebutuhan dan karakteristik mbili. Linggis harus ditancapkan dengan cerdas, jauh dari batang agar tidak merusak atau melukai daging mbili yang akan segera dipanen. Proses penggalian tanah harus dilakukan dengan sabar, setiap gerakan harus diukur dengan teliti, sehingga mbili yang bersembunyi di dalam tanah dapat dengan lembut disingkapkan satu per satu.
Ketika sampai pada langkah ketiga, saatnya untuk mengangkat pangkal batang mbili dengan hati-hati. Setelah semua mbili terbebas dari cengkeraman tanah, tiba saatnya untuk melepaskan umbi-umbi itu dari batangnya. Tindakan ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, agar mbili dapat dilepaskan tanpa merusak kualitasnya. Dan tentu saja, setelah panen selesai, langkah berikutnya adalah memberi ruang bagi mbili untuk tumbuh kembali dengan menanam beberapa di antaranya sebagai bibit untuk masa depan. Inilah siklus kehidupan yang berkelanjutan, di mana kita memberi dan menerima dari tanaman yang kita rawat dengan cinta dan perhatian.
Langkah terakhir adalah merawat hasil panen dengan penuh perhatian. Setelah kususun mbili dalam dunak, aku membawa hasil bumi itu pulang untuk direndam dalam air. Proses perendaman ini bukan hanya sekadar membersihkan tanah yang masih menempel, tetapi juga untuk membuat kulit mbili lebih lunak sehingga mudah untuk dibersihkan. Dengan hati yang penuh rasa hormat dan penghargaan, aku merendam setiap mbili, membiarkan setiap butirnya merasakan kesegaran air sebelum aku mencuci mereka secara lembut di ember dekat sumur. Umbi-umbi itu adalah buah dari kerja keras dan perhatian, dan harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan rasa syukur.
Di kegelapan malam, setelah mbili dibersihkan dengan cermat, aku memasukkannya ke dalam dunak yang telah bersih dan segar karena tersiram oleh banyak air. Pada saat-saat fajar terjelang, langkah lembut Mak'e sudah terdengar di dapur, menyalakan api di tungku untuk merebusnya. Aromanya pun menyatu dengan udara malam, menciptakan perpaduan harum yang menggugah selera.
Keesokan paginya, ketika mentari baru muncul dari balik kabut, Mak'e dengan hati gembira mengangkat keranjang penuh dengan hasil bumi segar dan mbili yang sudah matang. Bersama langkah-langkahnya yang ringan, beliau melangkah menuju pasar untuk menjualnya. Namun, sebelum meninggalkan rumah, dia selalu meninggalkan sebagian kecil dari hasilnya di atas meja makan, sebagai persiapan sarapan.
Itu adalah momen yang selalu dinantikan, saat kami berkumpul di sekitar meja makan, menikmati hidangan sederhana namun lezat. Sarapan kami terdiri dari umbi-umbian yang kaya akan nutrisi, mengingat cadangan beras kami yang terbatas. Meskipun sederhana, namun setiap gigitan membawa kelezatan yang memenuhi rasa lapar dan kebutuhan akan energi untuk memulai hari.
Di ladang keluarga kami, tersedia beragam jenis mbili yang ditanam oleh Pak'e. Namun, yang paling menarik perhatianku adalah mbili ketan. Setiap kali aku memanennya, hatiku berbunga karena rasanya yang begitu lezat dan menggugah selera. Mbili ketan ini, bagi saya, seperti simbol kelezatan dan keterampilan tangan Pak'e yang luar biasa.
Namun, sering kali mbili ketan yang paling indah dan besar malah diambil oleh Mak'e untuk dijual di pasar. Meskipun sedikit kecewa, aku bisa memahami alasannya. Menurut Mak'e, yang terbaik harus diperdagangkan agar dapat menghasilkan uang yang cukup untuk keluarga. Itu adalah pelajaran berharga tentang kesadaran dan kebijaksanaan hidup yang selalu diajarkan oleh Mak'e dan Pak'e.
Kedua orang tua kami adalah teladan luar biasa dalam hidup kami. Mereka mengajarkan kepada kami nilai-nilai tentang keberanian, ketekunan, dan pengorbanan. Sungguh, mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah berjuang keras untuk memastikan bahwa kami memiliki masa depan yang lebih baik. Semoga Allah memberkati mereka dengan surga yang paling indah sebagai balasan atas segala pengorbanan dan cinta mereka kepada kami. Amin ya rabbal alamiin.
MRT
#menemubalinglah5menit.
Draf dibuat di Sampangan, 07-02-2017 dengan metode Menemu Baling dan disempurnakan dengan strategi tali Bambu Apus Giri atau implementasi literasi produktif bersama dalam pembuatan pustaka digital Mandiri berbasis Ai di Jalan Kyai Mojo Srondol Kulon pada tanggal 26 Maret 2024 pukul 16.00 WIB.

Comments
Post a Comment