MENYELAMATKAN GENERASI DARI KERUSAKAN BAHASA

 

Penulis: Maulina Ulfah dan Mampuono 

Editor:  Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.) 

(Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.) 

Kita hidup di era di mana kata-kata yang keluar dari layar kaca dengan mudah merayap masuk ke dalam pikiran muda yang rapuh. Siswa-siswa kita, yang seharusnya belajar dan berkembang dengan bahasa yang baik, justru mulai mengadopsi ungkapan-ungkapan yang tidak layak—terima kasih kepada film animasi dan live-action yang tampaknya lebih suka memamerkan bahasa jalanan daripada bahasa yang layak diucapkan di ruang kelas. Ya, saat ini, bahasa kasar telah menjadi hidangan sehari-hari bagi mereka, dan kita seolah-olah menonton saja dari pinggir lapangan, berharap keajaiban terjadi dan mereka tiba-tiba berubah.

Menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, seorang pakar linguistik yang sudah berkeliling ke segala penjuru negeri, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi adalah cerminan dari budi pekerti bangsa. "Bahasa yang santun itu seperti cermin yang bersih," katanya, "cermin yang menunjukkan wajah asli suatu bangsa." Tapi mari kita lihat apa yang terjadi sekarang. Apakah kita melihat bangsa yang sopan dan berbudaya, atau kita hanya melihat sekelompok anak muda yang dengan riangnya merusak cermin tersebut dengan coretan bahasa kasar yang mereka pelajari dari media?

Kita sering kali lupa, atau lebih tepatnya, memilih untuk melupakan, bahwa bahasa yang rusak tidak hanya berdampak pada individu. Ketika bahasa mulai hancur, identitas bangsa pun terancam lenyap. Bayangkan saja, apa jadinya jika bahasa Indonesia—yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa—justru berubah menjadi campuran acak kata-kata asing dan slang yang tidak jelas? Ketika identitas bahasa hilang, maka lambat laun kita akan kehilangan kebanggaan sebagai bangsa yang berbudaya.

Bahasa yang rusak adalah ancaman nyata bagi eksistensi bangsa ini. Kita tidak sedang berbicara tentang ancaman imajiner, tetapi ancaman yang sangat nyata. Ketika bahasa menjadi alat untuk menyebarkan kebohongan dan memutarbalikkan fakta, kita sedang berada di jalan menuju kehancuran. George Orwell pernah berkata bahwa "Bahasa politik... dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur, dan pembunuhan tampak terhormat." Ya, kita sedang berjalan di jalur itu, jika kita tidak segera berbalik arah.

Sungguh ironis ketika kita membiarkan media, yang seharusnya menjadi sumber pendidikan, malah merusak cara anak-anak kita berkomunikasi. Ini bukan lagi masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan teguran ringan. Ini adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dari semua pihak, terutama pendidik dan orang tua. Mereka, yang seharusnya menjadi teladan, sekarang dituntut untuk lebih waspada dalam memilih kata-kata mereka sendiri, agar tidak menambah minyak pada api yang sedang membakar masa depan bahasa kita.

Apa yang perlu dilakukan? Pertama, kita harus meningkatkan literasi bahasa di kalangan siswa. Bukan sekadar belajar membaca dan menulis, tetapi juga belajar bagaimana menggunakan bahasa dengan bijak. Literasi bahasa harus menjadi tameng yang melindungi siswa dari pengaruh negatif media. Prof. Dr. Tarigan menyarankan bahwa literasi bahasa yang baik akan membuat siswa lebih kritis dalam menyerap informasi. Mereka akan belajar memilah mana bahasa yang layak digunakan, dan mana yang sebaiknya ditinggalkan di tempat sampah.

Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam upaya ini. Para guru perlu berinovasi dalam mengajarkan etika berbahasa, tidak hanya melalui pelajaran bahasa Indonesia, tetapi juga melalui semua mata pelajaran. Mereka bisa, misalnya, mengajak siswa menganalisis bahasa yang digunakan dalam film yang mereka tonton. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar tentang struktur kalimat, tetapi juga tentang makna di balik kata-kata.

Lingkungan keluarga juga tidak boleh lepas tangan. Orang tua harus menjadi contoh nyata dari penggunaan bahasa yang baik. Mereka harus lebih selektif dalam memilih kata-kata yang mereka gunakan di rumah. Jangan sampai anak-anak mereka tumbuh dengan bahasa yang merusak, hanya karena mereka terbiasa mendengar bahasa yang tidak pantas dari orang tuanya. Diskusi tentang bahasa yang baik dan buruk dalam media yang dikonsumsi anak bisa menjadi cara yang efektif untuk membentuk kebiasaan berbahasa yang positif.

Dalam interaksi sehari-hari, siswa harus diajarkan bahwa bahasa yang santun adalah kunci dari komunikasi yang baik. Mereka harus belajar bahwa bahasa yang kasar tidak hanya menyakiti lawan bicara, tetapi juga merendahkan diri mereka sendiri. Ketika mereka terbiasa menggunakan bahasa yang baik, mereka akan lebih dihargai dalam pergaulan, dan konflik akibat kesalahpahaman bahasa pun bisa diminimalisir.

Kegiatan ekstrakurikuler seperti klub debat atau teater bisa menjadi sarana yang efektif untuk melatih siswa dalam berbahasa. Dalam kegiatan-kegiatan ini, siswa diajarkan untuk memilih kata-kata yang tepat, menyampaikan argumen dengan sopan, dan mendengarkan lawan bicara dengan penuh perhatian. Ini adalah keterampilan yang akan sangat berguna bagi mereka di masa depan.

Bahasa yang baik adalah kekuatan yang mampu membangun jembatan pengertian antara individu. Sebaliknya, bahasa yang buruk adalah racun yang bisa merusak hubungan sosial. Pendidikan bahasa yang santun dan benar adalah dasar yang membentuk siswa menjadi pribadi yang bijak, kritis, dan berkarakter. Tapi sayangnya, ini semua akan sia-sia jika kita tidak mulai bertindak sekarang.

Bahasa yang rusak tidak hanya mengancam generasi muda, tetapi juga mengancam kedaulatan bangsa. Jika kita tidak segera bangkit untuk menyelamatkan bahasa kita, maka kita sedang menggali kuburan untuk identitas kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Haji Agus Salim, "Bahasa yang baik adalah nyala api yang menjaga semangat bangsa tetap menyala." Apakah kita rela melihat api itu padam karena kelalaian kita?

Di akhir tulisan  ini penulis ingin mengingatkan, satu hal yang pasti: kita tidak bisa berdiam diri. Kita harus mulai dari sekarang, menjaga bahasa kita, dan dengan itu, menjaga masa depan bangsa ini. Jika kita tidak bertindak, kita akan kehilangan lebih dari sekadar kata-kata; kita akan kehilangan jiwa kita sebagai bangsa.


==================================

Srondol, Semarang, 14 Agustus 2024 11.00 WIB. 

Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ 

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS