MENJELAJAH MEGAHNYA DIENG
Penulis: Sumilih Seno, guru MTSN 1 Karanganyar
Editor: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
(Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.)
Saat kabut pagi masih menyelimuti cakrawala, kami sekeluarga berangkat menuju Pegunungan Dieng, sebuah mahakarya alam yang menjulang di Wonosobo. Jam menunjukkan pukul 05.30 ketika mobil melaju meninggalkan rumah, membawa serta bekal sederhana: nasi, snack, dan minuman. Jalanan lengang mengantar kami melewati lanskap yang kian memukau saat kami mendekati wilayah Wonosobo. Dua raksasa tidur, Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, seolah mengawasi perjalanan kami, berdiri kokoh dengan megahnya, seakan menjaga keindahan tersembunyi di balik lipatan-lipatan bukit.
“Keindahan adalah satu-satunya kemewahan yang tidak dapat dibeli, namun dapat ditemukan dalam kebersahajaan alam,” kata seorang pujangga, mengingatkan kita bahwa perjalanan ini bukan sekadar rekreasi, melainkan pencarian jiwa yang tertawan oleh keindahan alam semesta.
Dari dalam mobil, pemandangan gunung-gunung berlapis-lapis tampak seperti deretan punggung naga yang tengah meringkuk, menunggu untuk dibangkitkan oleh sinar matahari. Setiap tikungan jalan, seakan mengungkap rahasia alam yang tersembunyi di balik setiap lekukan. Udara segar meresap melalui celah-celah jendela, memberikan kehidupan baru pada tubuh yang masih sedikit mengantuk.
Kami berhenti sejenak di sebuah restoran yang terletak di kaki Gunung Sumbing. Dengan panorama yang memukau sebagai latar, kami menikmati sarapan. Sinar mentari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan permainan bayangan yang menari di atas permukaan tanah. Rasa kopi panas yang kami seruput terasa lebih nikmat, seakan alam memberikan berkatnya pada setiap tegukan.
Perjalanan dilanjutkan, dan sekitar pukul 12.00 siang, kami tiba di Telaga Menjer. Permukaan airnya yang tenang mencerminkan langit biru cerah, dikelilingi pepohonan hijau yang seolah melindungi telaga dari hiruk-pikuk dunia luar. Di sini, waktu seolah berhenti, memberikan ruang bagi kami untuk tenggelam dalam keindahan yang menenangkan.
Kami menyewa sebuah perahu kecil dan mengarungi permukaan telaga. Suara dayung yang mengayuh air memberikan irama yang menenangkan, seiring dengan angin yang membelai lembut wajah kami. Anakku yang paling kecil, dengan mata berbinar, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan, seakan perahu ini membawanya ke dunia dongeng yang penuh dengan keajaiban.
Setelah puas menikmati Telaga Menjer, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Sembungan, titik awal pendakian ke Gunung Sikunir. Sebelum petualangan yang lebih mendebarkan dimulai, kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah homestay yang hangat dan ramah. Malam itu, angin pegunungan meniup dingin, namun kami terbungkus hangat dalam keakraban keluarga.
Pukul 04.00 pagi, dengan semangat yang menyala, kami memulai pendakian menuju puncak Sikunir. Suasana gelap masih menyelimuti sekitar, namun suara canda tawa para pendaki lain terdengar ramai, menambah semangat kami. Jalan setapak yang kami lalui dikelilingi oleh pepohonan tinggi, seperti penjaga setia yang mengantar kami menuju puncak.
Di sepanjang jalan, pedagang lokal dengan ramah menawarkan makanan khas Wonosobo, salah satunya kentang goreng yang disiram saus cokelat dan kecap, memberikan energi tambahan bagi para pendaki yang mulai merasakan dinginnya udara pegunungan.
Pendakian ini adalah sebuah perjalanan spiritual, di mana setiap langkah membawa kami lebih dekat pada keagungan ciptaan Tuhan. Keringat yang menetes seolah adalah persembahan kepada alam, yang dengan penuh cinta membuka jalan menuju keindahan yang tak ternilai.
Sesampainya di puncak, tepat saat fajar menyingsing, kami disuguhi pemandangan yang tak terlukiskan. Matahari perlahan-lahan muncul dari balik horizon, memancarkan sinar keemasan yang menerangi seluruh lembah Dieng. Kabut yang menyelimuti pegunungan mulai terangkat, mengungkapkan keindahan panorama yang sebelumnya tersembunyi.
Di puncak Sikunir, kami merasa seakan dunia berhenti sejenak. Matahari, bagaikan dewa yang bangkit dari tidurnya, memberi kehidupan baru pada setiap sudut alam. Kami terdiam dalam kekaguman, membiarkan keindahan alam mengisi jiwa kami dengan kedamaian yang dalam.
“Keindahan adalah bahasa alam yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang terbuka,” begitu kata seorang pujangga. Di puncak Sikunir, kami menyadari betapa benar perkataan itu. Perjalanan ini bukan sekadar liburan, melainkan sebuah perenungan akan keindahan dan kesederhanaan hidup yang sering kali terlupakan.
Comments
Post a Comment