CERPEN: WARISAN CINTA


Penulis: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)

Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri - Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI.

Ide cerita: Telly D (Kepala P4TK Matematika pada masanya). 

Kepergian nenek menghantamku seperti badai yang menghancurkan cakrawala, membelah langit dengan kilat yang mengguncang jiwa. Seolah-olah seluruh semesta ini ambruk di hadapanku, menyisakan kehampaan yang menyedot semua kebahagiaan yang pernah ada. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan cinta kini menjadi gua kosong yang dipenuhi gemuruh kesedihan, membisu dalam kehampaan yang mencekam.

Sejak kecil, ketika ayah dan ibu meninggalkan dunia ini dalam kecelakaan tragis, nenek adalah cahaya yang membimbingku melewati kegelapan hidup. Dia tidak hanya menjadi pelindungku, tetapi juga seorang guru yang dengan bijaksana menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam jiwaku. Namun, kini, setelah dia tiada, setiap sudut rumah ini terasa mengerang dalam kesepian, seperti dinding-dinding yang menangis meratapi kepergian sosok yang tak tergantikan. Hanya aroma kayu yang tercium, hampa, tanpa sentuhan kasih sayang nenek yang dulu menghangatkan rumah ini.

Dalam keheningan yang mencekam, hanya angin malam yang berani menyusup ke dalam rumah ini, membawa bisikan sunyi yang terasa menusuk hati. Aku duduk terdiam, merenungi bayangan masa lalu yang kini tergambar samar di dinding. "Nek, mengapa harus pergi secepat ini?" gumamku dengan suara yang hampir tertelan dalam kesedihan.

Kursi goyang di sudut ruangan, tempat nenek biasa duduk merajut dengan tenang, kini hanya bergoyang perlahan, seperti menyampaikan salam terakhir yang penuh kerinduan. Setiap sudut rumah ini kini terasa dingin dan asing, seolah-olah dunia telah berubah tanpa kehadiran senyuman nenek yang selalu menyambutku sepulang kerja. Dalam hati yang bergetar, aku merasakan kehampaan yang tak terkatakan, sebuah ruang kosong yang tidak akan pernah bisa diisi kembali.

Saat aku mulai membereskan barang-barang nenek, setiap benda yang dulu tak pernah kuberi perhatian kini memancarkan sinar kenangan yang menusuk relung hatiku. Setiap kain yang terlipat rapi, setiap perabot yang disentuhnya, seolah-olah berbicara padaku, menceritakan kisah kasih sayang yang terjalin selama bertahun-tahun. Mereka adalah saksi bisu dari cinta yang nenek titipkan dalam setiap detail kehidupan, cinta yang tak pernah terucapkan, namun terasa begitu dalam. 

Aku tiba di kasur tua nenek, yang menjadi saksi bisu malam-malam penuh doa dan harapan. Kasur ini tidak sekadar tempat tidur, tapi juga altar suci tempat nenek mempersembahkan doanya kepada Sang Ilahi, memohon perlindungan dan kebahagiaan untukku. Setiap malam, saat dunia tenggelam dalam gelap, nenek berbaring di sana dengan bibir yang bergerak pelan, melantunkan doa-doa yang kini hanya tinggal kenangan.

Saat aku menggulung kasur itu, sesuatu yang berat jatuh ke lantai dengan bunyi "bruk". Aku terkejut, mataku terbelalak melihat tumpukan uang tua yang sudah lusuh dan sebagian sudah tak berlaku lagi. Rupanya, nenek menyimpan tabungannya di sana, di bawah kasur yang sudah aus oleh waktu. Setiap lembar uang itu adalah cerminan dari perjuangan dan pengorbanannya, sebuah bukti betapa kerasnya hidup yang dia lalui demi memberikan yang terbaik untukku. 

Namun, di balik lapisan kasur itu, aku menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar uang: sebuah gasing kayu kecil, buatan tangan kakek, yang dulu kami mainkan bersama di halaman belakang rumah. Gasing itu, meski tampak tak berarti di mata orang lain, bagiku adalah harta karun yang tak ternilai. Ia adalah simbol cinta yang mengikat kami bertiga, cinta yang tidak lekang oleh waktu dan tidak terpisahkan oleh kematian.

"Dan cinta adalah keabadian... dan keabadian adalah jiwa," puisi Khalil Gibran terlintas di benakku saat aku menatap gasing itu, menyadari bahwa cinta yang ditanamkan nenek dan kakek dalam hidupku tidak akan pernah pudar. Kenangan-kenangan indah bersama mereka seolah kembali hidup, menggema dalam putaran gasing yang sederhana namun penuh makna. Aku teringat bagaimana kakek dan nenek mengajariku cara memutar gasing dengan sempurna, mengajarkan bahwa keseimbangan adalah kunci untuk menjalani hidup. 

Namun, kini aku mengerti, gasing ini adalah warisan cinta mereka, kekuatan yang telah membimbing mereka dalam menjalani hidup, dan kini diwariskan kepadaku. Cinta mereka adalah cahaya yang akan terus menerangi jalan hidupku, meski mereka telah tiada. Dalam keheningan malam, saat aku memutar gasing itu dengan tangan yang gemetar, aku merasakan kehadiran mereka yang begitu nyata, seolah-olah mereka masih di sini, bersama denganku.

Tapi, di balik kenangan manis itu, ada perasaan penyesalan yang menyusup ke dalam hatiku. Mengapa aku tidak pernah menyadari betapa berharganya setiap momen yang kami lalui bersama? Mengapa aku terlambat untuk menyadari bahwa cinta mereka adalah harta yang paling berharga? Perasaan bersalah menghantamku seperti ombak yang menghancurkan segala pertahanan, meninggalkanku terombang-ambing dalam lautan emosi yang tak tertahan.

Aku duduk terdiam, memeluk gasing itu erat-erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa menghubungkanku dengan nenek dan kakek. Dalam keheningan yang begitu mendalam, hanya ada aku, gasing kayu, dan kenangan yang berputar dalam hatiku. 

Cinta mereka, warisan yang tidak terhingga nilainya, adalah cahaya abadi yang akan terus menyala, meski mereka telah pergi. Warisan cinta ini, yang terbungkus dalam kenangan dan doa-doa panjang nenek, akan selalu menjadi pelita yang membimbingku melewati kegelapan hidup, seperti nenek yang selalu menjadi pelindungku, guru dan sahabat yang tak tergantikan.

Gasing kayu kecil itu, dan kenangan yang takkan pernah pudar. Aku memandang gasing itu dengan penuh cinta, seolah-olah itu adalah warisan paling berharga yang pernah kuterima dalam hidupku. Di tengah-tengah keheningan itu, aku merasakan kehadiran yang lebih besar, yang lebih agung dari sekadar kenangan. Seolah-olah di balik semua ini, ada tangan Sang Ilahi yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan, memberikan makna pada setiap helaan nafas, dan merajut benang-benang takdir menjadi sebuah kain indah yang penuh dengan cerita cinta.

"Ya Allah," aku berbisik, suara itu hampir tak terdengar, tenggelam dalam lautan emosi yang mengalir deras. "Terima kasih karena telah memberikan mereka dalam hidupku. Terima kasih atas cinta yang telah Kau titipkan melalui mereka." Dalam doa itu, aku menemukan kedamaian yang tak terlukiskan, sebuah rasa syukur yang melampaui kata-kata. Bukan hanya rasa syukur atas kenangan indah, tetapi juga atas segala pelajaran dan kekuatan yang mereka wariskan kepadaku.

Aku menyadari bahwa cinta nenek dan kakek bukan sekadar kenangan manis, melainkan bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar, yang menjadikan hidupku lebih bermakna. Melalui tangan mereka, Tuhan telah menunjukkan bagaimana cinta sejati seharusnya: tulus, tanpa pamrih, dan abadi. Cinta yang tidak hanya mengisi hati, tetapi juga menuntun jiwa untuk selalu bersyukur dan berbakti kepada-Nya.

Saat itu, sebuah bait puisi dari Kahlil Gibran kembali melintas dalam benakku, seperti angin sepoi yang membawa kesejukan di tengah hari yang panas. 

"Cinta tidak mengenal kedalamannya sendiri sampai saat perpisahan tiba."p

Kata-kata itu meresap dalam hatiku, membawa pemahaman yang lebih dalam tentang makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang sejati tidak hanya dirasakan saat kita bersama, tetapi justru ketika kita merasakan kehilangan, kita mulai menyadari betapa dalam cinta itu telah mengakar dalam hati kita. 

Perpisahan dengan nenek dan kakek memang membawa kesedihan, tetapi di balik kesedihan itu ada cinta yang lebih besar, yang kini mengisi hatiku dengan rasa syukur yang tak terhingga. Syukur karena pernah merasakan cinta mereka, syukur karena mereka telah menjadi bagian penting dalam hidupku, dan syukur karena Tuhan telah mengizinkan aku untuk merasakan keindahan cinta yang abadi ini.

Gasing kayu itu kini menjadi simbol dari cinta yang terus berputar, tidak berhenti meski mereka telah tiada. Cinta itu adalah warisan paling berharga yang kuterima, bukan hanya dari nenek dan kakek, tetapi dari Sang Maha Cinta, yang mengatur setiap helai takdir dengan penuh kasih sayang. 

Dan dengan penuh kerendahan hati, aku memohon kepada-Nya, "Ya Allah, berikan tempat terbaik untuk mereka di sana. Berikan juga aku kekuatan untuk menjaga warisan cinta ini, untuk selalu mengingat betapa berharganya setiap momen yang telah Engkau berikan. Jadikan cinta ini sebagai penuntun dalam hidupku, agar aku selalu bersyukur atas setiap nikmat yang Engkau berikan, dan selalu mengingat bahwa di balik setiap pertemuan dan perpisahan, Engkau lah yang mengatur semuanya dengan cinta yang sempurna."

Aku menyeka air mataku, memandang gasing itu sekali lagi. Kini, bukan hanya kenangan yang tergambar di sana, tetapi juga rasa syukur yang mendalam. Aku tahu, nenek dan kakek tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hidup dalam setiap doa yang kupanjatkan, dalam setiap putaran gasing kayu itu, dan dalam setiap langkahku yang kini dipenuhi dengan cinta dan syukur kepada-Nya. 

Gasing kecil itu telah mengajarkan satu hal besar: cinta yang sejati tidak pernah mati. Ia berputar abadi, membawa kenangan, pelajaran, dan rasa syukur yang takkan pernah pudar. Dan aku akan terus memutar gasing itu, sebagai tanda bahwa cinta mereka—cinta yang datang dari-Nya—akan selalu hidup dalam hatiku, selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS