SYUKUR SEJATI

By: Dr. MRT ( ditulis dengan strategi Tali BambuApus Giri - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI_)

Ada satu jenis pencerahan yang tak datang dari langit bersinar atau mimpi yang penuh cahaya, melainkan dari sebuah video biasa di antara guliran algoritma. Pak Nico, entah pada bagian ke berapa, melontarkan kalimat yang sederhana namun mengguncang jiwa: “Ucapan syukur saat senang itu baru terima kasih, tetapi syukur saat sedang susah itulah syukur yang sesungguhnya.” Kalimat ini menusuk lebih dalam dari pedang filsuf, membelah kenyamanan palsu yang selama ini kita pelihara dalam doa-doa manis penuh pamrih.

Di zaman ketika media sosial seperti panggung sirkus, di mana semua orang berlomba menampilkan bahagia palsu dan keberhasilan instan, konsep syukur yang autentik menjadi barang langka. Menjadi manusia yang bisa berkata Alhamdulillah saat tangis masih membasahi pipi, itulah manusia pilihan. “Orang yang bersyukur akan ditambah nikmatnya,” janji Allah dalam Surat Ibrahim ayat 7. Tapi siapa yang masih percaya janji Tuhan, saat janji politikus saja lebih sering ditagih?

Syukur adalah seni membaca hikmah dalam lembaran hidup yang terbakar. Ia bukan sekadar kata manis di caption Instagram dengan hashtag #blessed. Syukur sejati lahir dari luka, dari hati yang remuk namun tetap bersujud. Seperti bunga yang tetap mekar meski tumbuh di tanah berbatu, syukur adalah keputusan spiritual melawan logika dunia.

Profesor Brené Brown dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari kesempurnaan hidup, tapi dari keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan. Dengan kata lain: syukur bukanlah hadiah dari kenyamanan, melainkan buah dari keberanian.

Namun, ironisnya, banyak manusia modern yang lebih memilih mengeluh dengan gaya estetik. Sebuah kopi tumpah bisa menjadi alasan untuk menyalahkan semesta. Padahal, jika kita menengok ke Gaza atau Sudan hari ini, di mana listrik hanya nyala dua jam sehari dan air bersih adalah kemewahan, ucapan syukur kita yang terlalu pelit terasa seperti sinisme terhadap penderitaan global.

Dalam dunia yang penuh narasi sukses yang dikurasi, syukur menjadi bentuk pemberontakan. Ia menolak standar pencapaian yang dibentuk oleh kapitalisme. Ia tidak membutuhkan pengakuan publik. Kata Gibran Khalil Gibran, “Mereka yang memberi dengan sukacita, sukacita itu adalah upahnya.” Demikian pula dengan syukur: saat kita mampu bersyukur, kita telah diganjar nikmat itu sendiri.

Sungguh, jika takdir adalah naskah Tuhan, maka syukur adalah tanda tangan kita di bagian bawahnya. Kita boleh menangis, marah, kecewa, tapi akhirnya harus menandatangani dengan legowo. Kalau tidak, kita sedang menyobek naskah yang sudah ditulis dengan cinta dan hikmah, meski kadang tak terbaca sekarang.

Psikolog klinis, Dr. Elisabeth Kübler-Ross, menyatakan bahwa penderitaan adalah lorong menuju kedewasaan. Dan syukur adalah cahaya kecil di ujung lorong itu, bukan pelarian, melainkan penerimaan yang menyelamatkan. Maka jangan heran jika Allah begitu ‘royal’ kepada yang mampu bersyukur, karena mereka telah lolos ujian tertinggi: ikhlas dalam kesempitan.

Sayangnya, banyak dari kita terjebak dalam sindrom kalau-aja. “Kalau saja aku kaya...”, “Kalau saja aku tidak sakit...”, dan ribuan kalau lainnya yang membutakan kita dari nikmat yang masih tersisa. Di titik ini, sarkasme Tuhan mungkin berkata: “Bukankah sudah cukup Aku beri napas dan harapan setiap pagi?”

Namun, syukur bukan hanya soal menerima, tapi juga menolak untuk mengeluh. Ia bukan kepasrahan pasif, melainkan kebijaksanaan aktif untuk tetap bertumbuh. Seperti pohon yang tetap menancapkan akar meski diterpa angin topan, manusia bersyukur tak akan tumbang hanya karena badai kecil bernama cobaan.

Kita hidup di masa di mana banyak orang merasa kekurangan padahal dikelilingi kelimpahan. Bukan karena tak punya, tapi karena tak mampu merasa cukup. Dalam hal ini, syukur adalah pengingat bahwa nikmat terbesar bukanlah apa yang kita punya, tapi bagaimana kita memaknai yang kita punya.

Dan pada akhirnya, pelajaran paling penting dari syukur bukan untuk Tuhan—karena Dia Maha Kaya—tetapi untuk jiwa kita sendiri. Syukur adalah cara menyembuhkan luka tanpa harus menunggu sembuh. Ia adalah pelindung mental dari penyakit tamak dan iri yang kian marak di zaman digital.

*Pesan Moral:*

1. Belajarlah bersyukur bukan hanya saat bahagia, tapi juga saat hidup tidak bersahabat.

2. Jangan ukur nikmat dari standar dunia, ukur dengan rasa cukup dalam hati.

3. Syukur bukan sekadar ritual lisan, tapi proses spiritual yang menyelamatkan.

4. Jangan bandingkan hidupmu dengan orang lain di media sosial, bandingkan dengan mereka yang bertahan dalam bencana dan perang.

5. Ingatlah bahwa Tuhan lebih menyukai hamba yang bersyukur daripada yang terus meminta tapi lupa berterima kasih.

Kalau boleh jujur, barangkali dunia ini akan lebih damai jika lebih banyak orang memilih bersyukur daripada terus menuntut. Sebab di balik semua yang hilang, masih ada yang Tuhan sisakan: hikmah.

Comments

Popular posts from this blog

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

NUSANTARA GROUP

RITUAL RAHASIA PEMBEBASAN DARI ENERGI NEGATIF UNTUK MERAIH KEBAHAGIAAN DAN KEBERLIMPAHAN