MENUNDUKKAN OMBAK KEHIDUPAN


 https://youtu.be/DF7KimeSfWk?si=LCBua3vje5wStz0m 

Pagi ini  saya mendapatkan pertanyaan cukup  tajam dari kawan guru asal Demak setelah melihat status WhatsApp saya yang berjudul *Menjadi Kaya Sejak Muda* dan menampilkan seorang influencer bernama Timothy. Teman guru ini mengkritisi  Timothy, seorang motivator yang percaya bahwa kekayaan bisa diraih dengan satu momentum besar, ibarat peselancar yang menaklukkan ombak/raksasa. Ia berbicara tentang keberanian mengambil risiko besar demi kekayaan yang melimpah. Namun, mengapa banyak pendidik di negeri ini memandang pemikirannya dengan skeptis?




Saya menanggapi dengan perumpamaan gelas kosong. Saya  menjelaskan bahwa banyak orang tidak mampu menerima pemikiran baru karena terjebak dalam pola pikir lama. Ambil contoh yang terjadi di grup *WA Edukasi Spiritual Finansial MRT* yang saya buat sejak dua tahun yang lalu. Hanya sepertiga dari mereka yang siap mengosongkan gelasnya untuk menerima pengalaman dan fakta baru sehingga kemudian benar-benar bergabung dan mengamalkan praktek-praktek spiritual finansial dan hidup mereka kini menjadi lebih berbahagia dan berkelimpahan. Sisanya? Waktu hampir dua tahun bergabung dan mengamati edukasi dan testimoni di dalam grup sepertinya belumlah cukup. Mungkin butuh lebih dari sekadar waktu untuk berubah. Sebuah realitas yang getir, namun tak dapat diabaikan. Realitas ini tidak menyurutkan saya untuk berpegang pada slogan penciptaan saya yang berbunyi *"Guru pintar sejahtera mengajar dengan bahagia.  Guru cerdas Indonesia emas."*

Mari kita lihat konteks yang lebih luas. Timothy berbicara tentang kapitalisme sebagai kendaraan menuju kekayaan. Namun, di dunia pendidikan, kapitalisme sering dianggap seperti monster yang merusak moral. "Kapitalisme bukanlah masalahnya; cara kita mendidiklah yang menentukan," ujar John Dewey, seorang filsuf pendidikan. Dewey percaya bahwa pendidikan harus mempersiapkan siswa untuk menghadapi realitas ekonomi, bukan sekadar teori.

Kapitalisme modern, dengan segala tantangannya, memberikan peluang besar bagi mereka yang berani menciptakan solusi dari masalah. Menurut laporan Bloomberg, 80% miliarder baru menciptakan kekayaan mereka dengan menemukan celah di pasar dan menjual solusi. Namun, berapa banyak dari kita yang benar-benar diajarkan untuk melihat masalah sebagai peluang?

Dalam dunia pendidikan kita, tantangan ini menjadi sangat nyata. Para guru sering kali terjebak dalam kurikulum usang yang menekankan hafalan dibandingkan kreativitas. Tetapi tidakkah ini hanya menunda kemajuan? “Kita harus mempersiapkan anak-anak untuk dunia mereka, bukan dunia kita,” kata Ken Robinson, seorang tokoh pendidikan global. Sayangnya, banyak pendidik masih ragu untuk menerima pendekatan seperti yang ditawarkan Timothy.

Sinisme kerap muncul dalam diskusi ini. “Kapitalisme? Itu hanya permainan orang kaya,” cetus seseorang. Namun, seperti yang dikatakan Ayn Rand, "Kapitalisme adalah satu-satunya sistem yang mengakui hak individu atas kebebasan dan kreativitas." Ironisnya, sistem ini sering kali diabaikan dalam pendidikan kita karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.

Timothy juga berbicara tentang momentum tunggal—sebuah momen besar yang bisa mengubah segalanya. Tetapi tidakkah momen itu hanya muncul bagi mereka yang telah berlatih bertahun-tahun? Thomas Edison pernah berkata, “Keberuntungan sering menyamar sebagai kerja keras.” Ombak besar mungkin datang sekali, tetapi hanya peselancar yang tekun berlatih yang mampu menaklukkannya.

Guru memiliki peran penting dalam hal ini. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pelatih kehidupan. Namun, bagaimana mereka bisa mengajar jika gelas mereka sendiri penuh? Seperti yang dikatakan Maria Montessori, "Guru harus mempersiapkan dirinya sebelum mempersiapkan muridnya." Pendidikan harus menjadi alat untuk memberdayakan, bukan sekadar rutinitas.

Realitas ekonomi global memerlukan keberanian dan fleksibilitas. Dalam laporan The Economist, disebutkan bahwa teknologi dan kapitalisme modern membuka peluang bagi mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat. Ini adalah pesan penting bagi guru dan siswa: belajar untuk berubah adalah keterampilan yang tak ternilai harganya.

Mungkin Timothy benar bahwa kekayaan bisa datang dari satu momen besar. Namun, perjalanan menuju momen itu adalah serangkaian perjuangan kecil yang membangun ketangguhan. "Kesuksesan adalah akumulasi dari kegagalan yang dihadapi dengan semangat," kata Rumi, seorang penyair dan filsuf sufi. Pendidikan harus mengajarkan hal ini: bahwa kegagalan adalah bagian dari proses, bukan akhir dari perjalanan.

Di era revolusi industri 4.0, pendidikan harus bertransformasi. Guru harus menjadi pionir perubahan, bukan hanya saksi bisu. Seperti kata Paulo Freire, "Pendidikan tidak mengubah dunia, tetapi pendidikan mengubah orang yang akan mengubah dunia." Maka, pendidikan yang adaptif dan inklusif adalah kunci untuk menghadapi gelombang perubahan.

Bagi para pendidik, tantangannya adalah bagaimana mengosongkan gelas mereka sendiri untuk menerima air baru, lalu menjadi air yang menyegarkan bagi generasi berikutnya. Mereka harus siap untuk membimbing siswa menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian dengan keberanian dan kreativitas.

Kehidupan adalah samudra, dan kita semua adalah peselancar. Jika takut pada ombak, kita hanya akan terdampar di tepi. Tetapi jika belajar memahami arus dan melatih keseimbangan, kita bisa menundukkan ombak yang paling besar sekalipun. “Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, tetapi tentang belajar menari di tengah hujan,” ujar Vivian Greene.

Maka, mari kita belajar untuk melihat masalah sebagai peluang, mengosongkan gelas untuk menerima yang baru, dan menantang ombak kehidupan dengan keberanian. Sebab hanya mereka yang berani mengambil risiko yang akan menemukan kebebasan sejati.


==================================
Sampangan Semarang, 17 November 2024, 07.00 WIB. 
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ 

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS