CAHAYA AI: GRATIS DAN BERMAKNA

Inspired by : Mohammad Soheb, guru Sarang, Rembang

Dalam dunia pendidikan yang terus berlari mengikuti denyut teknologi, hadirnya kecerdasan buatan (AI) ibarat lentera di lorong gelap administrasi guru. Namun, lentera itu sering kali dikunci dengan harga, seolah-olah pengetahuan hanya layak bagi mereka yang mampu membayar. Bukankah pendidikan sejatinya adalah hak setiap insan, bukan komoditas?

Di zaman ini, kita semua seperti pemanah yang harus membidik tepat di tengah sasaran—efisiensi, kreativitas, dan hasil memukau. AI menjadi busur yang menawarkan daya lontar lebih jauh. Tapi, sayangnya, banyak aplikasi yang berubah menjadi benteng mahal. Untuk apa teknologi jika hanya membuat kita frustrasi dengan pesan, “Silakan upgrade ke premium”?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita jelajahi beberapa aplikasi AI yang benar-benar gratis dan bermanfaat. Pertama, Google Docs. Alat ini bukan hanya sekadar pengolah kata; ia dilengkapi dengan fitur prediksi teks dan alat kolaborasi real-time yang menghemat waktu berharga Anda. Sebuah studi dari Harvard Business Review bahkan mencatat bahwa kolaborasi digital meningkatkan produktivitas hingga 30%.

Lalu, ada Canva untuk Pendidikan, yang menawarkan akun gratis bagi guru yang mendaftar dengan ID institusi pendidikan. Namun, sarkasme tidak dapat dielakkan: mengapa kita harus membuktikan diri sebagai guru hanya demi mendapatkan alat bantu? Pendidikan itu universal, bukan?

ChatGPT, versi gratisnya, dapat menjadi sahabat setia dalam membuat soal, silabus, atau bahan ajar. Sebagai informasi, laporan OpenAI tahun 2024 menyebutkan bahwa 70% pengguna ChatGPT berasal dari kalangan pendidik dan pelajar. Tapi jangan heran jika versi gratis kadang mogok di jam sibuk—sebuah ironi teknologi modern.

Selanjutnya, ada Khan Academy. Platform ini tidak hanya menawarkan pelajaran interaktif, tetapi juga didukung oleh AI bernama “Khanmigo” untuk membantu guru dalam membuat pembelajaran yang lebih personal. Tidak ada pembayaran tersembunyi di sini, hanya niat tulus menyebarkan ilmu.

Pesan moral yang dapat kita petik adalah: selalu prioritaskan esensi teknologi. Jangan terjebak oleh gemerlap fitur premium. Albert Einstein pernah berkata, "Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think." Jadi, jangan sampai teknologi hanya menjadi ornamen kosong yang menguras kantong tanpa memperkaya pikiran.

Namun, penting juga memahami batas teknologi gratis. Seringkali, apa yang disebut gratis adalah sebatas versi uji coba. Maka dari itu, bijaklah memilih. Gunakan aplikasi seperti Notion, Trello, atau Obsidian yang bisa digunakan tanpa membayar, setidaknya untuk kebutuhan sederhana.

Di tengah revolusi digital ini, tidak ada salahnya menjadi sedikit sinis: mengapa pendidikan, yang katanya fondasi bangsa, harus terbebani oleh biaya teknologi? Apakah ini artinya masa depan adalah milik mereka yang mampu membayar?

Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah dan lembaga pendidikan seharusnya lebih aktif mendukung akses teknologi gratis bagi guru. Contohnya, program bantuan akun Canva Education yang diterapkan di beberapa daerah telah meringankan beban banyak guru.

Sebagai penutup, gunakan teknologi dengan hati-hati dan bijak. Jangan pernah melupakan tujuan utama: mendidik generasi penerus. Dalam dunia serba instan ini, kita harus melawan godaan shortcut yang membutakan. Dengan kombinasi niat baik, kreativitas, dan teknologi yang tepat, para guru bisa tetap menjadi lilin penerang tanpa harus terbakar oleh beban biaya.

"The function of education is to teach one to think intensively and to think critically. Intelligence plus character—that is the goal of true education." – Martin Luther King Jr.

==================================
Sarang, Rembang , 23 November 11.00 WIB. 
Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ 

Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS