CERPEN 36: ILMU
KUMPULAN CERPEN TALI BAMBUAPUS GIRI
CERPEN 36: ILMU
By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Dingin menyusup ke sela-sela kulit pagi itu, membiarkan embun menari di atas dedaunan dan rumput. Matahari masih malas mengintip dari balik pegunungan, sementara burung-burung sudah memulai simfoni paginya. Di sebuah pondok kayu sederhana yang terletak di tepi hutan, seorang pria tua bernama Kiai Hasan duduk di kursi anyaman rotan, menggenggam cangkir teh hangat, menatap kosong ke arah awan yang berarak pelan. Di seberang pondoknya, hamparan sawah terbentang luas bak permadani hijau, berkilauan saat cahaya pagi menyentuh permukaannya.
Kiai Hasan, meski usianya telah senja, garis-garis kegagahan masa mudanya masih tampak jelas pada wajah yang tenang dan bersahaja itu. Rambutnya telah memutih, namun posturnya yang tegap menunjukkan bahwa ia pernah menjadi seorang pemuda yang kuat dan tangguh. Kain sarung yang selalu dikenakannya tidak bisa menyembunyikan aura kewibawaannya, seolah ia adalah sosok yang diukir oleh waktu, namun tak sepenuhnya dikalahkan oleh usia. Kesederhanaannya begitu memancar, dari pakaian yang selalu bersih tapi lusuh hingga sikapnya yang rendah hati meski ilmunya menjulang tinggi.
Kyai Hasan telah menghabiskan masa mudanya berpindah dari satu pondok ke pondok lain, berguru pada para Kiai sepuh yang terkenal di seluruh pelosok negeri. Ilmu yang ia serap bukan hanya tentang agama, tetapi juga kebijaksanaan hidup yang dalam. Kiai Hasan dikenal sebagai orang yang sangat dihormati, bukan karena kekayaan atau gelar, melainkan karena ketulusan dan ketinggian akhlaknya. Dalam ketenangan dan kesederhanaannya, tersembunyi kekuatan ilmu yang telah ia pelajari dari para guru besar yang namanya bergaung dalam doa-doa santri di seluruh negeri.
Mata Kiai Hasan menelusuri setiap sudut pemandangan itu, tetapi pikirannya jauh mengembara, tak tersentuh oleh keindahan pagi yang damai. Pikirannya terjerat oleh keresahan—bukan tentang dirinya, tetapi tentang generasi muda yang kini seperti terlelap dalam kenyamanan dunia. Mereka, para santri yang dia ajar, seolah tak lagi memahami bahwa ilmu bukan sekadar benda mati yang bisa diambil begitu saja dari kitab-kitab kuning yang berdebu di rak-rak pondok. "Ilmu," gumamnya lirih, "adalah hidup yang harus disambut dengan hati terbuka."
Tak lama kemudian, suara langkah-langkah berat terdengar di halaman depan pondok. Seorang pemuda kurus, berkulit gelap dengan sorot mata yang tajam penuh ambisi dan kelelahan, muncul. Dialah Ahmad, santri yang dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa, namun kecerdasan itu justru menjadi pedang bermata dua. Ahmad seringkali tenggelam dalam kebanggaan akan kecepatan berpikirnya, membiarkan ego menari dalam pikirannya. Ia memandang santri lain dengan mata setengah meremehkan, merasa bahwa mereka tak mampu menandingi logika dan penalarannya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik, untuk meraih dunia, membakar hatinya, tetapi api itu membuatnya lupa pada kebijaksanaan yang seharusnya ia cari.
Namun, di balik kecerdasan yang ia banggakan, Ahmad memiliki kekosongan dalam hatinya—sesuatu yang tak pernah ia sadari. Kepribadian yang sombong, terlalu percaya diri, dan cenderung merendahkan orang lain menjauhkan dirinya dari akhlak mulia yang diajarkan Nabi. Betapa sering ia melupakan pesan Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Dalam kegigihannya mengejar ilmu, Ahmad lupa bahwa ilmu tanpa akhlak hanyalah sia-sia. Ia tak menyadari bahwa penghormatan sejati bukan datang dari kecerdasan semata, melainkan dari akhlak yang luhur. Ahmad gagal memahami bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari seberapa banyak pengetahuan yang dia kumpulkan, tetapi dari seberapa bijak dia memperlakukan orang lain.
Kiai Hasan, dengan tatapan penuh keprihatinan, telah lama melihat kilatan kesombongan dalam diri Ahmad. Ia merasa getir menyaksikan seorang pemuda yang berbakat seperti Ahmad tersesat dalam jalur ambisi yang salah. Bagi Kiai Hasan, Ahmad seperti pohon yang menjulang tinggi dengan cabang-cabang kuat, tetapi akarnya rapuh. Betapa dia berharap Ahmad bisa memahami bahwa ilmu bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun akhlak yang lebih tinggi. Tanpa akhlak, ilmu Ahmad hanya akan menjadi bayangan kosong, menambah beban di pundaknya, bukan meringankan langkahnya di jalan kebenaran.
“Assalamu'alaikum, Kiai,” sapa Ahmad dengan nada yang kering, tak menunjukkan rasa hormat yang biasa.
Kiai Hasan menoleh, menatap Ahmad dengan mata yang lelah namun tajam, seolah menembus lapisan jiwa si pemuda.
“Wa'alaikum salam, Ahmad. Duduklah,” jawab Kiai Hasan, menunjuk kursi di depannya.
Ahmad duduk dengan canggung. Sekilas, matanya menangkap buku-buku tebal yang bertumpuk di meja Kiai Hasan—kitab-kitab tua yang selalu dianggapnya terlalu kuno untuk masa sekarang. Baginya, dunia ini sudah berkembang jauh melampaui isi buku-buku itu.
Ahmad menatap kitab-kitab tua di meja Kiai Hasan dengan perasaan yang bercampur aduk. "Apa gunanya buku-buku ini sekarang? Dunia sudah melaju begitu cepat, teknologi sudah ada di mana-mana, dan kita masih saja terpaku pada tulisan-tulisan kuno ini," gerutunya dalam hati. Matanya menelusuri sampul-sampul kitab yang mulai menguning. “Apakah semua ini bisa menjawab tantangan zaman sekarang? Di luar sana, orang-orang sudah bicara soal kecerdasan buatan, tentang sains yang terus berkembang, sementara di sini... aku hanya diberi lembaran-lembaran usang.”
Ia merasakan panas di dadanya, seolah sesuatu memberontak dari dalam. "Kenapa Kiai masih bertahan pada semua ini? Tidakkah beliau sadar bahwa dunia di luar pondok ini sudah berubah? Ilmu yang diajarkan di sini terasa seperti batu yang tertinggal di dasar sungai, tak bergerak, sementara arus ilmu pengetahuan modern terus melaju deras." Ahmad menghela napas, menahan gelombang ketidakpuasan yang terus menghantam hatinya. Ada bagian dari dirinya yang ingin membantah, tetapi ia menahannya, merasa belum saatnya mengutarakan semua itu.
"Kalau saja beliau lebih terbuka, mungkin aku bisa belajar lebih banyak," Ahmad bergumam dalam batinnya dengan nada sinis. "Mengapa kita harus terpaku pada masa lalu? Apakah Kiai tidak melihat bahwa dunia sekarang menuntut kita untuk bergerak lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks?" Pikirannya berputar-putar, mencari pembenaran atas rasa kurang hormat yang mulai tumbuh di hatinya. Semakin lama, ia merasa terperangkap dalam ajaran-ajaran yang menurutnya tak lagi relevan.
"Apakah aku harus terus bersikap seperti ini?" Ahmad merenung sejenak. "Tapi bagaimana bisa aku menghormati sesuatu yang menurutku sudah tidak sejalan dengan apa yang dibutuhkan dunia sekarang? Apa gunanya memahami teks-teks lama kalau akhirnya kita hanya tertinggal?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema dalam pikirannya, membawa Ahmad semakin jauh dari rasa hormat yang dulu pernah ia miliki untuk Kiai Hasan.
“Kiai, saya datang karena ingin berbicara tentang ilmu,” kata Ahmad dengan suara pelan, tetapi terkesan menantang.
Kiai Hasan tersenyum tipis, seolah sudah bisa menebak arah percakapan ini. "Ilmu apa yang ingin kau bicarakan, Ahmad?"
Ahmad terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. “Saya ingin tahu, Kiai, mengapa kita harus terus belajar dari kitab-kitab ini? Dunia sudah berubah. Teknologi, pengetahuan modern—semuanya bergerak cepat. Mengapa kita tidak berfokus pada ilmu-ilmu yang relevan dengan zaman sekarang?”
Kiai Hasan menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Ahmad, apakah kau pernah melihat air mengalir di sungai ini?"
Ahmad mengernyit, bingung. "Tentu saja, Kiai. Setiap hari."
"Tapi pernahkah kau benar-benar melihat air itu, Ahmad? Bagaimana ia mengalir, menghanyutkan apa saja yang ada di jalannya, tetapi tetap tenang di permukaan?"
Ahmad terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
“Ilmu, Ahmad, seperti air sungai itu. Ia akan selalu bergerak, selalu mencari jalannya. Tetapi, jika kau hanya melihat air di permukaan, kau tak akan pernah memahami bagaimana arus itu bekerja. Kitab-kitab yang kau anggap kuno ini adalah dasar—akar dari semua pengetahuan yang kau anggap modern. Tanpa memahami akarnya, kau hanya akan hanyut dalam arus yang kau sendiri tak mengerti.”
Ahmad menunduk, merasa terpojok oleh analogi Kiai Hasan. Namun, ego mudanya tak membiarkannya menyerah begitu saja. “Tapi, Kiai,” katanya, sedikit keras, “dunia tidak akan menunggu. Jika kita terus terjebak di masa lalu, bagaimana kita bisa maju?”
“Siapa bilang kita terjebak di masa lalu?” Kiai Hasan tertawa kecil, suara tawanya menggema di ruangan yang tenang. “Ilmu Allah itu luas, Ahmad. Kitab-kitab ini hanya awal. Jika kau memahaminya dengan hati yang tulus, kau akan melihat bahwa semua pengetahuan modern yang kau kagumi itu, semuanya berasal dari sumber yang sama.”
Ahmad terdiam. Hatinya bergejolak. Di satu sisi, ia tahu Kiai Hasan benar. Namun, di sisi lain, dia merasa waktu tak berpihak padanya. Ada dunia besar di luar sana yang menunggunya untuk ditaklukkan. Pikiran-pikiran itu membentur-bentur di kepalanya, mengaduk perasaannya.
"Jadi, apa yang kau inginkan, Ahmad?" tanya Kiai Hasan tiba-tiba, suaranya lembut namun tegas.
"Saya... saya ingin cepat sukses, Kiai," jawab Ahmad jujur. "Saya ingin ilmu yang bisa langsung saya gunakan. Saya ingin... hasil."
Kiai Hasan tersenyum simpul. "Ahmad, kau berbicara seolah-olah ilmu itu adalah barang yang bisa kau jual di pasar. Ilmu bukanlah benda mati. Ia adalah cahaya yang menerangi jalanmu. Tapi kau harus sabar. Ilmu tidak datang saat kau memanggilnya seperti pelayan. Ia datang saat kau siap menerimanya."
Ahmad merasakan dadanya menghangat. Kata-kata Kiai Hasan, meskipun lembut, terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Dalam hati, ia tahu Kiai Hasan benar, tetapi egonya menolak untuk mengakui kekalahan.
“Cahaya, Kiai?” Ahmad mendengus. “Cahaya apa yang Kiai maksud? Semua orang berbicara tentang cahaya ilmu, tapi yang saya lihat hanya kegelapan. Saya belajar, saya berdoa, saya bekerja keras, tapi hasilnya apa? Tidak ada. Saya masih berada di titik yang sama, sementara dunia bergerak maju tanpa saya.”
Kiai Hasan tertawa pelan, kali ini tawanya terdengar sedikit sinis. "Ahmad, kau menunggu hasil dari sesuatu yang bahkan belum kau tanam dengan benar. Kau berharap buah sebelum biji itu menembus tanah."
Ahmad terdiam. Ada rasa sakit yang merayap di dalam dadanya, tapi juga kejujuran yang mulai menyusup pelan-pelan. Tapi hatinya masih keras.
"Waktu terus berjalan, Kiai. Saya tidak bisa menunggu selamanya."
Kiai Hasan bangkit dari kursinya, perlahan berjalan ke arah jendela yang menghadap ke luar, ke arah sawah yang masih dibalut embun pagi. “Waktu memang terus berjalan, Ahmad. Tapi ingatlah ini: Waktu adalah guru terbaik, jika kau tahu caranya mendengar. Kau terburu-buru, padahal mungkin Tuhan ingin kau belajar lebih dulu sebelum kau mendapatkan apa yang kau inginkan.”
Ahmad menggigit bibirnya, merasakan getir yang sulit ditelan. Ia menunduk, menahan desakan di dalam hatinya yang menolak kata-kata Kiai Hasan. Ia tahu bahwa Kiai berbicara dari pengalaman, namun egonya terlalu besar untuk menerima nasihat dengan lapang dada. "Tapi... aku sudah cukup belajar, Kiai," batinnya bersikeras. "Aku siap. Aku bisa lebih cepat dari semua ini." Dalam hati, Ahmad masih merasa bahwa ia bisa melampaui apa yang diajarkan di pondok. Ia ingin segera membuktikan bahwa ia bisa sukses dengan caranya sendiri, tanpa harus melewati jalan panjang yang diajarkan Kiai Hasan. Namun, kata-kata sang Kiai terus bergaung di telinganya, menabur kebingungan di hatinya.
Langkah pertama Ahmad tampak menjanjikan. Ia memulai usahanya dengan penuh percaya diri, mengandalkan modal nekat dan sedikit tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun di pondok. “Ini hanya soal waktu,” pikirnya setiap kali menghadapi hambatan kecil. Namun, kenyataan mulai berbicara lain. Setiap keputusan yang ia ambil tampak selalu salah. Pelanggan yang awalnya antusias mulai berkurang, dan uang yang ia investasikan semakin terkuras. “Mungkin ini hanya fase awal,” gumamnya mencoba menghibur diri, meski jauh di dalam hatinya, keraguan mulai tumbuh.
Satu per satu, rekan-rekannya yang awalnya bersedia bekerja sama, mulai menjauh. Mereka melihat Ahmad terlalu keras kepala dan tidak bisa diajak berdiskusi. Setiap ide dari rekannya selalu ia remehkan. “Aku tahu lebih baik, kalian tinggal mengikuti arahanku,” ucapnya dengan nada sombong saat mereka menyarankan sesuatu. Tanpa ia sadari, kesombongannya menutup pintu bagi nasihat yang mungkin bisa menyelamatkan usahanya. Partner-partnernya merasa tak dihargai, dan sedikit demi sedikit, mereka mundur, meninggalkan Ahmad sendirian mengurus bisnis yang semakin hari semakin runtuh.
Saat Ahmad mulai mencari solusi, ia tergoda untuk memperbesar pinjaman dari bank, yakin bahwa dengan suntikan modal tambahan, ia bisa memutar keadaan. “Dengan uang ini, aku akan menyelamatkan semuanya,” pikirnya. Ia merasa percaya diri bahwa bisnisnya akan kembali berjaya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Uang yang ia pinjam malah tenggelam bersama kesalahan-kesalahan baru yang ia buat. Setiap langkah seolah membawa bencana baru. Produk yang ia luncurkan gagal total di pasaran, sementara biaya operasional terus membengkak. Hutang di bank mulai menggunung, dan ia mulai terjebak dalam lingkaran yang semakin sulit untuk keluar.
Lebih parahnya lagi, kepercayaan orang-orang di sekitarnya mulai memudar. Beberapa mitra yang masih bertahan akhirnya menipu Ahmad. Mereka meninggalkan Ahmad dengan kesepakatan bisnis yang hanya menguntungkan mereka sendiri. Ahmad, yang terlalu percaya diri dan tidak mau membaca kontrak dengan lebih teliti, terjebak dalam permainan licik mereka. Dalam sekejap, sebagian besar modal yang tersisa lenyap begitu saja. “Bagaimana ini bisa terjadi?” pikir Ahmad, matanya terbuka lebar namun masih tak mau mengakui kesalahannya. Rasa malu mulai menggerogoti dirinya, tapi ia tetap berusaha bertahan.
Ahmad mencoba sekali lagi. Kali ini, ia merancang strategi yang lebih berani dan berisiko. "Aku harus mempertaruhkan semuanya. Ini kesempatan terakhir," gumamnya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih bisa mengatasi semua ini. Namun, meski rencana itu tampak solid di atas kertas, Ahmad gagal lagi. Bukan hanya gagal, usahanya kali ini benar-benar hancur. Tidak ada yang tersisa kecuali hutang yang semakin membebani. Rasa percaya dirinya yang dulu menggelembung, kini meletus, meninggalkan kehancuran yang menyesakkan dada.
Setiap malam, Ahmad terjaga dalam kekhawatiran. Telepon dari bank semakin sering datang, menagih pembayaran yang belum ia lakukan. Ahmad semakin bingung dan tertekan. “Apa yang salah? Bukankah aku sudah melakukan yang terbaik?” gumamnya dalam hati, namun ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa kesombongannya telah menuntunnya pada kegagalan demi kegagalan. Setiap kali ia berpikir tentang nasihat orang lain, terutama Kiai Hasan, hatinya terasa bergetar. Rasa menyesal mulai merayapi pikirannya.
Pada puncaknya, Ahmad hampir tidak memiliki apa-apa lagi. Semua yang ia banggakan runtuh, dan orang-orang di sekitarnya sudah tak lagi percaya padanya. Hutang semakin menjerat lehernya, seperti lilitan yang tak terlepas. Dalam kepanikan, ia bahkan mulai berpikir untuk melarikan diri. “Bagaimana kalau aku kabur saja? Aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini,” pikirnya putus asa. Namun, ia tahu bahwa itu hanya akan membuat masalah semakin besar. Ahmad terjebak dalam labirin yang ia buat sendiri, tanpa tahu bagaimana cara keluar.
Di saat-saat paling gelap itu, Ahmad kembali teringat pada pondok. Pada nasihat-nasihat Kiai Hasan yang dulu ia anggap kuno dan tidak relevan. Pada ajaran tentang kesabaran dan kerendahan hati yang selalu ia abaikan. Ahmad mulai menyadari bahwa semua ini adalah akibat dari kesombongannya sendiri. Namun, egonya masih memberontak. “Apa aku benar-benar harus kembali ke sana?” batinnya berperang. Di satu sisi, ia ingin meminta bantuan, tapi di sisi lain, rasa malu masih membebani dirinya.
Pada akhirnya, rasa putus asa mengalahkan egonya. Ahmad tahu bahwa ia tidak bisa terus lari dari kenyataan. Dengan langkah berat, ia memutuskan untuk kembali ke pondok, untuk meminta maaf dan mungkin, jika Kiai Hasan masih bersedia, untuk memulai kembali dari awal. Jalan menuju pondok terasa lebih panjang dari biasanya, setiap langkah dipenuhi dengan rasa malu dan penyesalan yang menyesakkan dada.
Ketika ia sampai di depan pondok, rasa malu dan getir menghantam hatinya. “Apa Kiai masih mau menerimaku setelah semua ini?” gumamnya, ragu-ragu untuk melangkah masuk. Namun, rasa putus asa mengalahkan egonya. Ia mengetuk pintu perlahan. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Kiai Hasan, seperti tak ada yang berubah. Wajahnya tetap tenang, seolah sudah mengetahui apa yang terjadi pada Ahmad bahkan sebelum ia menceritakan semuanya.
“Kiai…,” Ahmad berbisik, hampir tak sanggup berkata. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh juga. “Aku… aku gagal, Kiai. Aku terlalu sombong… Aku pikir aku tahu segalanya, tapi ternyata aku salah.” Ahmad terisak, menumpahkan semua beban yang ia simpan selama ini. Kiai Hasan tetap diam sejenak, membiarkan Ahmad meluapkan perasaannya. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan lembut.
"Ahmad, ilmu itu memang penting, tapi akhlak adalah pondasinya. Tanpa akhlak yang baik, ilmu hanya akan menuntunmu pada kehancuran," kata Kiai Hasan dengan suara yang tenang, namun penuh makna. "Tuhan tidak akan membiarkan kita sukses jika kita belum belajar dengan benar, termasuk belajar rendah hati. Setiap kesalahan yang kau buat, setiap kegagalan yang kau alami, adalah pelajaran yang lebih berharga dari apa pun."
Ahmad mengangguk pelan, menyadari betapa dalam nasihat Kiai Hasan. Saat itu juga, ia merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia menyadari bahwa jalan menuju keberhasilan bukanlah dengan terburu-buru, melainkan dengan kesabaran, ketekunan, dan kerendahan hati. Hari itu, di bawah bimbingan Kiai Hasan, Ahmad memulai perjalanannya yang baru—bukan lagi dengan ambisi yang membara, tetapi dengan hati yang tenang dan penuh kesadaran.
==================================
Laut Jawa, diatas VIP Room Bahari Express, perjalanan Karimun Jawa - Jepara, 18 Oktober 2024 07.00 WIB.
Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri (Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI) yang merupakan pengembangan terbaru dari metode Menemu Baling (Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga).
Comments
Post a Comment