CERPEN 35: DENDAM

KUMPULAN CERPEN TALI BAMBUAPUS GIRI 


CERPEN 35: DENDAM


By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.) 

Pagi itu, embun menari di atas dedaunan, seolah ingin mengingatkan semua makhluk bahwa alam selalu memiliki cara untuk menyembuhkan luka, memberikan kesejukan bahkan pada hati yang paling keruh. Langit menguning perlahan, menyambut datangnya fajar dengan senyum yang tersirat. Di tengah suasana damai itu, Lintang duduk memeluk lutut di pinggir sawah, memandang hamparan hijau yang begitu luas, seolah tak berujung. Hatinya tak setenang pemandangan yang dilihatnya. Badai amarah menggelegak dalam dadanya, seperti lautan yang ingin menghantam karang keras dengan ombak besar.

Lintang bukan gadis yang lemah, tapi hatinya pernah dikhianati. Sejak itu, ia hidup dengan satu tujuan—untuk menjadi kuat, tak akan lagi dipermainkan nasib ataupun orang lain.

“Lintang, kamu ngapain di sini?” suara lembut dan hangat menggema dari belakang. Itu suara Tia, sahabatnya sejak kecil yang kini datang membawa sarapan.

Lintang tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan padi yang bergoyang pelan.

“Cuma berpikir,” jawab Lintang singkat, seolah kata-katanya juga enggan keluar.

Tia duduk di sebelah Lintang, meletakkan bungkusan nasi di atas rerumputan. "Kamu masih mikirin dia?" Tia memandang sahabatnya dengan tatapan penuh empati, memahami betul apa yang Lintang rasakan, meski tak bisa merasakan sebesar itu.

Lintang mendengus pelan. "Dia? Ah, biar angin saja yang membawa namanya. Aku sudah tidak peduli." Namun, di balik kata-kata itu, Tia tahu ada kebohongan yang tersembunyi. Luka itu masih segar, meski Lintang berusaha menutupi dengan berbagai cara.

---

Hari itu datang dengan kilat di langit yang cerah. Lintang mengira kehidupannya dengan Banu sempurna, bagaikan dua sungai yang mengalir berdampingan, saling melengkapi dan menyejukkan dunia mereka. Namun, ternyata, Banu hanyalah racun yang menyebar perlahan. Perselingkuhannya dengan Maya, sahabat Lintang sejak SMP, menghancurkan lebih dari sekadar cinta. Itu menghancurkan rasa percaya, menghancurkan harapan, bahkan menghancurkan bayangan masa depan yang sudah terukir begitu jelas dalam benaknya. Maya, gadis yang selama ini dianggapnya seperti saudara, ternyata adalah serigala berbulu domba, dengan senyum manis yang menyembunyikan niat busuk.

Lintang memandangi Maya saat ia berbicara dengan Banu di sudut sebuah kafe tua. Dari jauh, Maya terlihat seperti malaikat jatuh dari langit, rambut panjangnya yang hitam legam tergerai, matanya yang lebar dan berkilau seolah tak berdosa. “Begitu manis, tapi begitu mematikan,” pikir Lintang sambil mengepalkan tinjunya. Sesuatu di dalam dirinya ingin menghampiri mereka dan merobek topeng kepalsuan itu.

Namun, kenyataannya tak semudah itu. Ketika Lintang mendekat, semua kenangan lama bersama Maya berkelebat di benaknya. Maya yang dulu sering dia bantu mengerjakan PR, Maya yang menangis di pelukannya saat keluarganya berantakan, Maya yang selalu menumpang tidur di rumahnya saat malam-malam panjang penuh masalah. Dan sekarang, Maya yang mencuri Banu dari hidupnya, dari masa depannya.

“Bagaimana mungkin kau tega, Maya? Kau seperti ular yang merayap diam-diam di antara bunga-bunga yang aku tanam,” gumam Lintang dalam hati,  sinis. Tatapan Lintang menusuk mereka berdua. Saat Banu akhirnya menyadari kehadirannya, wajahnya pucat seperti seseorang yang baru saja melihat hantu. Maya, di sisi lain, malah tersenyum tipis, senyum yang bagi Lintang tak lebih dari sebuah ejekan keji.

"Lintang... aku bisa jelaskan," suara Banu terdengar gemetar, mencoba merangkai kata-kata yang tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, bagi Lintang, semua kata-kata itu sudah tidak ada artinya lagi.

“Jelaskan? Jelaskan apa? Bahwa kau berkhianat? Atau bahwa sahabatku ini, yang selalu kuanggap seperti saudara, lebih layak mendapat tempat di hatimu daripada aku?" kata - kata pedas itu meluncur deras dari mulut Lintang. "Kau tahu, Banu, kau tidak lebih dari seorang pecundang pengecut yang tak bisa setia. Dan kau, Maya,” tatapan Lintang beralih tajam ke Maya, “kau iblis bersayap malaikat. Aku mempercayaimu, Maya, aku mencintaimu seperti saudara, tapi kau hanya tahu cara menghancurkan.”

Maya, yang dari tadi duduk diam dengan senyum tipisnya, kini berdiri dan mendekat ke Lintang. “Jangan terlalu drama, Lintang. Dunia ini tidak berputar di sekitarmu. Kalau Banu memilihku, itu karena kau terlalu sibuk dengan mimpimu sendiri. Kau tidak pernah benar-benar ada untuknya.”

Kata-kata Maya adalah seperti pisau yang diputar pelan di dalam luka hati Lintang. Dia merasa amarahnya seperti gunung berapi yang siap meledak. "Tidak ada untuknya?" Lintang tertawa sinis. "Kau pikir aku buta? Kau pikir aku tak tahu bahwa kau sudah merayap di belakangku sejak dulu? Kau selalu ingin apa yang aku punya, Maya. Dan sekarang, kau mendapatkannya. Selamat," ucap Lintang, setiap kata dilontarkan dengan kebencian yang mendalam.

Banu mencoba memotong, “Lintang, ini bukan salahmu. Aku yang salah. Aku… aku bingung.”

“Bingung?” Lintang mendesis, mendekat ke Banu dengan tatapan penuh amarah. “Jangan coba-coba bersembunyi di balik kebingunganmu. Kau hanya pengecut yang tak bisa menghadapi kenyataan. Kau bermain-main dengan dua hati, dan sekarang, lihat apa yang kau dapat.”

Banu hanya menunduk, tak mampu menatap Lintang. Tapi Maya, dengan kesombongannya, malah tersenyum lebih lebar. “Kau seharusnya bersyukur, Lintang. Sekarang kau bebas dari seseorang yang tidak pantas untukmu. Kau terlalu baik untuk Banu, bukan begitu?”

Lintang merasa seolah-olah darahnya mendidih. Dia ingin memukul Maya, ingin meluapkan semua kemarahannya dalam satu pukulan yang bisa membuat Maya merasakan setidaknya sejumput dari rasa sakit yang selama ini dia tahan. Tapi yang dia lakukan hanyalah menatap mereka dengan tajam, mengucapkan kalimat yang membuat mereka terdiam sejenak. “Kalian berdua pantas satu sama lain. Dua manusia yang tak punya hati. Selamat menikmati kebahagiaan yang kalian rampas dariku.”

Dan dengan itu, Lintang berbalik, melangkah pergi meninggalkan mereka, namun tidak dengan hatinya. Hatinya tertinggal, terkoyak di antara luka dan amarah. Dalam hati kecilnya, dendam mulai berakar, merambat kuat, dan dia tahu betul—dendam itu akan tumbuh subur.

Seiring waktu, meski tiga tahun berlalu, rasa sakit itu tidak memudar. Setiap malam, Lintang terjaga, membayangkan wajah Banu dan Maya, dan hatinya selalu kembali berdarah. "Aku tidak akan memaafkan mereka," desisnya, berusaha meyakinkan diri sendiri. Dendam itu memberinya kekuatan, meskipun kekuatan itu palsu. Setiap kali bayangan Maya melintas di benaknya, dia merasa ada kobaran api kecil di dadanya. Api itu menyakitkan, tapi juga menenangkan, seolah mengingatkannya bahwa dia tidak akan pernah menjadi korban lagi.

Namun, jauh di lubuk hati, ada ruang kosong yang terus menghantui Lintang, meski ia tak ingin mengakuinya.

"Kenapa aku bisa sebodoh itu?" batin Lintang berbisik lirih, tetapi penuh sesal terhadap dirinya sendiri. Dulu, senyum Banu seperti sinar matahari di tengah badai, menghangatkannya, memberikan harapan pada setiap langkah yang ia ambil. Tapi kini, senyum itu tak lebih dari racun yang merayap pelan-pelan, menghancurkan setiap jengkal kepercayaan yang pernah ia bangun. "Aku seperti kupu-kupu yang terbang menuju api, dan sekarang lihat apa yang terjadi. Sayapku hangus, hatiku terbakar," pikirnya dengan getir. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Lintang ingin sekali berlari menjauh pada detik pertama dia melihat Banu.

Dia ingat setiap momen ketika hatinya begitu terbuka untuk Banu, seperti sebuah rumah tanpa pintu yang mengundang siapa saja untuk masuk. Lintang membiarkan dirinya tenggelam dalam pesona Banu, seolah Banu adalah lautan yang menenangkan, padahal sebenarnya dia adalah badai yang siap menghempas kapan saja. "Aku memberikan hatiku sepenuhnya. Dan apa yang dia berikan? Pengkhianatan yang tak berujung," Lintang meremas tangannya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat seiring dengan kemarahan yang membara di dalam dirinya. Bagaimana bisa dia begitu bodoh, begitu lemah?

"Kalau saja aku tak pernah mencintainya," pikir Lintang dengan getir. Cinta, kata yang dulu begitu manis di bibirnya, kini terasa seperti pasir di tenggorokan. Terasa kering, menyesakkan, dan tak bisa ditelan. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada seorang pria yang ternyata serigala berbulu domba? Ia merasa seolah-olah cintanya adalah jerat yang ia pasang sendiri di lehernya, dan Banu dengan kejam menarik talinya, membuatnya tercekik dalam rasa sakit. "Mengapa aku harus mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar mencintaiku? Aku seperti orang bodoh yang berdiri di depan cermin retak, berharap cermin itu bisa memperbaiki dirinya sendiri."

Ada saat-saat ketika Lintang mencoba mencari alasan untuk membenarkan apa yang dia rasakan. Mungkin, pikirnya, Banu pernah benar-benar mencintainya, hanya saja waktu yang merubahnya. Tapi kemudian, suara di dalam kepalanya berbisik, penuh dengan sinisme yang tajam, "Cinta? Ha! Kalau dia tahu apa itu cinta, dia tidak akan menusukmu dari belakang. Dia tidak akan berlari ke pelukan sahabatmu dengan senyum lebar di wajahnya." Dulu, Banu adalah pahlawan dalam dunianya, tetapi sekarang Lintang tahu, dia tidak lebih dari seorang pengkhianat berkedok kesetiaan.

"Seharusnya aku tahu," gumam Lintang, suaranya penuh penyesalan. Semua tanda-tanda sudah ada di depan matanya, tapi ia memilih untuk membutakan diri. Setiap pelukan, setiap janji, setiap tatapan mesra, semuanya palsu. "Aku seperti anak kecil yang bermain dengan api, dan sekarang aku terbakar habis. Tidak ada yang tersisa dariku selain abu. Cinta yang dulu menghangatkanku kini meninggalkanku dengan luka yang tak mungkin sembuh."

Lintang memandang dirinya di cermin. Matanya yang dulu bersinar penuh kebahagiaan, kini terlihat kosong, seperti cermin tanpa pantulan. Tubuhnya yang dulu penuh semangat, kini hanya terasa seperti beban yang harus dipikul. Bahkan, gaun putih yang dikenakannya pagi ini terasa seperti kain pembungkus mayat; mati rasa, tanpa makna.

"Lihatlah kamu sekarang, Lintang. Apa yang tersisa?" hatinya mulai berbisik sinis lagi. "Kamu pikir bisa menjadi kuat hanya dengan menyimpan dendam? Lihatlah, kamu malah kehilangan dirimu sendiri."

Dalam keheningan kamar, terdengar suara tangisan halus, suara yang bahkan tidak disadari Lintang. Sebuah air mata jatuh di pipinya, menelusuri lekuk wajahnya yang indah namun penuh luka.

"Apakah aku benar-benar sekuat itu?" Lintang bertanya pada bayangannya sendiri.


---

Pagi itu, Lintang kembali melintasi jalan setapak menuju desa, jalur yang sudah akrab di matanya namun terasa berbeda sejak pertemuannya dengan Pakde Bismo, family jauh dari ayanya. Angin yang biasanya terasa sejuk kini berembus dengan perasaan asing di hatinya, mengaduk emosi yang selama ini ia simpan rapat. Saat ia melihat sosok Pakde Bismo dari kejauhan, pria tua yang sering terlihat merawat kebun keluarganya, entah mengapa Lintang merasa tertarik untuk menghampirinya. Ada sesuatu dalam tatapan damai pria tua itu, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang dunia yang Pakde Bismo pandang dengan penuh ketenangan.

Lintang berhenti sejenak di depan pagar kebun, mengamati pria tua yang sedang memotong ranting-ranting kering. "Assalamualaikum , Pakde," sapa Lintang sambil tersenyum tipis. Pakde Bismo menoleh, dan meskipun wajahnya dipenuhi kerutan usia, senyum hangat itu selalu membuat Lintang merasa ada kelegaan yang sulit dijelaskan.

"Waalaikumsalam, Nduk. Apa yang membawamu ke sini pagi-pagi begini?" tanya Pakde Bismo sambil mengelap keringat di dahinya.

Lintang duduk di dekatnya, mencoba meredam gejolak yang sudah lama membakar hatinya. "Saya tidak tahu, Pakde. Mungkin saya hanya... butuh tempat untuk berdiam diri sebentar," jawabnya dengan suara yang hampir berbisik. Pakde Bismo hanya mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke hamparan sawah yang terhampar luas di depan mereka. 

Lintang menghabiskan beberapa menit dalam kebisuan, hanya duduk dan memandang kosong ke arah sawah. Pakde Bismo memperhatikan wajahnya dengan penuh keprihatinan. Ada sesuatu di mata Lintang yang tak bisa ia abaikan—sebuah bayangan gelap yang menggantung di sana. Raut wajah gadis itu, yang tampaknya tengah diliputi beban berat, mengingatkannya pada seseorang yang dulu pernah ia kenal. Seseorang yang menyimpan rasa sakit dan kebencian begitu lama, hingga akhirnya hancur oleh dendamnya sendiri.

“Kamu terlihat seperti seseorang yang tengah memikul dunia di pundakmu, Nduk,” kata Pakde Bismo perlahan, mencoba membuka percakapan.

Lintang menoleh, terkejut dengan pernyataan itu. “Apa maksud Pakde?” tanyanya, meski sebenarnya dia tahu ke mana arah pembicaraan itu.

Pakde Bismo menatapnya dengan pandangan yang tenang namun penuh makna. “Aku sudah sering melihat orang yang memendam amarah, rasa sakit yang mendalam. Biasanya mereka seperti kamu—terlihat tenang di luar, tapi di dalam, ada badai yang tidak kunjung reda. Apakah ada seseorang yang membuatmu terluka begitu dalam?” tanyanya lembut namun tegas.

Lintang tertunduk. Jari-jarinya meremas ujung rok yang ia kenakan, berusaha menahan gemuruh emosi yang mulai bangkit. “Bagaimana Pakde tahu?” suaranya nyaris tak terdengar.

Pakde Bismo tersenyum samar, sebuah senyum yang menandakan bahwa ia telah melihat banyak hal dalam hidupnya. "Orang tua seperti saya ini, Nduk, bisa merasakan ketika hati seseorang dipenuhi oleh sesuatu yang tidak baik. Kamu bisa menyembunyikan luka dari dunia, tapi tidak dari diri sendiri. Dan terkadang, orang lain pun bisa melihatnya."

Pakde Bismo memandang lekat-lekat wajah Lintang yang tertunduk. Pakde Bismo melanjutkan. "Kehidupan ini, Nduk, kadang seperti sawah ini. Tenang dan damai di permukaan, tapi di bawahnya, ada akar-akar kuat yang terus bekerja, meresap, dan menyerap kehidupan dari tanah. Tapi kalau kita terus membuang racun ke dalam tanah itu, apa yang terjadi? Akar-akar itu akan mati, dan sawah ini tidak akan lagi berbuah," katanya sambil tersenyum.

Lintang termenung, merasa seperti akar-akar itu adalah dirinya sendiri—dia telah membiarkan hatinya menyerap racun dendam dan kebencian selama ini. "Apa maksud Pakde? Apakah dendam itu benar-benar bisa merusak hidup seseorang seburuk itu?" tanyanya dengan nada sinis, seolah tidak percaya bahwa perasaannya selama ini bisa dianggap sebagai racun.

Pakde Bismo menghela napas panjang, matanya menatap ke kejauhan, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Menyimpan dendam di hati itu, Lintang, seperti melemparkan batu beracun ke danau yang jernih setiap hari. Terus menerus. Setiap batu yang kau lempar adalah sumber petaka. Awalnya mungkin danau itu masih bening, tapi lama-kelamaan, airnya akan tercemar, danau yang dulu indah itu akan berubah menjadi kubangan hitam yang tidak bisa menopang kehidupan lagi. Bahkan jika airnya terus digunakan akibatnya bisa fatal"

Lintang terdiam, hatinya terguncang. Kata-kata Pakde Bismo mengingatkannya pada bagaimana setiap hari, ia membiarkan kebencian terhadap Banu menggerogoti dirinya. "Tapi Pak, bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua yang telah dia lakukan? Aku tidak bisa begitu saja melepaskan semuanya. Dia... dia menghancurkan hidupku," kata Lintang dengan nada getir, hampir menangis.

Pakde Bismo tersenyum pahit, seolah telah mendengar ratusan cerita serupa dari orang lain. "Ketika kamu menyimpan amarah karena dendam, Nduk, kamu seperti menyimpan sampah busuk di dalam hatimu. Bau busuknya mungkin tidak kamu sadari, tapi lama-kelamaan, itu akan memenuhi setiap sudut hidupmu, membuatmu tak bisa bernapas dengan lega. Kau ingin menghukum Banu? Tetapi sebenarnya kau hanya menghukum dirimu sendiri."

Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Lintang. Benarkah selama ini ia telah menghukum dirinya sendiri dengan menyimpan dendam? Lintang merasakan hatinya seperti dihantam badai, gemuruh di dalamnya semakin sulit dikendalikan. "Jadi apa yang harus aku lakukan, Pak? Bagaimana aku bisa hidup dengan semua rasa sakit ini?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh emosi yang tertahan.

Pakde Bismo menatapnya lembut. "Hidup ini, Nduk, seperti menanam padi. Kau harus menyiramnya dengan air yang bersih, bukan air kotor. Kalau kau terus menyiram hidupmu dengan air kebencian, yang tumbuh hanya gulma, bukan padi yang bisa kau panen di kemudian hari. Jangan biarkan racun dendam merusak sawah kehidupanmu. Mulailah menyiraminya dengan kebaikan, meski itu terasa sulit."


Lintang merasa perutnya mual mendengar itu, seolah ada sesuatu yang ingin ia muntahkan. "Bagaimana bisa aku memaafkan seseorang yang menghancurkanku, Pakde? Itu... itu seperti meminta seseorang untuk memeluk api," jawabnya dengan kata-kata yang tajam, hatinya bergolak antara ingin memaafkan dan terus mempertahankan dendam yang selama ini ia pelihara. Pakde Bismo menghela nafas panjang dan  geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan aktivitasnya. 



---


Hari-hari berlalu, dan Lintang mulai merenungi apa yang dikatakan Pakde Bismo. Ia memutuskan untuk bertemu Banu sekali lagi, bukan untuk balas dendam, tetapi untuk menyelesaikan semua yang pernah terjadi.


Hari itu tiba. Lintang berdiri di depan pintu rumah Banu, mengenakan baju sederhana, jilbabnya tertata rapi. Tidak ada lagi amarah yang meledak-ledak seperti dulu. Kali ini, ia hanya ingin kedamaian.


Banu membukakan pintu, dan saat melihat Lintang, wajahnya berubah tegang. "Lintang? Kamu ngapain ke sini?"


Lintang menatap Banu dalam-dalam, mata mereka bertemu dalam hening yang menyesakkan. “Aku ke sini bukan untuk bertengkar, Banu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal.”


Banu diam, tidak tahu harus berkata apa.


“Dulu, kamu hancurkan hati aku, Banu. Aku menyimpan dendam, membiarkannya membusuk di dalam hati. Tapi aku sadar, itu semua hanya melukai diriku sendiri.” Suara Lintang pelan, tapi jelas. "Aku ke sini untuk bilang, aku sudah memaafkanmu."


Banu tertegun, wajahnya pucat. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya pada Lintang adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya, dan mendengar kata-kata maaf itu, seolah bumi berhenti berputar.


Lintang tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung kepahitan masa lalu, tapi juga kebebasan dari rantai dendam yang mengikatnya selama ini.


"Selamat tinggal, Banu," ucapnya pelan sebelum membalikkan badan dan berjalan pergi.


Dan saat itu, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Lintang merasa ringan. Beban yang selama ini menggelayuti hatinya, perlahan menghilang. Ia tahu, mungkin dendam itu masih akan muncul dari waktu ke waktu, tetapi ia tak lagi membiarkannya menguasai dirinya.



---


Langit sore itu berwarna oranye, seolah-olah matahari pun mengucapkan selamat tinggal pada segala kebencian yang pernah ada di dunia.


==================================

Hotel D,’Season, Karimun Jawa, 17 Oktober 2024, 11.00 WIB. 

Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri (Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI) yang merupakan pengembangan terbaru dari metode Menemu Baling (Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga). 


Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS