CERPEN 30: JEJAK DI ANTARA LANGKAH
By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Jono menggenggam erat telepon genggamnya, jemarinya sedikit bergetar. Dia memberanikan diri untuk menghubungi contact person panitia pelatihan, seorang wanita pegawai Disdik yang dikenal bernama Bu Luluk.
Pikirannya melayang-layang, mengingat betapa pentingnya panggilan mengikuti capacity building ini. Di tengah kesibukannya sebagai guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Plantungan Kendal, Jono tidak ingin sekadar hadir dalam pelatihan ini—ini adalah peluang baginya untuk mendapatkan asupan ilmu baru, sekaligus menemukan sesuatu yang sudah lama ia incar: celana padding untuk sepedanya.
"Assalamualaikum, Bu Luluk," sapanya dengan nada sopan.
"Walaikumsalam, Pak Jono," suara hangat dan ramah Luluk terdengar dari balik telepon, dengan sentuhan tegas yang khas. "Apakah Anda siap untuk mengikuti pelatihan di Salatiga?"
"Siap, Bu. Saya menggantikan teman saya yang mendadak ada urusan kuliah S2-nya. Semoga saya bisa banyak belajar di sana," jawab Jono antusias. "Dan kebetulan, saya juga ingin mencari celana padding sepeda yang nyaman. Celana saya yang lama sudah tipis dan tidak nyaman lagi."
Luluk tertawa kecil, "Wah, itu namanya menyelam sambil minum air. Belajar sambil belanja."
Jono tersenyum, meski Luluk tidak bisa melihatnya. Panggilan itu berakhir dengan janji untuk bertemu di tempat pelatihan. Setelah menutup telepon, Jono menatap cermin di kamarnya. Wajahnya terpancar campuran antara kegugupan dan antisipasi. Ini bukan sekadar pelatihan biasa baginya, ini adalah kesempatan untuk memperbarui diri.
---
Hari pelatihan tiba. Ballroom utama di Grand Wahid Hotel Salatiga dipenuhi dengan deretan kursi rapi yang menunggu para peserta. Jono berdiri di pintu masuk, merasakan sedikit getaran di dadanya. Ruangan besar itu terasa sangat megah, namun di balik kemegahannya, ada rasa hangat yang memanggil. Jono menarik napas dalam, membiarkan udara sejuk Salatiga meresap ke dalam tubuhnya.
Peserta dengan tertib menempatkan diri di kursi-kursi yang sudah tersedia. Di atas panggung, berdirilah Dr. MRT—pria yang sosoknya telah menjadi buah bibir di kalangan pendidik.
"Selamat datang," sapa Dr. MRT dengan suara yang berat dan dalam, mengisi setiap sudut ruangan. "Apakah semua siap untuk belajar bersama hari ini?” tanyanya penuh semangat dan disambut antusias oleh peserta. “Menurut berbagai riset di Universitas ternama seperti Harvard dan Stamford University, pembelajar yang berbahagia adalah pembelajar yang efektif. Oleh karenanya mari kita mulai pembelajaran ini dengan energizing agar kita semua berbahagia,“ sambungnya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Jono duduk di barisan tengah, tidak ingin terlalu mencolok namun cukup dekat untuk menyerap setiap kata dari sosok yang berdiri di panggung. Sebelum memulai materi pelatihan, Dr. MRT memperkenalkan diri, sebuah perkenalan yang berbeda dari yang pernah Jono dengar sebelumnya.
"Bagi yang belum mengenal saya, nama saya Dr. MRT, yang merupakan singkatan dari Mampuono R. Tomoredjo. Silakan anda nikmati animasi 3D berbasis AI yang menampilkan profil saya di YouTube ini," ucapnya sambil tersenyum simpul. “Saya menerjuni pengajaran teknologi dan bahasa Inggris, tetapi dulunya saya adalah seorang guru kimia di sekolah internasional.” Para peserta tampak terkejut, beberapa bahkan saling berbisik satu sama lain.
Jono mendengar cerita itu dengan penuh rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang guru kimia kini menjadi pembicara dalam pelatihan bahasa Inggris? Di benaknya, tumbuh rasa skeptis yang semakin menebal. Bagaimana mungkin seorang yang berlatar belakang ilmu kimia bisa fasih berbicara tentang bahasa, apalagi menjadi narasumber di bidang IT dan bahasa Inggris? Rasa tidak percaya itu seperti kabut tebal yang menyelimuti pikirannya, menahan keyakinan yang mungkin tumbuh dari cerita Dr. MRT.
Namun, setiap kata yang meluncur dari bibir Dr. MRT seolah membawa angin yang perlahan-lahan berusaha menghalau kabut tersebut.
"Saya beralih ke dunia pembelajaran bahasa karena suatu pengalaman yang sangat berkesan. Saat saya berada di London, saya bertemu seorang pria yang sayangnya sudah tidak waras, berjalan sendirian di jalanan sambil berbicara sendiri. Meski pikirannya telah terganggu, yang mengejutkan saya adalah betapa fasihnya dia berbicara dalam bahasa Inggris. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin, di tengah kondisi mental yang kacau, bahasa tetap keluar dari mulutnya dengan lancar?"
Ruangan hening. Cerita yang disampaikan Dr. MRT itu seperti petir di siang bolong, menyambar hati dan pikiran Jono dengan tiba-tiba. Namun, di balik keheningan itu, badai kecil tetap berputar di benak Jono. Bagaimana mungkin seorang guru kimia bisa tiba-tiba menjadi ahli dalam bahasa Inggris dan teknologi? Itu terdengar terlalu sempurna, hampir seperti dongeng belaka. Jono menatap narasumber dengan sinis, mempertanyakan segala yang dikatakan. Ia berpikir, "Ah, mungkin saja ini hanya cerita yang dibesar-besarkan. Mungkin dia ingin terlihat hebat di depan kita semua. dengan kebohongan dan pemberitaan yang dilebih-lebihkan."
Jono tidak bisa menahan pikirannya yang semakin mengarah pada pessimismo. "Siapa yang tahu? Bisa jadi semua ini hanya bualan narasumber untuk membuat dirinya tampak lebih berprestasi dari yang sebenarnya. Dari seorang guru kimia menjadi pembicara internasional? Apa yang membuatnya begitu istimewa? Kenapa harus dia?" pikirnya. Di dalam hati, Jono mencemooh, membayangkan narasumber sedang membangun panggung besar bagi egonya sendiri. "Apa ini semacam trik untuk membuat kami percaya bahwa segala sesuatu mungkin terjadi? Terlalu muluk! Bahkan beberapa NGO international pun, seolah-olah, mengirimnya ke luar negeri setiap tahun? Seperti cerita Cinderella yang dimodernisasi."
Dengan nada skeptic dalam pikirannya, Jono membayangkan narasumber sedang menenun cerita penuh keajaiban. "Ini bukan seminar, ini lebih mirip pertunjukan drama," desisnya dalam hati. Setiap kalimat Dr. MRT terasa seperti lembaran iklan yang mengagungkan prestasinya. Jono nyaris merasa ingin tertawa, tapi ia menahannya, tak ingin menunjukkan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.
Namun, ketika Dr. MRT melanjutkan ceritanya, semakin banyak bukti nyata yang terungkap. Prestasi-prestasi yang disebutkannya bukan sekadar angan-angan. Beberapa peserta lain mengangguk, mengakui bahwa mereka pernah mendengar cerita tersebut sebelumnya dari sumber yang dapat dipercaya. Jono diam-diam memperhatikan raut wajah Dr. MRT yang tenang dan penuh keyakinan, tanpa sedikit pun tanda-tanda bahwa ia tengah membesar-besarkan sesuatu.
Puncak dari ketidakpercayaannya mulai bergeser ketika Dr. MRT menunjukkan beberapa bukti—foto-foto, sertifikat, dan bahkan video dari kegiatan internasional yang ia ikuti. Mata Jono terpaku pada layar, dan perlahan-lahan, keraguan yang sempat menguasai pikirannya mulai melebur. Seperti puzzle yang mulai tersusun sempurna, setiap potongan informasi yang disampaikan Dr. MRT seolah semakin menyatu, menciptakan gambaran yang tak bisa disangkal lagi.
“Ini nyata,” pikir Jono dengan berat hati. “Cerita ini bukan sekadar retorika belaka, tapi kisah yang benar-benar terjadi.”
Hatinya yang semula penuh sinisme dan kecurigaan, kini mulai diliputi oleh rasa kagum yang perlahan merayap ke dalam benaknya. Badai sinisme yang berputar di kepalanya perlahan mereda, digantikan oleh pemahaman bahwa Dr. MRT bukan hanya berbicara tentang dirinya sendiri—ia sedang menunjukkan kepada semua orang bahwa batasan itu sering kali hanya diciptakan oleh ketakutan kita sendiri.
Jono terdiam. Bukti-bukti di depan matanya tak bisa lagi ia abaikan. Dalam keheningan ruangan yang sama, Jono kini tak hanya mendengar dengan telinga, tetapi juga dengan hatinya. "Mungkin ini bukan kebohongan," ia mengakui dalam hati. "Mungkin, justru aku yang terlalu cepat menghakimi."
Dengan perenungan dalam pikirannya, Jono akhirnya menerima satu kenyataan: Dr. MRT telah melampaui batasan-batasan yang ia bayangkan, bukan dengan trik atau kebohongan, melainkan dengan kerja keras dan dedikasi yang nyata.
Dr. MRT melanjutkan dengan tenang, “Saya bukan seorang ahli IT, tapi saya percaya bahwa teknologi, seperti halnya bahasa, adalah sayap yang bisa membawa kita terbang lebih tinggi. Ketika saya kembali ke Indonesia, saya memutuskan untuk menggali lebih dalam. Saya percaya bahwa kemampuan bahasa yang terinternalisasi di otak seseorang tidak akan hilang begitu saja. Dari sinilah saya merancang metode pembelajaran Raning Drama atau Pikiran Inggris didukung Realitas Maya, yang menggabungkan teori-teori skemata, konstruktivisme, dan linguistik dengan teknologi virtual reality dan kecerdasan buatan.”
Jono mengerutkan kening. Teknologi virtual reality? Kecerdasan buatan? Rasanya itu terdengar terlalu rumit untuk dipadukan dalam pembelajaran bahasa. Namun semakin lama ia mendengarkan, semakin jelaslah bahwa Dr. MRT memang benar-benar menguasai bidangnya. Ia berbicara tentang teknologi IT dengan kefasihan yang mengejutkan, seolah teknologi itu hanya permainan anak-anak.
"Saya selalu percaya," lanjut Dr. MRT, "kalau anak-anak TK bisa bermain gadget dengan mudah, kita, yang lebih dewasa, tentu bisa menguasai IT jika kita sungguh-sungguh belajar."
Hati Jono tersentuh. Kata-kata itu menohoknya. Ia merasa malu atas keraguannya. Dr. MRT, yang bukan seorang ahli IT atau bahasa Inggris pada awalnya, telah mencapai puncak keahlian yang tinggi. Bagaimana mungkin ia meragukan seseorang yang telah membuktikan kemampuannya hingga ke tingkat nasional dan internasional?
"Sebelum pandemi Covid-19 menghantam kita di tahun 2020," lanjut Dr. MRT, "saya sering dikirim ke luar negeri oleh British Council, mewakili guru-guru bahasa Inggris dari Indonesia. Padahal, saya bukan guru bahasa Inggris asli. Namun, saya berhasil membuktikan bahwa dengan mempelajari teknologi dan bahasa Inggris secara mendalam, saya bisa meraih banyak prestasi. Setiap tahun, saya menghadiri berbagai event di luar negeri, berbagi pengetahuan tentang pembelajaran berbasis teknologi dan bahasa."
Mata Jono melebar. Bagaimana bisa seseorang yang bukan guru bahasa Inggris asli begitu sering dikirim ke luar negeri oleh lembaga internasional seperti British Council? Ia merasa bahwa Dr. MRT bukan sekadar pembicara biasa. Dia adalah bukti nyata bahwa dengan kemauan dan tekad, siapa pun bisa mencapai puncak di bidang yang mungkin tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti seekor burung yang terbang tinggi dengan sayap-sayap yang kuat, Dr. MRT menggunakan dua keterampilan—IT dan bahasa Inggris—untuk melintasi cakrawala yang lebih luas.
Penjelasan Dr. MRT tentang Metode Raning Drama terdengar futuristik, seolah-olah berasal dari film fiksi ilmiah. Menggabungkan teknologi virtual reality dan kecerdasan buatan, siswa tidak hanya belajar bahasa secara konvensional, tetapi benar-benar hidup dalam bahasa itu. Dengan cara ini, siswa dapat merasakan dunia nyata dalam konteks bahasa yang mereka pelajari—sesuatu yang jauh dari metode tradisional.
Sesi praktek berlanjut dengan penggunaan perangkat virtual reality. Para peserta diajak ‘berjalan’ di kota-kota berbahasa Inggris, seperti London dan New York, seolah mereka benar-benar berada di sana. Mata para peserta berbinar saat merasakan pengalaman belajar yang sepenuhnya baru ini. Teknologi telah membuka pintu yang selama ini tertutup bagi banyak guru seperti dirinya.
Selama sesi praktek, Jono mulai merasa bahwa dunia yang diperlihatkan oleh Dr. MRT bukanlah sekadar angan-angan. Teknologi AI dan virtual reality yang dipadukan dengan bahasa Inggris benar-benar membawa peserta ke dalam dimensi pembelajaran baru.
Jono mendapat giliran mengenakan perangkat virtual reality. Pandangannya seketika berubah—ia seolah-olah berada di tengah kota New York, sebuah tempat yang sudah lama menjadi impiannya untuk dikunjungi. Dia berinteraksi dengan lingkungan yang sepenuhnya berlevel internasional dengan bahasa Inggris sebagai pengantar. Jono dengan avatarnya sebenarnya masuk ke dunia virtual reality social media yang menjadi tempat berkumpul avatar orang-orang dari seluruh dunia yang menggunakan platform itu untuk saling berinteraksi.
Jono benar-benar merasakan duduk bersama dengan teman-teman yang baru saja dikenalnya dari berbagai belahan dunia di sebuah balkon hotel yang berdekatan dengan Patung Liberty di Inggris. Karena imersivitas yang tinggi, dengan pandangan 360 derajat dengan avatarnya, dia betul-betul merasa sebagai dirinya sendiri dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang-orang asing. Meskipun ia tahu dirinya hanya berada di dalam ruangan pelatihan dan yang berada dalam pandangan matanya adalah avatar, namun semua terasa nyata—dan itu membuka matanya. "Kalau ini diterapkan di sekolah," gumamnya pelan, "anak-anak tidak akan takut lagi belajar bahasa Inggris. Lagian ternyata alatnya sangat murah. Hmmm.. "
Namun, di balik kekaguman itu, konflik batin dalam diri Jono masih bergolak. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah mungkin untuk mencapai tingkatan seperti Dr. MRT? Apakah mungkin bagi dirinya, yang terbiasa dengan cara konvensional, untuk menembus batas dan menggabungkan dua dunia yang berbeda—bahasa dan teknologi? Jono tahu, untuk mencapai level itu, butuh ketekunan luar biasa.
Jono masih duduk di bangkunya, matanya fokus pada Dr. MRT, meskipun pikirannya masih bergulat dengan konflik batinnya. Sebuah pertarungan batin yang tak kunjung reda. Di satu sisi, ia ingin tetap berpegang pada keraguannya—bagaimana bisa seorang guru kimia kini berbicara begitu fasih tentang bahasa Inggris dan teknologi? Namun, di sisi lain, kenyataan di hadapannya begitu kuat. Dr. MRT berbicara dengan penuh keyakinan, membawa bukti-bukti nyata dari pengalaman dan prestasi yang telah ia raih.
Seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang, Jono dihadapkan pada pilihan: tetap berada di zona nyaman dengan pandangannya yang skeptis atau melompat ke dalam lautan keyakinan, membuka diri untuk hal-hal baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ketika waktu istirahat tiba, Jono keluar dari aula dengan langkah yang lebih ringan. Ia berjalan menuju sebuah toko, pikirannya masih dipenuhi dengan materi yang baru saja ia terima. Namun, saat ia melangkah di trotoar, muncul bayangan lain yang mengganggu pikirannya: keinginannya yang sudah lama tertunda untuk membeli celana padding sepeda yang nyaman.
Ia tersenyum sendiri, merasa lucu bahwa di tengah-tengah pemikiran tentang masa depan pendidikan, ia masih memikirkan hal sederhana seperti celana sepeda. Namun, bahkan di momen tersebut, Jono merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Celana padding mungkin penting untuk kenyamanan fisiknya, tetapi ide-ide yang baru saja ia pelajari dari Dr. MRT terasa jauh lebih penting dan lebih mendesak.
"Celana padding bisa menunggu," pikir Jono, "tapi ide-ide ini... ini adalah masa depan pendidikan."
Dengan langkah yang mantap, Jono kembali ke aula. Celana yang dulu ia dambakan kini terasa tidak sepenting penemuan besar yang baru saja ia alami. Dalam pikirannya, ia mulai menyusun rencana untuk membawa teknologi ini ke sekolahnya, untuk membantu siswa-siswa mengatasi ketakutan mereka dalam belajar bahasa Inggris, seperti yang dialami banyak anak di Indonesia.
Langit sore tampak seperti kain sutra yang perlahan-lahan menutup hari, melambangkan kedamaian yang menyelimuti dirinya. Di balik perjalanan kecilnya menuju toko, ada pelajaran besar yang ia bawa pulang—pelajaran tentang bagaimana bahasa bisa diinternalisasi dengan metode baru, dan bagaimana setiap langkah kecil yang diambil, sekecil apapun itu, bisa membawa kita menuju tujuan yang lebih besar.
Dan dalam keheningan itu, Jono berbisik pada dirinya sendiri, “Mungkin, jika aku bisa melepaskan batasan ini, aku juga bisa terbang tinggi, seperti Dr. MRT.”
Ia tersenyum saat ia berjalan perlahan kembali ke aula, siap untuk menerima pelatihan selanjutnya dengan hati yang lebih terbuka. Di balik keraguan yang sempat melingkupinya, kini tumbuh keyakinan baru bahwa setiap perubahan besar dimulai dari langkah kecil—dan setiap sayap yang kuat dimulai dari niat untuk terus belajar.
==================================
Srondol Kulon, Semarang, 3 Oktober 2024 Ditulis dengan *Strategi Tali Bambuapus Giri* - _Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI._ yang merupakan pengembangan Metode Menemu Baling _ Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga.
Inspired by Pak Pujiono, guru bahasa Inggris SMP Negeri 1 Plantungan, Kendal.
Comments
Post a Comment