THE STORY OF KUPAT GLABED

By: Mampuono

Kupat Glabed? _What is that?_ Barangkali itulah pertanyaan yang terlintas di dalam kepala kita ketika pertama kali mendengarnya. _What's next?_

Malam ini aku memang sengaja menginap di salah satu hotel di Brebes. Selepas mengisi kegiatan motivasi dan  peningkatan  kompetensi para guru di SMA 1 seharian aku memutuskan untuk beristirahat saja. Sebenarnya masih ada kereta yang bisa membawa aku pulang, namun jika aku harus  ke Semarang, kereta yang dari Brebes baru akan sampai di Semarang sekitar pukul 22.00, padahal besoknya aku harus kembali mengisi kegiatan di salah satu SD di Brebes pagi-pagi. Jadi, beristirahat jauh lebih baik untuk menyiapkan kegiatan esok hari. 

Nah, seorang sahabat baik yang juga mengajar di SMA Negeri 1 Brebes menawarkan diri untuk mengantar sampai ke hotel dan malamnya akan menjemput untuk diajak keliling kota. Selepas Isya, sebuah Toyota Rush sudah menunggu di depan hotel. Pengendaranya tak lain adalah Pak Jufri, sahabatku itu. 

Dengan memakai baju santai dan celana jeans yang rapi serta jaket kulit yang tidak kalah trendy, pria berusia 55 tahun itu menyambutku dengan ceria. Setelah berbasa-basi sebentar ia langsung mengajakku berangkat berkeliling kota.

Aku sudah sering ke Brebes, tetapi biasanya hanya berhenti di penginapan dan sekolah di mana diadakan kegiatan. Jika pun keluar dari hotel, paling-paling hanya berjalan ke sekitar alun-alun untuk membeli makanan khas Brebes seperti telur asin bakar atau sate blengong. Sate ini mirip dengan sate ayam tetapi dagingnya lebih liat. Konon sate ini  bahan bakunya adalah daging unggas yang merupakan hasil buah cinta antara  itik dan mentok.

Kali ini Pak Jufri menawariku untuk berkeliling lebih jauh. Aku ikut saja ketika mobil yang dikendarainya bergerak ke arah timur. Kurang lebih 30 menit kemudian sampailah kami  di sebuah lapangan luas di depan masjid. Masjid agung dengan menara-menaranya yang tinggi menjulang anggun dan indah Itu tampak seperti menjaga hingar-bingar lapangan didepannya yang dipenuhi dengan lampu-lampu penerang berwarna-warni.

"Ini adalah alun-alun kota Tegal Pak. Walikotanya adalah murid saya. Sejak dia pegang, pembangunan berjalan dengan pesat, kata Pak Jufri dengan bangga.   "Ayo kita bergerak mengelilingi alun-alun," katanya lagi. 

Seorang tukang parkir yang kelihatan dekil dan  tanpa alas kaki tampak menghampiri dan bersalaman dengannya dengan akrab. Rupanya mereka teman di masa muda. Nasib agaknya membawa kepada arah kehidupan yang berbeda. Si tukang parkir dulunya dikenal sebagai anak bandel yang kemudian menjadi preman. Energi keberanian dan kenekatannya di masa muda yang ia gunakan dengan kurang hati-hati membuatnya harus menjalani hidup dengan penuh keprihatinan di masa tua.  Sedangkan temannya, yang rajin belajar, patuh sama orang tua, tidak sombong dan suka menabung, serta membuang sampah pada tempatnya, sekarang menjadi seorang guru sekaligus dosen di 2 universitas.  Ia juga memiliki rumah yang bagus dan kendaraan yang  tidak kalah bagusnya.

"Pak kita  ke alun-alun lalu berkeliling lebih jauh lagi ya," kata Pak Jufri sambil menaiki anak tangga setinggi kurang lebih satu meter ke arah alun-alun. Alun-alun kota Tegal memang ditempatkan di dataran yang posisinya lebih atas dari jalan raya. Di tepi lapangan berbentuk lingkaran itu dibangun area untuk pejalan kaki yang terbuat dari batu granit. Area dengan kombinasi warna gelap terang itu lebarnya sekitar 4 meter mengelilingi alun-alun. Jika malam hari sebagian jalur itu oleh para pedagang makanan digunakan untuk menggelar tikar. Para pelanggan atau pengunjung seperti kami bisa mengambil tempat tuduk di tikar-tikar tersebut untuk menikmati hidangan yang disajikan oleh para pedagang  itu. 

"Pak mampu pernah makan kupat glabed?" tanya pak Jufri.
"Sepertinya saya pernah dengar Pak,  tetapi sama sekali belum pernah merasakannya," kataku sambil mengingat-ingat nama makanan itu.
"Sebenarnya itu kupat apa sih Pak?" tanyaku penasaran.
"Kalau begitu kita akan mencobanya Pak. Kita jalan saja ke arah sana, karena di sanalah terletak gerobak penjual kupat glabed yang rasanya paling enak," katanya sambil menunjuk satu arah.
"Wah hampir 300 meter ya Pak," kataku. 
"Lha Bagaimana? Sudah lapar ya?" tanyanya.

Aku mengangguk menyeringai. Cacing di dalam perut yang sejak siang tadi belum mendapatkan jatah  terus berteriak dan  menggeliat-geliat tak karuan, membuat perut rasanya keroncongan. Makanya aku tidak malu malu  mengakui.

"Kalau begitu kita nyari yang paling dekat saja."

Demi melihat wajahku yang memelas kelaparan, akhirnya pak Jufri mengambil keputusan yang bijaksana.

"Nanti rasanya beda Pak?"kataku sangsi.
"Ah berbeda sedikit tidak apa-apa. Tetap enak kok." Katanya meyakinkan.

Maka jadilah kami mampir ke salah satu tempat mangkal pedagang kupat glabed terdekat. 

Tampak beberapa buah tikar digelar memanjang berderet. Sebagian gelaran berupa  MMT bekas backdrop kegiatan. Rupanya pedagangnya berpikir praktis. Tidak ada rotan, akar pun jadi. 

Dua buah meja kayu berukuran 100 cm x75 cm  dengan kaki-kaki  pendek terbuat dari besi tampak berjajar di atas backdrop itu. Satu meja sudah ditempati dua orang gadis berjilbab panjang. Wajah mereka tak terlalu jelas karena lampu penerang jalan yang tinggi tak cukup mampu menerangi. Kami yang lebih senior segera mengambil meja satunya untuk bergeser agak menjauh.

"Dua kupat glabed mas. Yang satu kuahnya yang banyak ya. Yang satunya biasa saja tapi pedes," kata pak Jufri.

"Ngunjukipun punapa?" pedagang itu menjawab dengan pertanyaan tentang apa yang akan kami minum.
"Saya jeruk anget," kataku.
"Aku putihan baen. Panas ya," kata pak Jufri yang ingin disediakan air putih panas saja. Pak Jupri biasanya kalau makan makanan yang berkolesterol cukup tinggi memang dibekali dengan teh khusus penurun kolesterol oleh istrinya. Istri sayang suami rupanya.๐Ÿ˜

Suasana di depan masjid agung  memang nyaman. Sambil duduk-duduk kami bisa menikmati pemandangan yang ada di sekeliling. Tampak mobil-mobil mainan dengan penggerak batere yang diberi lampu LED berwarna-warni bergerak mengelilingi alun-alun. Rata-rata mobil-mobil itu berbentuk VW kodok. Masing-masing rodanya  berukuran sebesar roda sepeda motor. Jendelanya yang tanpa kaca membuat penumpangnya bebas melihat keluar dan dilihat dari luar.  Mobil-mobil itu  bergerak pelan diiringi dengan alunan  musik.  

"Punika pak kupatipun," kata pedagang kupat glabed dalam bahasa Jawa halus logat Tegal. Kupat glabednya sudah siap.

Tampak tumpukan benda yang diiris setebal 1cm dengan bentuk yang tidak teratur berada di dalam piring-piring itu. Kuah kental berwarna kuning melimpah  di sekeliling irisan kupat dan sebagian lagi mengglabedi (menutupi dengan kental dan lengket) permukaannya dengan ketebalan dan kekentalan yang menarik selera. Sementara pada bagian toppingnya tampak kemerahan seperti lahar gunung Merapi yang meleleh karena ditinggal Mbah Maridjan. Itulah perpaduan kuah kuning dan bumbu merah sang kupat glabed.

Konon glabed adalah sebuah kata yang digunakan oleh orang Tegal untuk menggambarkan tekstur makanan yang kental ketika masuk ke dalam mulut. Lama-kelamaan kata glabed atau glabed-glabed pun mulai bergeser maknanya menjadi sebuah nama untuk sajian berisi potongan ketupat dengan kuah kuning gurih seperti opor namun bertekstur kental.

Aroma kupat yang sedap membuat cacing-cacing di dalam perut menjerit histeris seperti naga yang siap menyantap mangsanya๐Ÿ‰๐Ÿ. Bertusuk-tusuk sate ayam, sapi, telur puyuh, dan kerang juga melengkapi sajian di piring satunya. Sate-sate itu tertutupi oleh kuah kental berwarna coklat kemerahan. Pedasss!

Segera aku ambil sendok dan aku coba kuah kental berwarna kuning itu. Slrupp...  lidah, bibir, dan kuah yang beradu  sungguh menimbulkan bunyi tertentu. Dan bahagia sekali bisa mengulang-ulang bunyi itu๐Ÿ˜๐Ÿ˜‚.

"Wow! Yummy, ๐Ÿ˜ฑ... Sueger...pedess" kataku memcercau. Pak Jufri tersenyum lebar melihat tingkahku.  Dengan tanpa menunggu dipersilahkan aku langsung mencoba sepotong demi sepotong irisan kupat yang terglabedi (tertutupi) oleh kuah  kental perpaduan santan dengan tepung terigu itu. Tak lupa begitu  gagang sendok kembali meyentuh piring, tangan yang tadi memegangnya telah beralih ke gagang tusuk sate ayam yang berwarna merah kecoklatan. Tandas satu jenis sate, segera disusul jenis sate lainnya.

Enak!๐Ÿ˜‹ Seumur-umur aku baru merasakan sajian kupat yang lain daripada yang lain ini. Kuah kental itu ternyata juga menyimpan rahasia. Jika  beruntung, sesekali kita bisa  mendapatkan sesuatu di dalamnya.  Satu bentuk kotak memanjang yang menjadi chemistry di masa kecil melengkapi isi kuah tersebut. Apa itu? Tempe๐Ÿ˜
Aku memang maniak tempe hehehe...

Tak terasa kupat glabed itu cepat sekali tandasnya. Surungan satenya yang juga pedas memang membuat kita harus ngebut mengembat kupat dan kuahnya.

"Setengah porsi lagi mas!" seruku pada pedagangnya. "Jangan lupa, tetap pedes yaa," tambahku. 

Maka jadilah, malam ini kami menghabiskan dua setengah porsi kupat glabed dan sembilan tusuk sate dari berbagai jenis, serta dua gelas minuman . Dan berapakah kocek yang harus kita keluarkan? Ternyata hanya Rp. 54.000. Bagaimana menurut Anda, murah atau mahalkah? 
 
====================
Brebes, 28-09-2019 08.00 ditulis  dengan metode menemu baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Tempat di hotel Dedy Jaya dan di kereta Kaligung dalam perjalanan pulang ke Semarang.


Comments

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS