GULTIK YANG UNIK




By Dr. MRT
Gambar: Penulis bersama sahabatnya, Mas Badrun. 

Anda pernah merasa tergoda oleh keajaiban kuliner yang tak terduga di malam hari? Terbayangkan di kota besar seperti Jakarta yang telah sering Anda kunjungi, Anda selalu terjebak di dalam hotel tanpa sempat menjelajah cita rasa lokal yang tersembunyi. Namun, bayangkan jika seseorang mengajak Anda untuk merasakan kelezatan kuliner malam di sana. Mungkin Anda sudah jenuh dengan menu hotel dan penasaran apakah pengalaman kuliner malam di kota besar itu berbeda dengan kota-kota kecil seperti Solo. Saya sendiri merasa seperti itu.

Malam ini setelah kegiatan advokasi dan evaluasi penggunaan chromebook dan akun belajar.id ditutup oleh direktur SMP Kemendikbud  saya ingin langsung beristirahat. Namun, tiba-tiba ponsel saya bergetar. Saya dihubungi oleh sahabat saya, Mas Badrun Fuady,  seorang kepala Madrasah Aliyah yang tinggal di Pamulang. Dia mau berkunjung ke hotel Maia Tanah Abang di mana kegiatan selama 3 hari  dilaksanakan. 
Gambar: Bersama teman-teman peserta advokasi dan evaluasi penggunaan chromebook dan akun belajar. id. 

Kami berencana mengobrol kangen-kangenan. Meski seminggu lalu kami sudah bertemu di Semarang, namun  waktu pertemuan sangat singkat, karena dia dalam perjalanan touring Jakarta Bali, kami merasa pertemuan harus dilanjutkan. 

Pukul 20.45 WIB Mas Badrun sudah menunggu di lantai 1. Sebuah pesan WA disertai gambar pintu lift dia kirim kepada saya. Saya segera turun dari kamar 701 dimana saya dengan sahabat saya dari Jogja, Mas Cokro, bermalam. Mas Badrun  ternyata  ingin  menjemput saya di Tanah Abang dan mengajak saya menginap di rumahnya. Selain itu dia mengajak saya mengeksplorasi kelezatan kuliner  malam di ibukota. Ini tentu godaan yang tidak mungkin saya hindari. 

Meskipun semestinya saya harus keluar dari hotel besok siang untuk penerbangan saya yang terjadwal pukul 15.00 WIB, sahabat baik ini membuat saya tidak bisa menolak ajakannya. Kelopak mata yang tadinya terasa terbebani masing-masing dengan anak timbangan satu kilogram dan sudah ingin mengatup saja setiap saat, begitu kedatangan seorang sahabat,  keduanya terbuka lebar lagi. Kedua bola mata di dalamnya bahkan kembali menyala seperti bohlam yang baru saja dibeli dari toko di perempatan lampu merah Sampangan, Semarang. Berpijar terang benderang bagai matahari menyibak awan. Lagi pula, bukankah menyambut sahabat yang berkunjung adalah sebuah nilai keberlimpahan  silaturahmi? Pikir saya  dalam hati. 

Saya segera berkemas. Tidak sampai 10 menit semuanya beres res. Saya sengaja membawa ransel kecil untuk menampung  pakaian 3 hari sekaligus. Ransel itu juga sebagai tempat laptop. Jadi ditenteng kemana-mana ringan rasanya. Barang bawaan yang tidak seberapa itu dengan mudah kami masukkan ke box di bagian belakang kendaraan Mas Badrun. Tentu setelah dua helm di dalamnya  dikeluarkan dari kontainer berbentuk seperti perahu bulat terbalik berwarna hitam merah itu. 

Tepat  pukul 21.00 WIB, kami memulai petualangan kuliner kami. Kendaraan meluncur dari tempat parkir   hotel Shalva di samping hotel Maia Tanah Abang menuju kawasan Blok M. Mas Badrun dengan piawai mengendarai motornya dan saya membonceng di belakang. 
Yamaha bongsor NMax yang kami naiki meluncur dengan lincah di antara kepadatan lalu lintas Jakarta malam minggu ini. Mas Badrun rupanya jagoan dalam mengendalikan si bongsor meneliti diantara mobil-mobil yang memadati jalanan. Saya kadang-kadang harus memejamkan mata karena ngeri merasakan duduk di boncengan belakang dengan bersandar pada box khusus berbentuk bundar dengan warna merah hitam yang sengaja dipasang di ujung boncengan itu. 

Meskipun sudah berusaha untuk cepat, namun perjalanan ini ternyata tidak semulus yang kami bayangkan. Padatnya lalu lintas malam minggu di tengah kota Jakarta membuat kami berkali-kali terjebak dalam kemacetan, sehingga kami harus mencari jalan-jalan pintas untuk sampai ke tujuan dengan lebih cepat. Untung pengendaranya adalah seorang native resident yang hafal betul daerah-daerah tersebut. 

Kurang lebih dalam waktu 35 menit tibalah kami di Blok M. Kami melihat sebuah area yang panjang dan padat dengan manusia yang berjubel.  Di sela-selanya ada barisan sepeda motor mengelilingi mereka. Trotoar lebar di depan bangunan-bangunan tinggi di kawasan Blok M itu penuh dengan anak muda. Mereka terlihat sedang bersantai  duduk di kursi-kursi plastik menghadap meja-meja kecil yang dipenuhi oleh tumpukan-tumpukan piring-piring bekas. Di tangan mereka juga ada piring-piring berisi hidangan unik yang sepertinya terasa lezat. Mereka semua tampak begitu bersemangat, menikmati malam minggu mereka bersama teman-teman atau pasangan sambil menikmati hidangan tersebut sehingga sampai habis berpiring-piring. 

Hidangan unik yang disebut "gultik" merupakan singkatan dari "gulai tikungan." Gultik ternyata menjadi makanan khas yang telah ada selama puluhan tahun di kawasan ini, dan para penjualnya dengan bangga menyajikannya.  Sebenarnya gultik adalah gulai sapi biasa, tetapi karena takarannya yang tidak biasa, penyajiannya yang unik, dan diwarnai dengan suasana dan momen yang juga menarik, maka gultik terasa berbeda dari gulai sapi biasanya. 

Berbeda dengan sajian gulai di warung-warung besar atau resto yang biasanya diletakkan di dalam mangkuk tersendiri dengan nasi terpisah. Atau nasi dan gulai dicampur namun piringnya berukuran besar dan nasinya cukup banyak dan irisan dagingnya juga biasanya tebal dan cukup besar. Gulai sapi tikungan ini dagingnya diiris tipis-tipis dan kecil-kecil.  Gulai disajikan di atas piring kecil. Lalu daging dengan kuahnya yang gurih itu dituangkan ke  atas nasi putih yang porsinya mungkin hanya dua atau tiga sendok nasi. Rasa dan aromanya tampak begitu menggoda dengan tambahan kerupuk, sate ampela, sate kulit ayam, dan sambal lombok setan sebagai pelengkap. 

Saya begitu penasaran dengan kuliner ini sehingga tidak terasa  air liur saya terbit lagi, walaupun sebenarnya saya sudah kenyang. Ibarat kucing garong sedang mencari pasangan kencan di malam minggu tiba-tiba menemukan kepala ikan pindang di tengah jalan.   Tanpa babibu langsung sikat! 

Begitu saya ditawari oleh Mas Badrun untuk mencobanya maka saya cepat-cepat mengajukan kepala. Awalnya, saya menolak di pesankan dua piring gultik sekaligus. Saya tahu diri. Walaupun dalam kondisi tubuh saya yang sedang bongsor saat ini, saya merasa bahwa daya tampungnya juga memiliki kapasitas yang ada batasnya. Satu piring saja saya merasa belum tentu bisa menghabiskannya. Ini  karena   perut saya sudah kenyang setelah makan di hotel. Jadi, sambil tersenyum simpul saya memutuskan mengamati saja bagaimana Mas Badrun menghabiskan dua piring gultik dalam waktu singkat.

Namun, saya penasaran juga. Kenapa Mas Badrun yang orang Jakarta asli dan sering datang ke tempat ini makan dengan begitu lahapnya. Maka saya segera menuangkan satu sendok kecil sambal lombok setan di atas piring gultik dan mengaduknya bersama dengan irisan daging tipis-tipis dan sedikit nasi yang ada di dalam piring. Kuah gulai berwarna agak kekuningan  berubah warna menjadi orange karena bercampur dengan sambal warna merah. Perpaduan isi piring kecil itu memunculkan aroma harum khas makanan yang dianggap mewah di zaman orang-orang tua dulu masih hidup. Gulai! 

Begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, saya merasakan chemistry yang luar biasa. Saya merasa dibawa lagi ke masa kecil ketika sedang diajak Pake dan Mae menyaksikan Grebbeg Dugderan. Sebuah pesta rakyat yang diselenggarakan sebelum masuk bulan puasa di Semarang. Lokasinya di alun-alun di depan masjid Kauman yang sekarang sudah menjadi parking area. 

Setelah berjalan-jalan naik dermolen dan membeli mobil-mobilan untuk saya dan adik saya Ganjarono. Lalu Mae dan Pake biasanya juga membelikan alat masak-masakan untuk dua kakak perempuanku, Yupi (Nyukupi) dan Yumi (Mikuwati). Kami lalu pergi ke kebun binatang Tegalwareng dengan naik angkot berwarna orange yang biasa kami sebut daihatsu. 

Setelah puas berkeliling kebun binatang biasanya kami akan masuk ke warung untuk makan siang. Dan, makanan kegemaran Pake adalah gulai. Makanan mewah yang hanya bisa kami nikmati setahun satu atau dua kali. Dan, gultik ini dengan sukses mengembalikan chemistry masa kecil saya 47 tahun yang lalu ketika saya masih berusia 6 tahun. Setiap adegan dan suapan di atas piring membawa  kembali serpihan-serpihan ingatan di masa lalu, menghubungkannya antara satu dengan yang lain, membentuk mozaik yang memenuhi benak saya dengan kebahagiaan masa kecil. 

Tidak terasa satu piring tandas dalam waktu singkat. Sepertinya ada hormon tertentu di dalam tubuh yang justru menguatkan rasa lapar ketika saya merasakan seberapa lezatnya gulai tikungan ini. Setelah berhenti kurang lebih 5 menit, saya akhirnya dengan tanpa malu-malu memesan satu piring lagi, bahkan dengan sate ampela sebagai tambahan. Mas Badrun tersenyum simpul melihat tingkah saya. Semoga traktirannya malam ini menjadikan berkah bagi rezekinya sehingga diganti dengan yang lebih berlimpah. Amiin.🤲 

Di tengah suasana yang penuh kemeriahan, dua orang muda-mudi muncul di dekat kami. Mereka adalah sepasang pengamen yang membawa lagu-lagu cinta dan balada yang mengalun merdu. Sang pengamen wanita terlihat menenteng  gitar yang dipetiknya sambil bernyanyi berkeliling di antara para tamu. Perempuan muda ini terlihat bersemangat membawakan lagu-lagunya. Sesekali suaranya terdengar parau dan fals, namun itu tidak menghalanginya untuk tetap menghibur para pengunjung. 

Sang pria dengan rambut terurai  gondrong berwarna kecokelatan dan  memakai celana jeans sobek-sobek, terlihat sangat nyentrik. Ia membawa alat perkusi berbentuk kotak yang ia tabuh dengan penuh semangat, mengikuti dentingan gitar yang mengiringi nyanyian  yang diumandangkan oleh sang pengamen wanita. Suara mereka tampak cukup menyentuh hati para pengunjung yang ada di tikungan Blok M ini. Menambahkan nuansa keceriaan malam Minggu yang mulai larut.
Gambar: Di depan rumah Mas Badrun. 

Tidak ada habisnya para pengunjung yang terus berdatangan hingga larut. Mau jam berapa mereka sebagian besar adalah kepala penduduk lokal yang mencari hiburan di malam minggu dan mungkin sebagian dari mereka adalah para pendatang seperti saya mencari pengalaman kuliner yang sama dengan kami. Setelah menyusuri rasa kenikmatan gultik, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Pamulang dengan hati yang penuh dengan cerita dan kenangan tak terlupakan dari malam kuliner Jakarta yang asik bersama sahabat terbaik.

_______ Pamulang, 7 Oktober 2023 pukul 08.29. 
Ditulis dengan strategi Tali Bambuapus Giri ( Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka digital Mandiri berbasis AI) 

Comments

  1. "47 tahun yang lalu ketika saya masih berusia 6 tahun"?
    gak salah tuh? hehehe ...

    ReplyDelete
  2. Wah salah. Seharusnya 7 tahun. Maaf kemudahan setahun. Hehehe

    ReplyDelete
  3. Wahh baru tau ada kuliner gultik trmksh Pak Dok.

    ReplyDelete
  4. Keren blog ya pak...saya suka jalan ceritanya ..apalg kulinernya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NUSANTARA GROUP

MENGUBUR UNTUK MENJAGA BUMI

DR. MAMPUONO: PENDIDIK, PENEMU, TEACHERPRENEUR, DAN PENULIS