MELATIH KOMODO BERLITERASI DI SEKOLAH SATAP
Oleh: Mampuono
#Orang literat Menemu Baling 👌
Nyaris seminggu sudah aku berlayar. Singgah dari gugusan satu pulau ke gugusan pulau yang lain. Bergerak dari perairan satu ke perairan yang lain. Buku, alat tulis, metode berliterasi, dan keikhlasan berbagi adalah bekal kami. Dengan sepenuh hati kami bersilaturahmi, mengunjungi saudara-saudara kami yang tinggal di pulau pulau terpencil ini. Selain itu tidak ada lagi. Kecuali impian besar agar bangsa ini suatu saat mencapai jaman keemasan dan kami pernah tercatat turut serta memperjuangkan melalui literasi. Maka dari itu, setiap saat kami merekam kisah muhibah ini. Muhibah Menemu Baling. Menulis dengan mulut, membaca dengan telinga.
Pagi ini kami turut menyambut hari. Penuh sukacita dan rasa syukur karena selamat sampai di tempat-tempat yang menakjubkan ini. Kami seperti mereka yang berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus tahun, turun-temurun menghuni kepulauan bebatuan purbakala ini. Memandang langit yang biru, air yang juga biru, dan rasa hati yang mengharu biru.
Seperti kemarin dan hari-hari sesudahnya, matahari dari ujung timur cakrawala mulai memancarkan semburatnya. Semburat pagi memeluk hangat hatiku yang dilanda rindu, meninggalkan kampung halaman nun jauh di sana. Kehangatan itu juga perlahan membuat daun-daun pohon sensus yang meringkuk dalam dingin mulai saling melonggarkan pelukan. Semburat pagi yang baru terjelang menegaskan jarak mereka antara satu dengan yang lainnya. Menuruti titah alam, berfotosintesis, mendaur ulang zat asam arang menjadi zat asam.
Butiran-butiran embun sisa gerimis semalam tampak menghiasi ujung-ujung daun sensus yang berbentuk hati itu. Memantulkan cahaya pagi seperti untaian berlian yang ditata rapi secara alami. Kemilaunya menjatuhkan hati. Indahnya memukau, mengharu biru karsa, dan membelai mesra rasa yang dilanda rindu pada kedamaian. Juga mereka yang rindu keluarga dan kampung halaman.
Dari tengah pulau Komodo terdengar cuitan dan teriakan burung-burung bersahut-sahutan. Mereka yang tinggal di pohon-pohon tinggi maupun gerumbul semak-semak itu berlomba memprdengarkan nyanyian terindahnya. Tak terhitung ragam dan varian burung di habitat naga purbaka yang sekaligus habitat para anggota suku Komodo itu. Tempatnya yang masih sangat alami, sekaligus juga taman nasional dan konservasi, memberikan ruang lingkup yang cukup bagi mereka untuk bertahan hidup.
Burung maleo, burung tekukur, burung kepodang, burung nuri, burung kutilang, burung hantu, burung jalak hitam, burung gagak Flores, burung elang kepala putih, ayam hutan, dan banyak lagi yang lainnya hidup dengan bebas dan sukacita di pulau Komodo. Unggas-unggas liar itu saat bernyanyi mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda. Bunyi-bunyian yang mereka hasilkan itu tinggi, rendah, besar kecil, melingking, melengkung, berulang, berjenjang, membentuk variasi irama alam yang menakjubkan. Dan manusia memberi nama mereka dengan cara membedakan bunyi-bunyian tersebut atau penampakan warna bulu dan tingkah laku saat mereka berpenampilan.
Seekor burung maleo yang baru bangun dari peraduan mendapatkan rejeki pertamanya. Dahan pohon sensus yang rimbun itu menjadi rumah barunya. Ia masih belajar terbang dan hidup mandiri. Tepatnya, semenjak kedua induknya pergi membuat sarang baru di pohon sensus lain. Seekor ulat kilan yang sedang nahas merambat di dekat kakinya. Dengan sekali patuk ulat itu sudah berpindah ke tembolok sang maleo muda.
Angin pagi yang cukup deras tiba-tiba bertiup. Pada saat yang sama elang kepala putih yang sudah sedari tadi mengincar burung maleo menyerbu ke arah dahan sensus. Terdengar suara mencicit maleo mengenaskan. Sang elang yang berdiri gagah di puncak rantai makanan sekali lagi membuktikan keperkasaannya. Ternyata hidup maleo muda itu digariskan harus selesai pada pagi ini. Ulah elang kepala putih dan derasnya angin menggugurkan butiran-butiran embun pagi. Tanah berpasir yang basah menjadi semakin basah. Sembab. Seperti turut berbela sungkawa pada sang maleo muda yang kembali ke haribaan-Nya.
Peristiwa demi peristiwa alam terjadi pada detik-detik yang terus bergulir. Haripun terus menggeliat, merambat perlahan menuju puncak. Lidah ombak berwarna putih juga turut berbagi, menghias cantiknya warna awal hari. Irama berkecipaknya ditingkah deru angin dan ombak di kejauhan berkumandang tanpa henti. Dengan setulus jiwa, seihlas hati, setia mengiringi para penghuni pulau mengawali hari. Suara dan warna indahnya sebagai irama dan pesona alam pendamai hati.
Terdengar kepak sayap gagak Flores yang melintas di atas kapal. Induk betina itu mulai berangkat mencari nafkah untuk makan anak-anaknya. Boleh jadi ia akan segera pulang ke sarang di puncak karang di ujung Pink Beach karena hari itu ia mudah mendapatkan makanan. Tetapi bisa pula seharian ia harus terbang berkeliling karena tidak ada satupun makanan yang ia temukan. Pada Tuhan ia yakin ada bagian rejeki untuknya. Asalkan ia berusaha, masa tidak tersedia makanan untuk dijadikan sebagai ransum bagi anak-anaknya?
Begitulah yang terjadi di alam pada waktu yang terus bergulir. Tak ada telknologi yang bisa menghentikan waktu. Setidaknya sampai hari ini. Ini seperti aktivitas kami di pagi ini. Selepas sarapan di kapal NK Jaya kami bersiap meluncur ke dermaga perkampungan suku Komodo. Perkampungan yang dihuni suku yang percaya mereka adalah saudara kembat komodo itu berjarak hanya sekitar 500 meter dari tempat kapal kami membuang sauh. Semalam kami menghabiskan waktu terapung-apung di teluk di hadapan perkampungan itu.
Teluk Komodo ini terlindung dari arus air laut yang besar sehingga kami tenang-tenang saja dan dengan percaya diri tidur pulas di kapal untuk menunggu pagi. Mimpi-mimpi penuh petualangan menghiasi tidur kami. Tak pernah sebelumnya kami mengira bahwa kami bisa mencapai tempat yang tidak sembarang orang bisa mencapainya ini.
Alunan gelombang air perlahan yang kami rasakan semalam justru seperti mengayun-ayun dan membuai kami. Sampai pagi, ketika kami terbangun, kapal masih utuh tertambat pada tali sauh. Syukur kami panjatkan kepada Tuhan karena Dia masih menjaga badan dan harta benda kami ketika roh kami meninggalkannya pergi.
Tepat pukul 08.00 WITA speed boat dilepaskan dari buritan. Seorang anak buah kapal mengarahkannya ke lambung kiri kapal. Satu lagi anak buah kapal yang lain menurunkan tangga. Aku sudah berseragam putih IGI dan celana jeans petualanganku. Meski jalanku agak berat, semangat yang membara untuk berbagi dan menjelajah kehidupan suku Komodo lebih jauh membuatku bergerak penuh energi. Bersama-sama dengan Pak Karim, Firul, dan Ibu, kami bersiap-siap meluncur ke daratan Pulau Komodo untuk berbagi literasi.
Sejurus kemudian kami sudah berpindah ke dalam speedboat berwarna putih itu. Kebiasaan berpindah dari kapal ke perahu atau sebaliknya yang sudah kami latih berkali-kali selama berhari-hari ini turut membantu kelincahan kami. Diperlukan keahlian khusus untuk menjaga keseimbangan seperti yang dilakukan oleh para ahli bela diri agar kami bisa bergerak dengan leluasa pada benda terapung seperti speed boat dan kapal yang kami tumpangi.
Sebenarnya kami semua inginnya turun ke pulau. Sayangnya, Mas Har terpaksa tidak bisa ikut turun. Kakinya terkilir saat menjelajah sebuah track di salah satu gugusan pulau terpencil yang kami kunjungi. Kasihan juga Mas Har, karena sampai saat ini belum bisa berjalan dengan lancar.
Speedboat putih itu segera meluncur dari kapal menuju dermaga. Dari kejauhan kalau diamati, speedboat ini seperti pesawat jet yang meluncur dan meninggalkan jejak awan di belakangnya. Sebelum kami lalui, tenangnya air laut pada pagi hari ini seperti tenangnya air telaga bening Sekar Langit di tengah hutan pingit. Tempat para bidadari biasa turun dari kahyangan, sebagaimana dalam legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Namun, air laut yang sangat tenang itu tiba-tiba bergejolak ketika speed boot dengan deru mesin membahana membelah persis di tengahnya. Buih yang muncul ke permukaan oleh perputaran baling-baling mesin memunculkan warna putih sesaat lalu menghilang, seperti awan jejak mesin jet di udara yang tiba-tiba muncul lalu sejurus kemudian ditiup angin, hilang.
Tidak sampai dua menit speedboat sudah menempel di dermaga kampung Komodo. Dermaga kayu berwarna kelabu itu sudah tua dan lapuk di sana sini. Panas, hujan, angin dan ombak menghajarnya sepanjang waktu. Bagian bawah tiang-tiangnya yang jenjang tampak berwarna putih berselang seling hitam. Koral, karang, dan kerang yang tidak kebagian tempat hidup di dasar lautan akhirnya sampai di situ. Mereka menumpang hidup pada dermaga tua untuk tumbuh berkembang.
Suasana pagi dengan air laut yang masih surut menyebabkan kami harus memanjat cukup tinggi. Dalam semilir angin teluk yang mengelus bulu kuduk, langkah kaki kami jejakkan sekali lagi di bumi Komodo. Kami menapaki satu persatu anak tangga yang semakin tua dan mulai rapuh itu. Bertahun mereka harus berpegangan erat, menempel pada sang dermaga tua. Tak peduli seberapa besar alunan ombak dan badai yang berusaha menyeret mereka, demi setia pada pengabdian, melaksanakan darma sebagai anak tangga.
Jejak alas kaki kami yang berpasir menimbulkan tanda pada anak-anak tangga sembab yang kami lewati. Bagi anak tangga yang rapuh, andai saja mereka bisa menangis, tentu akan terdengar betapa pilunya ratapan mereka. Berkorban entah untuk apa, menjadi tempat yang selalu diinjak-injak setiap hari. Semakin hari semakin remuk jiwa dan raga. Menyangga kaki-kaki manusia yang naik turun, pulang dan bergi. Tanpa memperdulikan harga diri.
Akan halnya anak tangga yang kuat, yang paham akan arti darma dari penciptaanya, situasinya tentu berbeda. Menjadi tempat berpijak, diinjak-injak, justeru menjadi kebanggaannya. Dia yakin Tuhan sudah menggariskan keberadaannya sesuai titah-Nya. Kebermanfaatan bagi semua adalah yang ditujunya. Meski seberapa buruk derajatnya di mata makhluk, kesetiaannya pada titah Yang Maha Kuasa mejadi pegangannya. Boleh jadi suatu ketika hancur luluh raganya. Namun seberapa besar ia bermanfaat bagi para manusia yang bisa bertahan hidup dan menggapai cita-citanya itu yang menjadi catatan amalnya ketika semua sudah fana.
Kami berpegang erat pada kayu penopang di sisi dermaga. Langkah-langkah kami menuju ke atas akhirnya tuntas. Di atas dermaga sudah ada laki-laki tua yang menyambut kami. Sebelumya sudah ada pihak-pihak yang dihubungi untuk menerima kami rupanya. Dengan sigap bapak tua itu membawakan barang-barang kami.
Setumpuk modul, buku, dan alat tulis kami bawa untuk sekedar oleh-oleh bagi para guru dan siswa di sekolah yang kami kunjungi. Itu hanyalah oleh-oleh kecil yang tidak ada artinya. Bagi saudara-saudara kami yang tinggal di pulau terpencil, tidak ada yang kebahagiaan yang lebih besar selain dikunjungi oleh orang pusat dan lalu bisa curhat. Sekolah yang akan kami tuju adalah SD dan SMP Satu Atap Pulau Komodo. Di SD dan SMP itulah anak-anak suku Komodo bersekolah.
Aku jadi teringat, ketika mengawali perjalanan literasi ini kami sempat pernah bergurau. Kami akan menuju ke pulau Komodo dan berbagi literasi kepada komodo-komodo yang tinggal di sana. Bayangan kami hari itu, tidak mungkin kami bisa berbagi literasi kepada kadal-kadal raksasa itu. Namun ternyata hari ini, apa yang kami jadikan bahan gurauan itu menjadi kenyataan.
Kami benar-benar akan mengajar para komodo. Mereka bukanlah komodo berkaki empat yang menurut cerita legenda Putri Naga merupakan keturunan komodo si Orah. Tetapi yang akan kami latih berliterasi adalah anak keturunan dari saudara kembarnya. Menurut legenda itu, anak-anak suku Komodo merupakan keturunan dari si Garong, saudara kembar dari komodo yang bernama si Orah itu.
Laki-laki tua yang membawakan barang-barang kami itu berjalan sambil memberi petunjuk rute terdekat menuju ke SD SMP Satu Atap. Sambil mengagumi keindahan pulau kami berjalan bergegas. Kami melintasi jalan kecil selebar 2 meter yang terbuat dari beton. Di sekitar jalan Itu tampak rumah-rumah panggung yang berdiri di atas tiang-tiang setinggi kurang lebih satu setengah meter. Rumah-rumah tersebut rata-rata terbuat dari papan dan beratap seng. Berpasang-pasang mata mengawasi kehadiran kami. Mereka adalah para anggota suku Komodo. Kami mengangguk ramah untuk menyapa mereka. Mereka pun membalas anggukan kami dengan tidak kalah hangatnya.
Saat pertama datang dan mendekati pulau Komodo, tepatnya di sekitar perairan Pink Beach, sebuah pantai indah dengan pasir berwarna pink, kami pertama kalinya bertemu dengan anggota suku komodo. Aku sendiri sebelum bertemu mereka memiliki gambaran tentang Suku Komodo yang masih primitif. Mungkin mereka berpenampilan seperti suku-suku pedalaman Afrika yang menggunakan pakaian kulit buaya dengan topi dari kepala buaya lengkap dengan gigi-gigi tajamnya. Gambaran itu lekat di otak karena saat kecil aku sering membaca cerita bergambar bersambung Tarzan, yang terbit setiap hari di salah satu koran di Semarang. Namun gambaran itu seketika buyar karena penampilan buku Komodo Ternyata Sama persis seperti orang-orang Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Setelah melewati lapangan yang cukup luas di belakang perkampungan, sampailah kami di lokasi sekolah yang kami tuju. SD dan SMP Satu Atap pulau Komodo yang terletak di desa Komodo, kecamatan Komodo. Sekolah itu masuk dalam pengelolaan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga pemerintah kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Kunjungan pertama akan kami lakukan ke SMP Komodo, baru dilanjutkan ke SD nya. SMP Komodo tampak sangat sederhana. Bangunannya hanya dua lokal gedung. Lokal pertama digunakan untuk ruang guru, ruang kepala sekolah, dan kantor administrasi, serta perpustakaan kecil. Lokal yang lainnya digunakan untuk kelas-kelas dan aula. Karena murid-murid hanya berasal dari pulau itu maka jumlahnya terbatas. Setiap tahun sekolah hanya menerima satu rombongan belajar. Hal ini tentu saja mempengaruhi jumlah lokal gedung yang dibangun untuk memfasilitasi mereka.
Karena SMP Komodo merupakan sekolah Satu Atap maka lokasinya menjadi satu areal dengan SD Komodo. Tanah yang ditempati untuk bangunan SD SMP Satu Atap ini tidak terlalu luas, mungkin hanya 5.000 meter. Bangunan SMP yang berada di sebelah selatan menempati tanah yang sekian kali lebih sempit daripada bangunan SD di sebelah utaranya. SD dan SMP Satu Atap tersebut bentuk bangunannya sederhana dan tidak ada sesuatupun yang istimewa kecuali anak-anak yang bersekolah di dalamnya. Mereka adalah anak-anak suku Komodo. Suku yang dipercaya oleh sebagian masyarakat bersaudara kembar dengan komodo.
Kami menunggu beberapa saat agar pihak sekolah bisa mengumpulkan para siswa di salah satu ruangan. Ruangan yang kami sebut sebagai aula tersebut berukuran kurang lebih 8x8 meter dan isinya adalah kursi kursi plastik berwarna hijau. Separuh lebih kursi-kursi itu sudah diduduki oleh siswa-siswi remaja berjilbab dan sebagian lagi remaja putra. Mereka adalah para siswa kelas sembilan. Sebuah meja kayu yang sudah usang tampak berdiri di bagian depan. Aku masuk dan menyalami mereka setelah terlebih dahulu Ibu menyapa mereka. Sambil menunggu Ibu mengisi sesi aku duduk di belakang meja tersebut.
Kami menjelaskan bahwa tim literasi Menemu Baling ini merupakan tim literasi dari P4TK Matematika Yogyakarta yang bekerjasama dengan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Kami datang ke sekolah Satu Atap di pulau Komodo untuk berbagi tentang bagaimana berliterasi dengan lebih baik. Kami juga akan berbagi tentang metode menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga atau Menemu Baling kepada para guru dan siswa di SMP dan SD itu.
Pada pukul 08.29 WITA Ibu memulai untuk memberikan motivasi tentang literasi kepada anak-anak SMP Komodo tersebut. Ibu membuka sesi motivasinya dengan mengajak siswa melakukan kegiatan pemanasan untuk mempersiapkan fisik dan mental para siswa itu sebelum menerima pembelajaran. Ibu memperkenalkan ice breaker Jazz Chantz. Mereka diajak bersama-sama untuk mengucapkan kata-kata tertentu secara berirama dan berulang-ulang. Selama kata-kata itu diucapkan dilakukan juga kombinasi kelompok-kelompok yang harus bergantian mengucapkannya.
Berikut ini adalah Jazz Chantz yang digunakan untuk kegiatan ice breaker tersebut.
Jazz Chantz
Haram Sam Sam Sam 2x
Duli 5x ram sam
Harabi2x
Mata para siswa berbinar, wajahnya berseri-seri, mulut mereka tak henti berceloteh melafal ulang jazz chants itu. Mereka begitu bahagia memperoleh hal baru. Para siswa tersebut tampak bersuka cita dan antusias sekali mengikuti kegiatan ice breaker ini. Mereka dengan penuh semangat mengikutinya langkah demi langkah.
Perlahan namun pasti hati mereka telah berbahagia. Mereka siap secara fisik dan mental untuk belajar. Ibu pun memberikan motivasinya. Isinya sarat makna karena langsung disampaikan oleh orang besar. Seorang leader dari sebuah instansi tinggi di bawah kementrian yang menggawangi pengembangan literasi numerik di Indonesia.
Ibu juga memberikan berita gembira, anak-anak pulau Komodo yang bersemangat berliterasi akan diberikan reward. Para siswa yang berminat menuliskan pengalamannya ataupun segala sesuatu tentang Pulau Komodo dan mau mengirimkan ke P4TK Matematika akan diberikan hadiah. Dari hadiah buku-buku sampai kesempatan untuk diundang ke Jogjakarta. Wow! Terlihat mata anak-anak bersinar-sinar. Kilauannya memercikkan sebersit cahaya bintang harapan!
Sementara itu, sebagai sesi sibuk tampak Pak Karim dan Metamagfirul mengambil beberapa gambar untuk melengkapi laporan. Mereka terus-menerus bekerja sambil memicingkan salah satu mata. Momen-momen paling penting dalam kegiatan muhibah literasi ini jangan ada yang terlewatkan. Dedikasi mereka, ketekunan mereka, ketangguhan mereka, dan kegesitan mereka yang secara kreatif memilih dan memilah bahan baku dokumentasi patut ditiru. Mengumpulkan dokumentasi berupa gambar dengan cara menjepret moment paling langka, momen yang harus segera diambil secara real time, yang tidak mungkin terulang lagi, patut diacungi jempol.
Pada pukul 08.55 WITA giliran aku maju ke depan dan mendemonstrasikan metode Menemu Baling. Hal pertama yang aku lakukan adalah mendemonstrasikan cara membaca dengan telinga atau Baling. Aku memperdengarkan tulisanku yang berjudul "Ketegangan Berganda Di Pulau Komodo". Tulisan itu berisi pengalamanku yang merasa was-was karena harus berjalan di habitat asli komodo dalam kondisi kaki sakit dan jalan yang payah. Rasa khawatir jika komodo tiba-tiba muncul menjadikanku berandai-andai bahwa komodo itu akan aku ajak selfie saja supaya tidak menggangguku. Bukankah ia adalah saudara kembar manusia yang tinggal di pulau Komodo? Semua yang mendengarkan cerita ini tertawa-tawa.
Setelah sesi membaca dengan telinga selesai, aku menerangkan bahwa tulisan yang mereka dengarkan itu berasal dari kisah nyata yang aku alami kemarin sore. Selama menyelusuri track yang ada di Taman Nasional Pulau Komodo aku terus-menerus membuka gawai Androidku dan berbicara pada saat terjadi momen-momen penting, sehingga tulisan terus-menerus terproduksi. Begitu keluar dari Taman Nasional Komodo aku sudah memiliki tiga draf tulisan yang cukup panjang. Tulisan-tulisan tersebut berjudul "Menjadi Guru Berfilosofi Gebang", "The Legend of the Dragon Princess" dan cerita tentang ketegangan yang baru saja dibaca dengan telinga oleh para siswa tersebut.
Tulisan "Ketegangan Berganda di Pulau Komodo" semula hanya berupa pokok-pokok pikiran atau calon paragraf pendek-pendek. Ini karena tulisan hanya memotret moment secara real time. Draft itu kemudian di kapal aku kembangkan menjadi 43 lebih paragraf. Semuanya bisa dilakukan karena menggunakan metode Menemu Baling. Sebagian tulisan bahkan aku selesaikan dengan hanya sekali duduk karena apapun yang aku observasi langsung aku tuliskan dengan mulut. Editing dan revisi pun aku lakukan saat itu juga.
Selepas mempraktekkan metode Baling atau membaca dengan telinga melalui aktivitas mendengarkan cerita yang aku tulis selesai, kegiatan dilanjutkan dengan demo menulis dengan mulut atau Menemu. Berikut ini adalah pesan-pesan yang aku sampaikan dalam sesi motivasi kepada anak-anak SMP itu melalui Menemu.
_"Selama ini kalian mungkin merasa sulit untuk menulis dan membaca. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, terutama pada sektor telepon seluler, menulis dan membaca menjadi sangat mudah. Dengan teknologi yang berbasis Android Kalian tidak perlu lagi menulis dengan tangan dan membaca dengan mata. Kedua aktivitas itu bisa kalian lakukan kapanpun dan dimanapun karena kalian akan menggunakan metode Menemu Baling. Dengan cara ini orang yang buta huruf atau bahkan buta beneran akan tetap bisa menulis dan membaca, asalkan mereka bisa mendengar dan berbicara.
Apa sih metode Menemu Baling itu? Metode ini merupakan singkatan dari metode menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Jadi dengan teknologi yang ada, apapun yang kalian tuturkan akan menjadi tulisan. Itulah yang disebut sebagai metode menulis dengan mulut atau Menemu. Sebaliknya membaca yang selama ini membutuhkan waktu khusus dan mata yang awas, sekarang semuanya tidak perlu lagi. Kalian cukup memindahkan teks dari buku yang akan kalian baca ke sebuah mesin yang akan membacakannya untuk kalian. Dengan cara ini, budaya mendengarkan atau menyimak sebuah dongeng otomatis akan berubah menjadi budaya membaca.
Dengan cara menulis dengan mulut semua yang kalian tuturkan akan tertuliskan. Jadi menulis itu sesuatu yang sangat mudah sekali. Kami ke sini mengajak kalian supaya bisa menuliskan apa apa saja yang ada di sekolah kalian. Di pulau kalian ini ada makhluk yang sangat istimewa. Mereka adalah naga-naga dari jaman purba yang hidup di tempat kalian. Tulislah dan beritahu dunia agar sebanyak mungkin orang bisa datang ke sini. Ini akan menjadi jalan kalian untuk bisa mencapai cita-cita kalian dengan lebih mudah.
Bukankah jika banyak turis datang akan menggerakkan perekonomian di sini? Dengan begitu orang tua kalian dan penduduk pulau Komodo akan menjadi lebih sejahtera. Kalian pasti bisa membuat cerita-cerita menarik seputar keseharian kalian yang hidup berdekatan dengan komodo.
Apakah kalian takut pada komodo ataukah tidak? Jika takut mengapa dan jika tidak juga mengapa. Tulislah semuanya dengan metode menemu baling. Setelah itu di upload ke internet atau dicetak menjadi buku. Bank BNI, Pemerintah Daerah Dinas Pendidikan akan memberi perhatian lebih pada kalian. Kalian akan menjadi anak-anak yang pintar dan literat. Kalian adalah anak yang selalu belajar, rajin membaca dan menulis dengan metode Menemu Baling. Pada akhirnya buah manis akan kalian terima. Semua akan indah pada waktunya."_
Selama berjalannya sesi motivasi dan demo Menemu Baling aku menyisipkan beberapa pertanyaan untuk mereka jawab. Hampir semua orang di dunia ini menyukai hadiah. Tidak berbeda halnya dengan anak-anak suku Komodo ini. Siswa yang menjawab pertanyaan dengan tepat segera mendapatkan reward. Wujudnya berupa alat-alat tulis. Hadirnya hadiah membuat mereka dengan sangat antusias sekali mengikuti kegiatan ini. Sampai-sampai tidak terasa waktu berjalan dengan cepat sehingga semuanya harus berakhir.
Mungkin apa yang kami lakukan adalah hal kecil yang tidak terlalu berarti dibandingkan dengan luasnya Indonesia dan banyaknya siswa serta satuan pendidikan yang seharusnya disentuh. Namun dibalik semua itu ada mimpi-mimpi besar yang aku rajut.
Aku berharap suatu ketika mereka juga terjangkiti virus untuk membaca dan menulis dalam rangka meningkatkan literasi dengan metode Menemu Baling. Dengan begitu kegiatan ini diharapkan bukan hanya sharing informasi saja, tetapi ada tindak lanjut dalam bentuk praktek dan dampak nyata.
Selepas kunjungan ke SMP kami segera melanjutkan ke SD Komodo yang berada di sebelah utara SMP, tanpa batas tembok. SD tersebut memiliki lapangan yang luas dan kami harus menyeberanginya untuk sampai ke lokal kelas. Di sana ada dua kelas yang berisi siswa-siswa kelas rendah dan kelas tinggi menunggu kami. Aku segera memasuki kelas yang belum dimasuki oleh Ibu. Aku memasuki kelas yang berisi para siswa kelas tinggi, sedangkan ibu memasuki kelas dengan isi para siswa kelas rendah. Kami masing-masing lalu melakukan motivasi untuk anak-anak sehingga mereka mau lebih rajin untuk berliterasi.
Pada kesempatan itu aku juga melakukan aktivitas Baling atau membaca dengan telinga. Aku memperdengarkan Kisah Putri Naga atau The Dragon Princess yang merupakan legenda asal-usul suku komodo dengan versi tulisan yang aku buat selama di kapal. Para siswa tersebut antusias mengikuti cerita legenda yang sudah aku modifikasi tersebut dengan tersenyum-senyum dan tidak mau berhenti sebelum cerita berakhir.
Setelah sesi membaca dengan telinga selesai, aku menerangkan bahwa tulisan yang mereka dengarkan itu berasal dari dua buah paragraf pendek. Kedua paragraf itu bisa dilihat oleh semua orang karena memang terpampang di bagian depan kantor Taman Nasional Pulau Komodo. Tulisan tentang legenda Sang Putri Naga yang hanya dua paragraf itu aku kembangkan menjadi 27 lebih paragraf dengan hanya sekali duduk karena aku menuliskannya dengan mulut.
Aku berpesan kepada para siswa itu supaya belajar lebih giat lagi. Mereka juga harus banyak membaca dan menuliskan apa yang mereka sudah baca. Mereka harus menulis sebanyak mungkin tentang alam di sekitar mereka untuk diceritakan kepada dunia. Dengan begitu, kekayaan pulau Komodo yang benar-benar langka bisa diekspos ke seluruh dunia melalui tulisan-tulisan mereka. Imbas positifnya, mereka akan menjadi lebih banyak terkoneksi dengan dunia luar dan tingkat perekonomian orang tua mereka juga berpotensi untuk lebih meningkat sektor pariwisata akan berkembang pesat. Kondisi ini akan membuat kesempatan untuk bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi menjadi terbuka luas.
Angin sepoi basah mengiringi kepergian kami selepas menunaikan tugas. Kutatap langit penuh syukur karena Tuhan masih memberikan aku waktu untuk bisa mengunjungi saudara-saudaraku di pulau Komodo ini. Tidak hanya itu, bahkan banyak oleh-oleh yang kami peroleh dari pertemuan dengan saudara-saudara kami itu. Terlalu banyak bahkan, jika dibandingkan dengan oleh-oleh yang kami bawa untuk mereka. Selamat berjuang saudara-saudaraku. Jadikan Pulau Komodo sebagai salah satu untaian emas yang berkilau Cemerlang ketika tiba waktunya Indonesia emas terjelang.
______________________________________
20 12 2017 ditulis dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga pada kecepatan 8 knot di kapal NK Jaya dalam perjalanan pulang menuju Labuan Bajo. Disunting dan disempurnakan di Sampangan Semarang. .
Comments
Post a Comment