GURU YANG TIDAK BERPIKIR HOTS, BAGAIMANA MENGETAHUI DAN MENCARI SOLUSINYA?
Sebuah riset yang cukup menarik sempat saya baca laporannya sambil menunggui ibunya anak-anak menjalani perawatan gigi malam ini. Judulnya mantap *OUR PROSPECTIVE MATHEMATIC TEACHERS ARE NOT CRITICAL THINKERS YET*
Saya juga pernah mendengar dalam sebuah sesi seminar bahwa menurut riset di Australia kelemahan terbesar para guru di Indonesia adalah kemampuan dalam critical thinking dan creativity. Jika dihubungan maka hasil riset di Australia dan di Malang itu tampaknya sangat kompak.
Kita bisa membayangkan bagaimana profil para calon guru matematika itu. Biasanya mereka berasal dari kalangan mahasiswa yang otaknya paling encer. Jika yang otaknya paling encer saja tidak memiliki kemampuan berpikir kritis apalagi mahasiswa calon guru jurusan yang lain?
Jika dianalogikan untuk guru matematika, maka para guru ini pun kondisinya kurang lebih sama dengan para calon mahasiswa yang akan menekuni profesi yang sekarang sedang mereka tekuni itu, yaitu menjadi guru matematika. Jika guru matematika yang dianggap sebagai guru paling pintar dan berotak encer saja kemampuan berpikir kritisnya rendah, apalagi guru-guru yang lain.
Communication, collaboration, critical thinking, dan creativity adalah empat ciri pembelajaran abad 21. Jika dua yang yang terakhir dari ciri tersebut tidak dimiliki oleh guru-guru kita, itu pertanda bahwa di abad 21 ini kita akan menghasilkan para siswa yang mungkin kompetensinya tidak sesuai yang diharapkan. Kompetensi guru yang tidak mendukung pembelajaran abad 21 bisa jadi merupakan penyebab terbesarnya.
Uji coba terhadap kemampuan berpikir HOTS para guru saya lakukan tadi siang. Sasarannya adalah para peserta workshop Implementasi Kurikulum 2013 di sebuah SMP favorit di salah satu kota di Jawa Tengah. Uji coba ini sebelumnya juga pernah saya lakukan untuk para anggota grup WhatsApp yang terdiri dari para guru. Hasilnya ternyata sangat mirip.
Saya menampilkan sebuah gambar yang merupakan pekerjaan rumah anak-anak di China. Secara kebetulan beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan gambar tersebut dari grup WhatsApp. Gambar tersebut menampilkan tentang soal HOTS yang digunakan sebagai PR untuk anak-anak Sekolah Dasar di sana.
Penjumlahan pertama berisi tinggi meja, dikurangi tinggi kura-kura, ditambah tinggi kucing hasilnya sama dengan 170 cm. Penjumlahan kedua berisi tinggi meja di tambah tinggi kura-kura dikurangi tinggi kucing hasilnya sama dengan 130cm.
Ketika pertanyaan itu saya ajukan kepada para guru peserta workshop, ternyata hampir semuanya tidak bisa menjawab. Bahkan guru matematika pun menjawab nya dengan cara menebak-nebak. Ini artinya kemampuan siswa SD di Cina dalam berpikir HOTS bisa jadi lebih tinggi dari kemampuan guru-guru kita.
Bagi yang sudah terbiasa berpikir HOTS, menjawab persoalan tersebut sebenarnya mudah saja. Kedua penjumlahan tinggal digabungkan. Tinggi Kucing dikurangi tinggi kucing, tinggi kura-kura dikurangi tinggi kura-kura, dan tinggi meja ditambah tinggi meja sama dengan 300 cm. Jika tinggi dua meja adalah 300 cm maka tinggi satu meja adalah separuhnya. Jadi tinggi meja adalah 150 cm.
Kemampuan HOTS guru-guru kita memang cukup memprihatinkan. Namun bukan berarti kita boleh tinggal diam. Oleh karenanya pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat harus mendukung meningkatnya kemampuan HOTS para guru. Para guru sendiri baik secara internal maupun eksternal harus berupaya keras agar mereka bisa mengatasi kelemahan dalam rendahnya level berpikir HOTS yang mereka miliki terutama dalam critical thinking dan creativity. Dan bergabung dengan pelatihan-pelatihan IGI adalah salah satu solusinya.
Di IGI terdapat 86 kanal pelatihan yang diciptakan untuk meningkatkan kompetensi guru di seluruh Indonesia. Tentu bukan perkara mudah untuk menciptakan kanal-kanal tersebut. Dan itu dilakukan berbasis pada critical thinking dan creativity para guru yang ada di IGI yang menjadi para foundernya.
Maka bersegeralah wahai para guru untuk menjadi bagian dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kawan-kawan IGI di dalam kanal-kanal tersebut. Di situ critical thinking dan creativity para guru akan semakin meningkat. Dengan begitu nantinya tidak akan ada kekhawatiran lagi bahwa guru kita tidak memenuhi syarat untuk menjadi pengajar pada era abad 21 dengan revolusi industri ke-4 nya.
Comments
Post a Comment