GERAKAN GURU MELEK AI BERSAMA DR. MRT
Di tengah derasnya arus perubahan zaman, pendidikan tidak lagi sekadar melibatkan buku dan papan tulis. Dalam guliran era Society 5.0, teknologi telah menjadi denyut nadi kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Dr. Mampuono R. Tomoredjo (Dr. MRT), seseorang yang mencoba terus berpikir visioner visioner yang memelopori Gerakan Guru Melek AI (GGMAI), mengingatkan bahwa guru yang tidak siap menyesuaikan diri seperti pelaut yang enggan belajar membaca bintang di tengah lautan digital. Dalam keterbukaan informasi saat ini, Gen-Z, para siswa yang lahir di era teknologi, telah melangkah lebih jauh. Bagaimana mungkin seorang guru dapat membimbing mereka jika ia sendiri gagap menghadapi teknologi?
Sebagai widyaprada di Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah sekaligus juga sebagai Ketua Umum Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas (PTIC) dan Ketua 1 Dewan Pendidikan Jawa Tengah, Dr. Mampuono menjelaskan bahwa menguasai kecerdasan buatan ibarat menjinakkan seekor harimau putih besar. Harimau ini bukan hanya kuat, tetapi juga penuh pesona dan potensi luar biasa. Dalam genggaman yang tepat, harimau ini dapat menjadi pelindung yang menundukkan musuh: dinamika zaman yang terus menyerang mereka yang tertinggal dalam penguasaan teknologi. Tetapi tanpa keahlian yang memadai, harimau ini bisa menjadi ancaman yang mengintimidasi penjinaknya dan menjebaknya dalam ketertinggalan digital.
Untuk menjinakkan harimau ini, seorang pawang tidak hanya membutuhkan keberanian, tetapi juga kompetensi yang terasah. Kompetensi spiritual diperlukan agar sang pawang mampu memandang kekuatan harimau dengan kesadaran akan tanggung jawab besar yang harus dipikulnya. Kompetensi sosial memungkinkannya untuk memahami dinamika lingkungan dan menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Sementara itu, kompetensi pedagogik dan profesional menjadi kunci untuk mengarahkan kekuatan harimau dengan teknik yang benar sehingga ia tidak menjadi ancaman, tetapi justru menjadi sekutu. Sama halnya dengan guru yang berhadapan dengan perubahan besar seperti era kecerdasan buatan, mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan mengembangkan keempat kompetensi tersebut.
Guru yang berhasil menjinakkan "harimau putih" AI ini akan memiliki kekuatan luar biasa untuk membimbing siswa mereka menjadi generasi yang hebat. Dengan kompetensi spiritual, guru bisa menanamkan nilai-nilai moral dalam penggunaan teknologi. Dengan kompetensi sosial, mereka dapat berinteraksi dengan siswa Gen-Z secara relevan. Kompetensi pedagogik memungkinkan mereka menciptakan pembelajaran yang bermakna, sementara kompetensi profesional memastikan bahwa mereka selalu terdepan dalam penguasaan teknologi. Dengan kombinasi ini, guru tidak hanya menjadi pembimbing, tetapi juga inspirasi bagi para siswa untuk memanfaatkan AI secara positif dan produktif.
Paulo Freire, seorang pakar pendidikan, pernah berkata, "Education either functions as an instrument to bring about conformity or as a means of transforming society." Guru yang melek AI tidak hanya mengikuti arus perubahan, tetapi juga mengarahkan arus itu agar membawa manfaat. Dalam gerakan ini, guru diharapkan menjadi agen transformasi, menciptakan pembelajaran yang relevan dan inspiratif. Dengan AI, pembelajaran bisa dirancang lebih interaktif, personal, dan menarik, membuka cakrawala baru yang sulit dijangkau metode tradisional.
Namun, adaptasi ini tidaklah mudah. Ada tantangan berupa resistensi, ketidakpahaman, dan bahkan sinisme. Banyak yang berpikir bahwa AI akan menggantikan peran guru, seperti burung gagak yang dianggap pertanda buruk. Tetapi sejatinya, AI adalah alat, bukan ancaman. Guru tetap menjadi jiwa dari pendidikan, sementara AI hanyalah sarana. Nelson Mandela pernah berkata, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Senjata ini kini telah diperbarui, dan hanya mereka yang melek teknologi yang dapat menggunakannya dengan tepat.
Gerakan GGMAI adalah ajakan untuk tidak takut, tetapi bangkit dan menaklukkan. Dunia pendidikan membutuhkan guru-guru yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga melek teknologi. Jangan biarkan para siswa Gen-Z kehilangan arah hanya karena para pembimbingnya tidak siap menghadapi perubahan. Karena sesungguhnya, pendidikan adalah tentang membentuk masa depan, bukan terjebak dalam masa lalu.
Comments
Post a Comment