GURU SAUDARAKU DARI SASAK, AVATAR BIRU, DAN BALAP PUYUNG YANG MENGGEBU
seri #menemubaling_on_the_way
GURU SAUDARAKU DARI SASAK, AVATAR BIRU, DAN BALAP PUYUNG YANG MENGGEBU
Oleh: Mampuono
#orang_literat_menemubaling👌
Pesawat Wings Air bermesin baling-baling ini baru saja take off dari Bandara Internasional Juanda Sidoarjo Surabaya pada pukul 11.00 WIB tadi, ketika aku terbayang wajah guru saudaraku.
"Maaf Pak. Saya malu mau menawarkan tidur di rumah saya. Rumah saya jelek."
Begitu kira-kira cara guru saudaraku dari Lombok ketika menawariku singgah bermalam di rumahnya.
"Gubuk saya di perumahan kecil. Jalannya jelek dan fasilitasnya terbatas. Pak Sekjen kan terbiasa tidur di hotel mewah," sambungnya galau.
"Mas Halil. Jangan begitu. Saya ini seperti guru yang lain. Terbiasa hidup sederhana. Tidur di tempat seadanya," kataku menepis kegalauannya.
Rupanya guru saudaraku dari NTB itu tidak tahu bahwa aku justru terbiasa tidur di atas lantai tanah beralaskan tikar lusuh. Karena itu kebiasaan sejak kecil maka seringkali jika tidur di kasur yang empuk, tanpa sadar bodi besarku bergeser ke luar daerah teritorial di mana aku seharusnya berbaring. Begitu bangun tahu-tahu aku sudah berada di atas lantai, di celah antara tembok dan tempat tidur.
Begitu mendengar ucapanku, mas Halil yang juga sekertaris IGI wilayah Nusa Tenggara Barat itu wajahnya yang semula galau langsung berubah sumringah. Mantap sudah keinginannya membawaku ke rumahnya untuk bermalam.
Maka jadilah, sore hari itu, selepas mengisi kegiatan Workshop Menemu Baling (menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga) aku dibawa keluar dari Lombok City Center untuk melakukan perjalanan dari kota Mataram Pinggiran menuju ke Praya di Kabupaten Lombok Tengah. Salah seorang pengurus di NTB Mas Idham selalu menemani kami Selama perjalanan.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak memejamkan mata karena malam sebelumnya hampir tidak tidur. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama karena hotel yang aku tempati dan yang kedua adalah kekhawatiran tidak bisa bangun tepat waktu.
Sebagaimana sudah aku tulis dalam tulisan yang berjudul MENJADI MUSANG LAGI, hotel yang dibookingkan oleh seorang teman untukku ternyata, sekali lagi, tempat penginapan yang khusus untuk para backpacker. Meskipun pada malam sebelumnya, di Pantai Losari Makassar aku sudah menginap di hotel yang mirip dengan hotel yang aku tempati di daerah bandara Juanda itu, masih saja diperlukan usaha keras untuk menyesuaikan diri. Aku orang yang mudah beradaptasi, tetapi untuk bisa tidur dengan mudah di hotel itu tampaknya bukan sebuah usaha yang mudah.
Aku harus membiasakan diri untuk tidur di tempat tidur yang oleh para backpacker disebut-sebut dengan nama keren sebagai kapsul. Sayangnya otakku lebih suka menyebutnya sebagai sarang musang. Jadinya berada di dalam kapsul yang bentuknya seperti laci yang ditumpuk-tumpuk itu tentu memerlukan perjuangan tersendiri.
Aku ingin memberi gambaran tempat tidurku itu seperti apa. Untuk membayangkan menjadi musang, bagi Anda itu tentu tidak mudah. Sebaiknya begini saja. Anda pernah melihat film Avatar Biru? Jika anda pernah melihat film itu, Anda akan bisa membayangkan baik-baik seperti apa tempat tidur yang aku tempati itu. Ruangan itu berukuran panjang, lebar, dan tingginya hanya sekitar 2 m x 1,25 m x 1,25 meter. Ini sedikit lebih besar daripada ukuran mesin pengubah manusia menjadi Avatar Biru di dalam film mahal yang penulis naskah, sutradara, dan sekaligus produsernya James Cameron itu.
Masih ingat bagaimana cara Jake Sully (Sam Worthington) yang seorang marinir lumpuh itu berubah menjadi hibrida spesies humanoid yang gagah perkasa di Pandora? Di planet yang atmosfernya beracun bagi manusia itu hidup suku Na'vi. Suku itu adalah spesies humanoid setinggi 3 meter, berkulit biru, yang hidup selaras dengan alam. Mereka menyembah Dewi Ibu bernama Eywa. Spesies itulah yang oleh para manusia pendatang dibuat hibridanya. Sosok hibrid anggota suku Na'vi yang bisa dikendalikan oleh manusia dengan unsur genetik yang sesuai itu disebut sebagai Avatar Biru.
Nah, cara tidurku itu mirip cara Jake Sully ketika akan berubah menjadi Avatar Biru. Dia masuk kedalam kapsul, lalu menutup semua kaca penutupnya secara otomatis. Kemudian dia tidur didalamnya. Lalu dengan transformasi tingkat tinggi ruhnya bisa berpindah ke dalam tubuh Avatar Biru yang sebelumnya hanya berupa jasad tanpa ruh. Dia yang dalam bentuk manusianya berkaki lumpuh ternyata ketika menjadi Avatar biru bisa menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, penunggang naga terbesar, pembela kebenaran, dan menjadi pahlawan bagi bangsa itu melawan manusia yang datang justru untuk menguasai Pandora.
Nah, sayangnya aku sendiri susah bisa membayangkan menjadi seorang Avatar Biru. Bagaimana mau menjadi Avatar Biru kalau tidur saja bodi ini tidak mau? Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau ada beberapa penghuni kapsul yang masih berdiskusi sampai malam sementara suaranya tembus ke kapsulku? Asal tahu saja ruangan lantaib3 di hotel itu memiliki kapasitas 48 kapsul. Artinya jika semua kapsul terisi orang, tempat itu lebih mirip sebagai tempat penangkaran musang daripada tempat untuk transfirmasi ke bentuk hibrida Avatar Biru.
Selain persoalan tidak adanya privasi yang cukup di dalam ruangan besar yang berisi banyak kapsul itu, ada tambahan persoalan kedua. Aku khawatir tidak bisa bangun pagi. Ini karena mobilitas yang sangat tinggi yang aku jalani ke berbagai provinsi akhir-akhir ini. Badan yang terlalu lelah mungkin akan membuat ku terlelap tidak ingat waktu. Aku khawatir tidak bisa bangun tepat pada waktunya. Jika terlambat bangun, akibatnya tahu sendiri. Tidak ada flight mudah ke Lombok hari itu. Aku merasa, meskipun aku sudah meminta resepsionis untuk melakukan wake up call pada pukul 04.00 pagi, tetapi aku tidak yakin hal itu akan terjadi. Dan akhirnya memang itulah yang terjadi.
Pada pukul 04.00 pagi aku masih terjaga dan tidak ada satu pun wake up call. Untung saja aku hampir tidak tidur semalaman, bahkan terjaga dari sini hari sampai pagi. Meskipun akhirnya harus membayar rasa kantuk dalam perjalanan dari Mataram ke Praya bersama Mas Halil dan Mas Idham, namun setidaknya perjalanan dari Surabaya ke Lombok terselamatkan.
Sebelum sampai ke rumahnya, Mas Halil sempat membawaku ke Madrasah Aliyah 1 Lombok Tengah di mana dia mengajar. Aku diperkenalkan kepada kepala sekolahnya. Untuk memacu semangat Pak Kamad (kepala madrasah) dalam berliterasi aku memberi hadiah buku yang berjudul 9 RAHASIA GURU MENULIS BUKU DALAM 5 HARI DENGAN METODE MENEMU BALING.
Selepas dari Madrasah Aliyah aku dibawa Mas Halil dan Mas Idham ke sebuah warung makan yang unik karena nama menunya. Menu spesial yang disajikan di warung makan tersebut adalah nasi balap puyung. Nasi dengan lauk ayam cincang bumbu khusus, abon ayam, kulit ayam goreng, taburan kacang kedele goreng dan sambal terasi level tinggi itu disajikan tanpa kuah sama sekali. Aku memilih level sangat pedas karena aku memang hobi pedas.
Meskipun pedasnya "menghabiskan bibir" dan membuat megap-megap, nasi balap puyung itu sepertinya menantangku untuk melahapnya sampai tandas. Dengan menyisirnya dari tepian yang rasa pedasnya paling bersahabat, nasi itu sedikit demi sedikit mulai menyusut. Mula-mula tiga jariku memuluknya (Jawa, Indonesia: mengambil nasi dengan jari) barulah dilanjutkan dengan mengambil lauknya. Perpaduan daging ayam cincang dengan kombinasinya ditambah sambel terasi yang pedasnya "nggegirisi" membuat nasi balap puyung itu balapan masuk kebperut. Dalam waktu 15 menit akhirnya nasi itu seperti lenyap tak berbekas dari atas piring yang menjadi tempatnya.
Sekitar pukul 20.00 Kami sampai di rumah Mas Halil. Rupanya dia sudah menghubungi pihak rumah sehingga istrinya sudah menyiapkan kudapan, buah dan minuman kepada tamu yang datang. Selain itu aku sempat ditawari kopi hitam kelangenanku. Tentu saja aku pantang menolaknya. Sambil menyeruput kopi hitam kami mengobrol. Kami membicarakan berbagai perkembangan kompetensi guru di NTB. Tidak berapa lama kemudian aku diberitahu kamar di lantai atas sudah siap untuk di huni.
Sebelum beranjak ke kamar besar itu aku diminta tetap berada di ruang tamu karena ada tamu yang datang. Rupanya Bu Ermawati, ketua IGI NTB datang membawakan sweaterku yang ketinggalan dan sebuah cenderamata. Acara ngobrol pun dilanjutkan lagi. Kali ini tentang hal-hal fisik dan metafisik.
Setelah ngobrol kurang lebih setengah jam akhirnya mataku tidak kuat lagi dan aku diminta istirahat di ruang atas. Di ruang itu aku tidak perlu masuk ke dalam kapsul dan menutup tirai nya. Apalagi berubah menjadi musang atau Avatar Biru. Aku cukup tanggal lahir takkan tumbuh di atas kasur berseprei merah. Aku akhirnya tidur di atas sebuah bed besar sampai pagi dalam keramahan dan keikhlasan khas keluarga guru saudaraku dari Sasak, Mas Halil.
Terima kasih Mas Halil semoga amal mas Halil memuliakan tamu dari jauh mendapatkan balasan berkah dan melimpah dari Yang Maha Pemberi Berkah. Harapannya dengan melestarikan budaya Guru Saudara ini diharapkan akan terajut tali silaturahim kebangsaan yang semakin erat antar anak bangsa.
Tak lama setelah harapan akan semakin eratnya rajutan tali kebangsaan ini aku ungkapkan terdengar pilot mengumumkan posisi landing station pada pukul 12.30WIB. Daratan menuju Semarang terlihat semakin jelas. Sekitar 10 menit kemudian kami sudah mendarat dengan selamat di bandar udara internasional Ahmad Yani Semarang.
__________________________________
Langit biru, 08 05 2018 12.35 WIB. Ditulis di dengan metode Menemu Baling, menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga, di atas pesawat sejuta umat Wings Air dalam perjalanan Surabaya-Semarang dengan kecepatan maksimal 460 km per jam.
Comments
Post a Comment